GK 1Ratih Kumala, Gadis Kretek, Jumlah halaman: viii + 276 hlm. ISBN : 9789792281415. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2012

Oleh :

Takhsinul Khuluq (Pembaca, penikmat Film dan Musik)

bisa dihubungi di email: takhsin@yahoo.co.id dan Twitter: @xin_liong

Di tengah kontroversi soal kretek yang diusulkan menjadi salah satu warisan kebudayaan Indonesia pada saat-saat ini, saya jadi teringat salah satu novel yang mengangkat soal kretek ini, yaitu novel Gadis Kretek (GK) karya Ratih Kumala yang diterbitkan Gramedia, Jakarta, tahun 2012. Novel ini adalah karya kelima dari Ratih, yang sebelumnya telah menerbitkan Tabula Rasa (novel, 2004), Genesis (novel, 2005), Larutan Senja (kumcer, 2006), dan Kronik Betawi (2009). Menurut pengakuan istri dari novelis Eka Kurniawan ini, novel GK mengambil ide dasar dari akar keluarga mamahnya yang berasal dari Kudus, setelah sebelumnya ia berhasil mengekplorasi kehidupan masyarakat Betawi dalam Kronik Betawi, yang ide dasarnya ia ambil dari akar keluarga papahnya.

GK 2

Kisah dalam novel GK bermula ketika Soeraja, bos rokok terkenal Djagad Raja sedang sekarat. Ia mengigau berulang-ulang memanggil nama seorang perempuan bernama Jeng Yah. Sebelum mati, Soeraja berkeinginan bertemu dengan perempuan itu, perempuan yang menurut Purwanti, istri Soeraja, pernah memukul Soeraja dengan semprong petromak saat upacara pernikahan mereka. Igauan dan permintaan aneh suaminya itu membuat Purwanti sewot dan cemburu.

Tak hanya Purwanti, ketiga anak Soeraja, yaitu Tegar, Karim, dan Lebas  pun  bingung dan penasaran dengan permintaan ayahnya itu. Namun, demi menghormati permintaan terakhir ayahnya yang di ambang ajal, mereka pun sepakat melacak keberadaan Jeng Yah, yang menurut ayahnya terakhir berada di Kudus.

Maka dimulailah perjalanan yang membawa mereka ke Kudus dan lalu kota M (Muntilan?) di Jawa Tengah, yang ternyata tak hanya menguak siapa sebenarnya Jeng Yah, tapi juga menguak muasal industri kretek di kota M dengan lika-liku persaingan bisnis yang merembet pada persoalan persaingan asmara para pendirinya, hingga suratan takdir yang mempertemukan ayah dan ibu mereka.

Dalam novel ini, Ratih berhasil meramu alur dan teknik bercerita secara rapi. Ia melakukan teknik sorot-balik dalam menceritakan awal mula berdirinya industri kecil kretek di kota M, sebuah kota kecil di Magelang pada masa penjajahan Jepang hingga pada tahun 1960-an tatkala terjadi Tragedi 1965. Dua orang produsen kretek rumahan, yaitu Idroes Moeria dan Soedjagad yang semula berteman, akhirnya bersaing dan bermusuhan karena urusan asmara, dengan memperebutkan anak Juru Tulis, Roemaisa. Idroes Moeria memenangkan persaingan ini dengan menyunting Roemaisa. Perseteruan dua orang ini berlanjut pada urusan bisnis kretek. Setiap Idroes Moeria mengeluarkan produk dan berhasil di pasaran, maka Soedjagad pun mengeluarkan produk serupa yang menjadi epigonnya. Hal ini membuat ketegangan antarkeduanya selalu meninggi.

Pasangan Idroes Moeria dan Roemaisa dikarunia dua anak perempuan Dasiyah dan Rukayah. Sosok Dasiyah tumbuh menjadi gadis yang tekun bekerja membantu ayahnya di pabrik kretek. Ia pintar meracik tembakau, cengkeh, dan saus hingga menghasilkan kretek yang disukai konsumen, bermerek Kretek Gadis. Ia juga gemar melinting sari tembakau sisa pelintingan di jemari yang ia linting sendiri dengan air lidahnya. Kretek tingwe (linting dewe) bikinan Dasiyah ini amat disukai ayahnya, hingga ia mendapat julukan Gadis Kretek, mirip cerita Roro Mendut dalam legenda Jawa.

Pada suatu hari, saat digelar pasar malam tahunan, lapak Dasiyah kedatangan pemuda lusuh bernama Soeraja. Karena iba, Dasiyah lantas menawarkan pekerjaan pada Soeraja. Soeraja tak menampik tawaran tersebut. Ia bekerja dengan tekun di pabrik Dasiyah. Witing tresna jalaran seka kulina, karena sering berkerja bersama di pabrik, Dasiyah dan Soeraja pun makin intim. Mereka saling jatuh cinta dan berniat melanjutkan ke jenjang pernikahan. Ayah Dasiyah merestui hubungan ini. Maka waktu pernikahan pun disepakati, yaitu pada Oktober 1965.

Merasa belum memilki apa-apa untuk bekal nikah, Soeraja berniat membangun usaha kretek sendiri. Ia berkongsi dengan Partai Komunis Indonesia cabang kota M untuk memproduksi Kretek Arit Merah. Produk ini laris karena promosinya gencar kepada kader PKI. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, meletuslah Peristiwa G30S yang membuat kader dan simpatisan PKI di negeri ini diburu untuk dihabisi, termasuk di kota M. Soeraja yang termasuk daftar hitam, melarikan diri ke Kudus dan secara tak sengaja ditampung keluarga Soedjagad, saingan Idroes Moeria, yang telah pindah ke kota ini. Di sisi lain, karena dianggap punya hubungan dengan Soeraja, keluarga Dasiyah pun mengalami pengucilan dan berakibat pada usaha kreteknya yang meredup. Rencana pernikahan dengan Soeraja pun berantakan dan urung dilakukan.

Soeraja yang merasa tak mungkin kembali ke kota M, memilih berlindung pada keluarga Soedjagad dengan bekerja di pabrik rokoknya. Ia turut membidani lahirnya produk bernama Djagad Raja yang kemudian menjadi kretek tersohor di Indonesia. Ia juga menjalin hubungan asmara dengan anak Soedjagad yang bernama Purwanti dan berniat menikahinya. Ia lalu menulis surat kepada Dasiyah atau Yah perihal rencana pernikahannya ini. Hancur hati Dasiyah membaca surat itu. Namun kesedihan ini berubah menjadi kemarahan meluap tatkala ia secara tak sengaja menghisap kretek Djagad Raja produksi mantan kekasihnya itu yang telah beredar di kota M. Dengan buru-buru, ia mendatangi pernikahan Soeraja di Kudus dan melakukan perbuatan yang menghebohkan: memukul Soeraja, sang pengantin, dengan semprong petromak setelah prosesi ijab-kabul. Mengapa Dasiyah melakukan ini? Apakah semata karena ditinggal kawin Soeraja dengan perempuan lain? Dan apakah akhirnya Soeraja bertemu dengan Jeng Yah sebelum ajal menjemputnya? Silakan Anda membaca sendiri novel yang masuk longlist Khatulistiwa Literary Award 2012  ini. J

Novel GK berhasil mengeksplorasi (sejarah) dunia kretek dengan detail dan menarik. Dalam novel ini ditampilkan ilustrasi-gambar bungkus kretek antik yang terdapat di dalam cerita, antara lain Klobot Djagad, Klobot Djoyobojo, Kretek Merdeka, Kretek Proklamasi, Kretek Gadis, dan Kretek Djagad Raja. Ditampilkan pula iklan jadoelnya dalam koran setempat, yang antara lain berbunyi:

Minoemlah Selaloe…KRETEK MERDEKA!

Djika Toean dan Njonja merasa tjapek sepoelang bekerdja, dan ingin merasakan kesegaran di seloeroeh fikiran, djangan ragoe oentoek meminoem KRETEK MERDEKA! Tjaranja: ambil satoe batang KRETEK MERDEKA! Dan njalakan api dari geretan. Minoemlah dalam-dalam, biarkan asap itoe masoek dan menjerep di toeboeh Toean dan Njonja, setelah itoe keloearkan asapnja pelan-pelan. Nistjaja Toean dan Njonja punja fikiran akan lebih segar. Djoega tjotjok oentoek jang poenja bengek.

Atau iklan Kretek Gadis yang berbunyi:

Sekali isep, gadis yang Tuan impikan muncul di hadapan Tuan.

Kekuatan lain novel ini adalah penceritaannya yang lancaaar jaya. Sebagai pembaca saya menikmati betul membacanya. Koherensi perbagiannya terjaga apik. Dan juga, novel ini tak hanya menampilkan tentang kretek, namun tentang pencarian identitas pada sosok Lebas, anak bungsu Soeraja, dan hubungannya dengan kakak sulungnya, Tegar, yang turun-naik, sering cek-cok.

Namun demikian, saya juga menemukan kelemahan dalam novel ini, yakni adanya unsur deus ex machina, bagian cerita yang kurang logis dan agak dipaksakan sehingga plausibiltasnya kurang terjaga, yaitu ketika Soeraja melarikan diri karena dianggap PKI dan “terdampar’ di gudang tembakau Soedjagad, seteru Idroes Moeria (calon mertuanya), yang berada di Kudus. Mengapa Soeraja melarikan diri ke Kudus? Dan kok bisa kebetulan dan ujug-ujug sampai di gudang tersebut? Nah bagian ini yang sedikit mengganggu saya…

Last but not least, saya merasa novel ini adalah karya terbaik Ratih setelah Tabula Rasa. Ratih telah bekerja-keras meriset tentang budaya kretek di negeri ini dan meramunya menjadi karya sastra yang mengesankan, sesuai tagline-nya: Kaya Wangi Tembakau, Sarat Aroma Cinta. (Taksin)