Oleh :

Takhsinul Khuluq (Pembaca, penikmat Film dan Musik) bisa dihubungi di email: takhsin@yahoo.co.id dan Twitter: @xin_liong

 

Tahukah Anda tentang kebudayaan sehari-hari masyarakat Tionghoa di masa lampau, termasuk bangunan atau rumah kuno masyarakat Tionghoa beserta pernak-perniknya? Tahukah Anda tentang sejarah Benteng Makassar yang ada di Tangerang? Mengapa dinamai demikian padahal berada di Tangerang? Tahukah Anda tentang sejarah Laksamana Cheng Ho yang legendaris itu? Nah, apabila Anda penasaran, tempat yang tepat untuk menjawab itu semua adalah Museum Benteng Heritage, Tangerang. Yang juga menarik adalah: Anda dapat sekalian blusukan di pasar tradisional, karena museum ini terletak di tengah-tengahnya.

Akses ke Museum

Saya mengunjungi museum yang beralamat di Jl. Cilame No. 18-20, Pasar Lama, Tangerang ini pada Sabtu, 14 November 2015. Bila Anda dari Jakarta, naiklah Commuter Line jurusan Duri-Tangerang dan turun di Stasiun Tangerang. Dari sini, Anda cukup berjalan menuju Pasar Lama yang terletak sekitar 184 meter sebelah kanan stasiun. Sebagai patokan, carilah kantor CIMB Niaga, Pasar Lama. Di sampingnya terdapat jalan kecil menuju pasar tradisional. Sepanjang jalan ini para pedagang riuh-rendah menjajakan dagangannya: sayuran, buah-buahan, daging, ikan, makanan dll. Sekitar 30 meter, sebelum Klenteng Boen Tek Bio, beloklah ke kanan. Museum ini ada di sisi kiri jalan.

Saya sampai di museum sekitar pukul 11.05. Di pintu masuk, saya bertemu seorang laki-laki Tionghoa tinggi-besar berusia sekitar 50 tahun. Sosoknya serius tapi ramah. Kami saling berkenalan, dan ternyata dia adalah pendiri museum ini, Udaya Halim. Kami berbincang sebentar di depan loket. Perbincangan yang menarik membuat saya diajaknya masuk ruang tamu yang terletak di belakang loket. Kami ngobrol panjang tentang berbagai hal: tentang sejarah museum, tentang peran dan perjuangan orang-orang Tionghoa untuk negeri ini, dan tentang nasib buruk dan diskriminasi yang didera orang Tionghoa selama puluhan tahun. Nasib keturunan Tionghoa memang tak seberuntung dengan (misalnya) keturunan Arab di negeri ini. Yang terakhir terkesan lebih dapat diterima oleh masyarakat. Namun orang seperti Pak Udaya, tak bisa berhenti untuk mencintai negeri ini. Ia yang pernah tinggal di Australia selama 20 tahun  tetap bangga memilih menjadi warga Indonesia. Ia bahkan secara swadaya melakukan promosi tentang Indonesia dalam bentuk pergelaran kesenian di negara-negara tetangga melalui jaringan sekolah yang dipimpinnya. Dalam obrolan ini, saya disuguhi kue cempedak dan teh cina yang sedap. Tak terasa kami ngobrol hampir 3 jam! Sekitar pukul 14.30, saya baru dipersilakan masuk museum.

 

 

Masuk ke Museum

Museum Benteng Heritage didirikan dan dikurasi oleh Udaya Halim, seorang aktivis pendidikan dan kebudayaan, pada November 2011. Bangunan museum berusia 300 tahun lebih, dan merupakan salah satu bangunan tertua di Tangerang. Bangunan ini terdiri atas tiga lantai, namun yang diaktifkan hanya dua lantai. Lantai tiga difungsikan untuk gudang. Di lantai satu terdapat loket dan ruang suvenir. Lantai pada ruang ini terbuat dari terakota (tanah liat yang dipanaskan hingga 1000 derajat celcius) yang asli. Katanya, pada musim penghujan, lantai ini sering mengeluarkan butiran lembut mirip garam.

Untuk masuk ke museum, pengunjung cukup membeli tiket seharga Rp 20.000 (untuk umum) dan Rp 10.000 (untuk pelajar). Namun karena saya dianggap tamunya Pak Udaya, saya digratisin! Lumayan. :)) Apabila Anda datang sendirian, biasanya akan diminta untuk menunggu pengunjung lain sampai berjumlah minimum 3 atau 4 orang, karena kunjungan ke museum ini diatur supaya berkelompok dan dipandu oleh seorang pemandu museum bernama Mbak Desi.

Sebelum memasuki museum, Mbak Desi menyampaikan beberapa peraturan, antara lain: tidak boleh memotret dan merekam, tidak boleh membawa makanan dan minuman, tidak boleh menyentuh benda yang dipamerkan, dan tidak boleh memisahkan diri dari kelompok. Kami diajak naik ke lantai dua yang merupakan tempat memamerkan benda-benda koleksi. Di sini kami ditunjukkan berbagai hal, antara lain: pintu rumah orang Tionghoa zaman dulu yang besar, terbuat dari kayu, dan memiliki konfigurasi “kunci” unik dan hanya ada di sisi dalamnya. Ada lukisan besar Laksamana Cheng Ho dan deskripsi singkat sejarahnya di Nusantara. Ada sepatu mungil, sebesar sepatu anak-anak umur 5 tahun yang dipakai membentuk kaki bangsawan perempuan Tionghoa dewasa di masa lampau agar mengecil. Konon definisi cantik bagi perempuan dewasa Tionghoa zaman dulu adalah yang berkaki kecil. Ada peralatan bertani seperti topi-baju yang terbuat dari bambu yang dipakai saat mencangkul di sawah untuk melindungi dari sengatan panas mentari, aneka keramik antik, kamera kuno, patung para dewa, bermacam permainan: catur, ceki, dan mahjong, serta ada ubo-rampe upacara pernikahan seperti pakaian, kain, dan ranjang pengantin.

Kurang lebih 45 menit, Mbak Desi membawa kami berkeliling di museum. Kami seperti diajak bertamasya ke masa silam, melihat dan menyelam ke dalam kehidupan masyarakat Tionghoa secara lebih dekat dan lekat. Benda-benda bersejarah yang dipamerkan seperti menyapa dan berbisik ramah pada saya, yang sudi mengunjunginya. Mereka menceritakan dan menampilkan mozaik kenangan yang melekat di diri mereka dan saya menangkapnya dengan rasa ingin tahu dan respek yang intens. Perasaan yang terkesan membuat saya teringat puisi elok karya penyair Polandia, Wislawa Szymborska yang berjudul Museum,

Di sini ada piring namun tiada nafsu makan.
Ada cincin perkawinan, namun cinta yang berbalas itu
Telah musnah tiga ratus tahun yang lalu.
Di sini ada kipas—Ke mana rona wajah gadis itu?
Di sini ada pedang—Ke mana keberingasan itu?
Dan di senja hari, suara kecapi itu tak terdengar lagi.

Karena menginginkan keabadian
Sepuluh ribu barang rongsokan ditimbun.
Patung pengawal lumutan itu tertidur
Kumis pendeknya menempel di nomor etalase pameran.

Peperangan. Logam, lempung, dan bulu burung
Diam-diam merayakan kemenangan mereka atas waktu.
Hanya penjepit rambut gadis Mesir Kuno yang terkikik lugu.

Mahkota itu lebih panjang umurnya ketimbang kepala.
Tangan kalah melawan sarungnya.
Sepatu kaki kanan itu mengalahkan kaki.

Tentang aku, kau lihat, aku masih hidup.
Pertempuran dengan pakaianku masih berlangsung.
Ia bertempur dengan begitu gigih!
Bertekat terus hidup saat aku tiada!


Museum ini agaknya adalah satu-satunya museum di negeri ini yang memamerkan artefak-artefak kebudayaan Tionghoa secara cukup lengkap. Saya salut kepada Pak Udaya. Di tengah minimnya perhatian pemerintah dalam menyediakan fasilitas pendidikan publik seperti museum dan perpustakaan, ia mau mengorbankan harta-bendanya untuk misi kebudayaan yang luhur: mewujudkan sebuah museum yang dapat dinikmati publik. Sebagai wujud dukungan, kita sepatutnya turut mengapresiasi upayanya ini dengan melakukan hal kecil namun berarti: mengunjungi museumnya. Yuk!  (Taksin)

 

Penulis : Taksin