Surat – surat dari Endeh, Diresensi oleh Rena Asyari
Sukarno, namanya dikenal di nusantara. Tercatat dalam buku-buku sejarah sebagai proklamator, pembaca naskah proklamasi. Icon sebagai proklamator lebih melekat daripada pemikiran-pemikirannya, buku-buku sejarah bacaan wajib di sekolah tak pernah memberitahu tentang kegelisahan yang menjadi ide-idenya. Pemikiran Sukarno di berangus oleh zaman, orde baru mematikannya. Sejarah melupakannya.
Apa yang terserak baiknya dikumpulkan. Surat-surat dari Endeh ini salah satu bukti dari pemikiran-pemikiran Sukarno yang tersebar di banyak tempat. Bandung, Flores, Bengkulu tempat dia diasingkan.
Islam agama yang dianutnya, keresahannya akan islam membuat dia bertukar pesan kepada Tuan Hasan, seorang guru persatuan Islam di Bandung. Agama yang dianutnya itu dipelajarinya sendiri, ibunya yang seorang Bali dan ayahnya seorang Jawa tak banyak mempengaruhi pemikiran Sukarno tentang Islam.
Surat-surat dari Endeh ditulisnya sekitar tahun 1930an, saat itu ia diasingkan ke Endeh Flores. Ia didampingi istrinya Inggit Garnasih, anaknya Ratna Djuami dan ibu mertuanya.
Seperti tercatat dalam suratnya tertanggal 1 desember 1934, ia meminta kepada Tuan Hasan agar dikirimkan buku-buku tentang pengajaran shalat, utusan Wahabi, Al-Muctar, Debat Talqien, Al-Burhan Complete dan Al-Jawahir. Tuan Hasan pun menyanggupinya dan mengirimkan buku-buku yang diminta Sukarno.
Hal ini terlihat pada isi surat tertanggal 25 Januari 1935, Sukarno merasa sangat gembira. Kali ini Sukarno meminta buku “Bukhari dan Muslim”. Sukarno ingin mempelajari lebih rinci lagi tentang hadist, ini didasarkan pada kegelisahannya akan kondisi islam. Dia menerangkan bahwa kekunoan islam, kemesuman islam, ketahayulan orang islam berasal dari hadis-hadis yang lemah (dhaif) dan sayangnya hadis yang lemah itu kadang lebih laku dari ayat-ayat Al-Quran.
Suratnya tertanggal 26 Maret 1935, Sukarno kembali meminta kepada Tuan Hasan buku hadis mi’raj. Menurut Sukarno, tak cukuplah orang menafsirkan mi’raj dengan percaya saja, yakni dengan mengecualikan keterangan akal. “Kenapa suatu hal harus digaibkan kalau akal bisa menerangkannya?”. Begitu tulisnya.
Pada surat tanggal 17 Juli 1935, Sukarno mengeluh bahwa di Endeh tidak ada yang bisa dia tanyai, semuanya hanya bertaqlid saja, ada sedikit orang terpelajar di Endeh tapi pengetahuannya tidak memuaskan. Sukarno berujar “bisakah satu masyarakat menjadi hidup, menjadi bernyawa kalau masyarakat itu hanya dialaskan saja kepada artikel ini dan artikel itu?masyarakat yang demikian akan segeralah menjadi masyarakat mati, masyarakat bangkai, masyarakat yang bukan masyarakat”. Begitu pula dengan dunia islam yang sekarang ini setengah mati, tiada ruh, tiada nyawa, tiada api, karena umat islam sama sekali tenggelam di dalam “kitab fiqih” itu, tidak terbang seperti burung garuda di atas udara-udaranya agama yang hidup.
15 September 1935, Sukarno kembali mengirim surat kepada Tuan Hasan. Sukarno bercerita bahwa dia mendapatkan hadiah beberapa brosur, isi brosur tersebut tentang kongres Palestina. Menurutnya, kongres di Palestina tidak mampu menangkap “Center Need of Islam”. Di Palestina orang tak bisa lepas dari “convensionalism” hal ini membawa islam pada kemunduran. Di Palestina terlalu “carressing each other” orang terlalu “menutup pantat satu sama lain”. Hal ini sesuai dengan gambaran islam sekarang, islam kurang ruh yang nyata, kurang tenaga yang wujud, terlalu “bedak membedaki satu sama lain”, terlalu membanggakan sesuatu negerti islam yang ada sedikit berkemajuan. Orang islam biasanya sudah bangga kepada Mesir dan Turki terlalu mengutamakan pulasan-pulasan yang sebenarnya tiada bertenaga. Soekarnoo juga tidak sependapat dengan Tuan A.D Hasnie dan Moh. Ali yang menerangkan bahwa demokrasi parlementer itu menyelamatkan dunia, padahal menurut Sukarno ada cara pemerintahan yang lebih sempurna lagi yang juga bisa dicocokkan dengan azas-azasnya islam.
Sukarno juga mengungkapkan bahwa Flores merupakan “pulau missi”. Missi di Flores telah mengkristenkan sebanyak 250.000 orang, mereka bekerja mati-matian, tapi berapa orang yang bisa di mualafkan oleh Islam?Kita banyak mencela kaum missi, tapi apa yang telah kita kerjakan untuk menyebarkan dan memperkokoh agama islam? Bahwa missI mengembangkan roomskatholicisme itu adalah hak mereka, yang tak boleh kita cela dan gerutui. Tapi “kita”, kenapa “kita” malas, kenapa “kita” teledor, kenapa “kita” tak mau kerja?kalau dipikirkan memang semua itu salah “kita” sendiri bukan orang lain. Pantas Islam selamanya dihinakan orang! Tulisnya pada Tuan Hasan.
14 Desember 1936, Sukarno kembali menulis surat. Sukarno berpendapat bahwa taqlid merupakan salah satu penyebab terbesar dari kemunduran islam sekarang ini. Tak heran di mana genius dirantai, di mana akal pikiran diterungku, disitulah datang kematian. Menurutnya kiai dan ulama kita tak ada sedikitpun “feeling” kepada sejarah, mereka hanya punya minat pada “agama khusus” saja, terutama bagian fiqih. Sejarah dan ilmu yang mempelajari kekuatan-kekuatan masyarakat yang menyebabkan kemajuan atau kemunduran suatu bangsa sama sekali tak menarik untuk mereka pelajari. Mereka hanya mengetahui tarikh islam saja dan inipun diambil dari buku-buku tarikh islam yang kuno, yang tak dapat tahan dengan ilmu pengetahuan modern. Bahwa dunia islam laksana bangkai yang hidup, semenjak ada anggapan bahwa mustahil ada mujtahid yang bisa melebihi “imam yang empat”, jadi harus mentaklid saja kepada tiap tiap kiai atau ulama dari suatu mazhab Imam yang empat itu. Alangkah baiknya kalau kita punya pemuka agama melihat garis ke bawahnya sejarah semenjak ada taqlid-taqlidan itu, dan tidak hanya mati-hidup, bangun-tidur dengan kitab fiqih dan kitab parukunan saja. Begitulah tulisnya.
Islam harus berani mengejar zaman. Itulah pemikirannya yang tertulis pada surat tertanggal 22 Pebruari 1936. “Bukan seratus tahun tapi seribu tahun Islam ketinggalan zaman. Kalau islam tidak cukup mampu untuk mengejar ketertinggalan itu, maka islam akan tetap hina dan mesum. Bahkan kembali kepada Islam-glory yang dulu bukan kembali kepada zaman khalifah, tetapi lari kemuka, lari mengejar zaman. Sekarang tahun 1936, dan bukan 700 atau 800 atau 900?Masyarakat bukan satu gerobak yang boleh kita kembalikan semau-mau kita? Masyarakat minta maju, maju ke depan, maju ke muka, maju ke tingkat yang kemudian dan tak mau disuruh kembali. Alangkah baiknya, bahwa di dalam urusan dunia, kita boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh beradio, boleh berkapal-udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper-hyper modern. Perjuangan menghantam ortodoxie ke belakang, mengejar zaman kemuka. Perjuangan inilah yang Kemal Ataturk maksudkan, tatkala ia berkata bahwa Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tasbih, tetapi islam adalah perjuangan. Islam is progress. Islam itu kemajuan.
Kegelisahannya akan Islam kembali ia utarakan dalam suratnya 22 April 1936 kepada Tuan Hasan. Sukarno menyarankan kepada Tuan Hasan yang memiliki pesantren agar memasukkan kurikulum islam science, tidak hanya al-quran dan hadis saja yang dipelajari. Menurutnya kalau tak tahu biologi, ekonomi, tak tahu positif dan negatif, tak tahu aksi reaksi, bagaimana orang bisa mengerti firmanNya “Kamu melihat dan menyangka gunung-gunung itu barang keras, padahal semua itu berjalan selaku awan, dan bahwa sesungguhnya langit-langit itu asal mulanya serupa zat yang bersatu, lalu kami pecah-pecah dan kami jadikan segala barang yang hidup daripada air” kalau tak mengerti sedikit astronomi? Danbagaimanakah meriwayatkan tentang Iskandar Zulkarnaen kalau tidak mengetahui sedikit histori dan arkheologi? Lihatlah blunder-blunder islam sebagai Sultan Iskandar atau Raja Firaun yang satu atau perang badar yang membawa kematian ribuan manusia hingga orang berenang di lautan darah, semua itu karena kurang penyelidikan histori dan scintific feeling.
Ribuan orang Eropa masuk islam karena mubaligh-mubaligh yang menghela mereka itu ialah mubaligh-mubaligh yang modern dan scientific dan bukan mubaligh-mubaligh “ala hadramaut” atau “kiai bersorban”. Jika islam di propagandakan dengan cara yang masuk akal dan up to date, seluruh dunia akan sadar kepada kebenaran islam itu. Apa sebabnya kaum terpelajar Indonesia umumnya tak senang Islam? Sebagian besar karena Islam tak mau membarengi zaman, dan karena salahnya orang-orang yang mempropagandakan Islam. Mereka kolot, mereka ortodox, mereka anti pengetahuan dan memang tidak berpengetahuan, tahayul, jumud, menyuruh orang bertaqlid, menyuruh orang percaya begitu saja. Bagi saya anti taqlidisme bukan saja kembali kepada Al-quran dan hadis tetapi kembali kepada Al-quran dan hadis dengan kendaraan ilmu pengetahuan.” Sukarno pun mengakhiri tulisannya.
12 Juli 1936, Sukarno bercerita bahwa dia sedang menterjemahkan buku bahasa Inggris yang mentarikhkan Ibnu Saud, buku biografi yang bagus, Sukarno ingin buku tersebut di baca oleh orang Indonesia agar bisa mendapat inspirasi. Insipirasi bagi kaum muslimim yang masih belum mengerti betul-betul perkataan Sunnah nabi yang mengira bahwa Sunnah nabi saw itu hanya makan kurma di bulan puasa, celak mata dan memakai sorban saja.
Kembali Sukarno menulis surat pada Tuan Hassan, 18 Agustus 1936. Sukarno berujar bahwa rakyat Indonesia terutama kaum intelegensia sudah mulai banyak yang senang membaca buku-buku bahasa sendiri yang “matang”, yang “trought”. 95% perpustakaan Indonesia hanya mempunyai buku-buku yang tipis saja, dan brosur-brosur. Betapa pentingnya perpustakaan kita mempunyai buku-buku sendiri, bukan hanya buku asing. Ideologi islam yang kita miliki bukan berarti kita harus mengkopi 100% kehidupan pada zaman Rasulullah karena masyarakat itu barang yang tidak diam, hidup, mengalir, dinamis, maju dan berevolusi. Kita terlalu royal dengan perkataan kafir, gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap kafir, pantaloon, dasi dan topi kafir, radio dan kedokteran kafir, pengetahuan barat kafir, tulisan latin kafir, sendok dan garfu kafir, bergaul dengan bangsa yang bukan islampun kafir. Padahal apa-apa yang kita namakan islam?bukan ruh islam yang berkobar-kobar, bukan api islam yang menyala-nyala, bukan amal islam yang mengagumkan tetapi dupa dan korma, jubah dan celak mata, jubah yang panjang dan memegang tasbih yang selalu berputar. Inikah Islam?inikah agama Allah?
Islam is progress. Progress berarti barang baru yang lebih sempurna, yang lebih tinggi tingkatannya daripada barang yang terdahulu. Kreasi baru, bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengkopi barang yang lama. Tidakkah zaman sendiri membuat sistem-sistem baru yang cocok dengan keperluan zaman itu sendiri? Apa yang kita catat dari kalam Allah dan sunnah rasul itu? bukan apinya, bukan nyalanya, bukan flamennya, tetapi abunya, debunya, absesnya. Abunya berupa celak mata dan sorban, abunya yang mencintai kemenyan dan tunggangan unta, abunya yang bersifat islam mulut, abunya yang Cuma tahu baca al-fatihah dan tahlil saja, dan bukan apinya yang menyala-nyala dari ujung zaman ke ujung zaman yang lain. Tarikh islam yang kita baca tidak bisa menunjukkan dinamikal law of progress yang menjadi nyawanya dan tenaganya zaman-zaman yang digambarkan, tidak bisa mengasih falsafah sejarah, dan hanya memuji dan mengeramatkan pahwalan-pahlawannya saja. Sudah waktunya kita wajib memberantas faham-faham yang mengkafirkan segala kemajuan dan kecerdasan itu, tulisnya kepada Tuan Hasan.
Pemikiran-pemikiran modern Sukarno tentang Islam tergambar jelas pada tulisan-tulisannya. Kegundahannya akan Islam yang kolot pada tahun 1930-an kala itu, relevan dengan situasi Islam sekarang.Kira-kira 80 tahun sudah lewat, dan Soekarno telah mempunyai pemikiran yang terbuka tentang Islam, Islam yang rahmatan lil alamin, islam yang pembaharuan tanpa menghilangkan esensi islam yang sesungguhnya, menjadikan Islam sebagai penerang dunia. Bukan sekedar menduniakan islam.
Sumber: Tulisan Soekarno tentangIslam Sontoloyo:Pikiran-pikiran tentang Pembaharuan Pemikiran Islam. Sega Arsy : Bandung, 2010.