Rectoverso, Dewi “Dee” Lestari, 2008. Goodfaith
Resensi Oleh : Rena Asyari

Berulang kali saya jatuh cinta pada Rectoverso, berisi 11 cerpen yang lagi-lagi memukau. Mengajak pembaca berjumpalitan rasa bersama-sama, tenggelam secara berjamaah dalam alur cerita yang dibuat Dee. Tangis, tawa, kenangan, kerinduan, kesetiaan, pelukan, pengorbanan, dan segala rasa dihadirkan Dee dengan apik pada Rectoverso.
Rectoverso gabungan kata dan nada, memanjakan telinga membuai mata. Dari sebelas cerpen ini saya bahkan kesulitan memilih yang terbaik. Malaikat juga tahu, ini hasil ungkap Dee yang istimewa terhadap autisme, Dee mengungkap rasa, bukan penghakiman, menunjukkan aktifitas bukan kemonotonan. Sosok Ibu yang menjadi juara dihadirkan dengan sangat matang, ibu yang paham benar bahwa semua anak tak harus serupa, ibu yang mengakui bahwa eksistensi adalah milik setiap hal yang bernyawa. Dee menghadirkan itu semua.
Hanya isyarat, saya pun kembali terbuai dengan pilihan kata yang kaya. Bahwa rasa berhak ditahan dan dinikmati sendiri. Cinta tak musti hadir pada ruang yang baik, cinta bisa menyelinap pada lampu kelap kelip bohlam warna warni. Cinta bisa menebak apakah matanya hijau maupun coklat muda, dan bahwa cinta hanya sebatas punggung yang bisa dihayati, diisyarati halus melalui udara, langit, sinar bulan atau gelembung air.
Tentang peluk, Dee melukiskan perpisahan sebuah relatioship yang elegan. Perpisahan tak mesti diiringi dengan pukulan, makian atau bahkan tangisan yang menjerit. Cukup dengan pelukan yang masing-masing sudah tahu bahwa hati telah punya pilihannya sendiri. Peluk menampar banyak orang tentang penyadaran bahwa memilih adalak hak diri dan hati. Kita tak mesti egois mempertahankan yang sudah berantakan, tak harus juga egois bahwa yang berantakan itu bisa diperbaiki, seringkali kita abai bahwa hati sudah tak mau lagi berada di tempat yang sama. Peluk menyadarkan kita untuk tidak menjadi pemaksa. Peluk adalah ekspresi yang mengagumkan dari dua orang yang pernah bersandar di satu tempat pada waktu yang sama, meski akhirnya mereka harus kembali berlayar mengayuh sampan masing-masing.
Aku ada, di setiap denyutmu yang telah menyatu dalam ombak. Di cerpen ini , Dee menghadirkan tentang ketiadaan. Bahwa kematian merupakan sesuatu yang merenggut kebahagiaan, cinta, dan harapan. Tapi ketiadaan bisa pula menghadirkan kesadaran tentang hal yang pernah ada. Kenangan. Menghidupkan banyak hal, termasuk ketiadaan itu sendiri. Mengenai Kirana yang telah tiada, Dee menitipkan pesan, bahwa perpisahan jasad tak mesti ditangisi karena rasa dan ingatan jarang mengalami kepunahan.
Selamat Ulang Tahun. Sebuah moment yang janggal karena kam terlambat mengucapkannya. Dee dengan bernada satir mencolek tentang kiamat, tentang penanda kiamat yang sudah apkir yang seharusnya sudah di upgrade. Tentang waktu, Dee tak main-main, dalam selamat ulang tahun ini jarum jam adalah makhluk kelas atas yang harus dipahami benar bahwa ia telah menjadi patokan tentang bumi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sebuah ucapan selamat ulang tahun yang datang terlambat-lambat.
Pemaknaan yang dalam melalui cerita-cerita yang sederhana yang dihadirkan Dee dalam bukunya membuat Rectoverso layak dibaca berulang kali.