IMG-20151210-WA0000Resensi Oleh : Rena Asyari

Sebuah novel tentang cerita masyarakat minang, dengan adat istiadat yang kental menjadikan novel ini memenangi penghargaan DKJ 2010.

Berawal dari cerita keluarga minang yang berbelit-belit, Wisran Hadi memulai semuanya. Sastrawan dari Minang ini sangat apik meramu latar dan konflik, mungin karena dia bercerita tentang daerahnya atau mungkin juga malah karena dia sedang bercerita tentang dirinya sendiri jadi novel ini benar-benar hidup.

Wisran Hadi memanggil pembacanya dengan sebutan Bung. Pembaca diajak untuk masuk dalam cerita dan terlibat konflik secara langsung. Persoalan bermula dari Rumah Bagonjong, rumah adat yang masih berdiri, rumah yang dituakan tempat semua sejarah tersimpan. Ketika daerah sekitarnya sudah berubah menjadi daerah elit perumahan dan pembangunan hotel-hotel, maka Rumah Bagonjong tetap tegak berdiri. Wisran Hadi dalam novel ini banyak mengkritisi pemerintah, keadaan, semua hal, gaya bercerita yang satire membuat pembaca merah padam entah karena malu karena tersentil dengan beberapa kalimatnya, ataupun karena marah. Seperti pada hal 21 Wisran menulis “Di sinilah uniknya hidup itu, Bung. Kita tidak pernah punya pengetahuan yang cukup tentang diri, orang-orang sekeliling, masyarakat, dan mungkin bangsa kita sendiri. Kita cuma punya pengetahuan yang sedikit tentang mereka, tetapi sayangnya, dengan yang sedikit itu kita sudah mengganggap tahu segalanya”.

Persiden adalah nama mall di sebuah persimpangan. Tempat bertemu segala manusia dari setiap penjuru. Menjadi patokan waktu dan arah mata angin. Tempat semua hidup dan bergerak. Wisran seperti sengaja menyentil para pembaca melalui persimpangan, bahwa semua hal mempunyai titik inti, titik temu, kemanapun kamu pergi maka kamu akan menuju arah yang sama.

Rumah Bagonjong adalah inti dari konflik novel presiden ini. Melati generasi penerus rumah Bagonjong ternyata telah melanggar adat, hamil di luar nikah yang merupakan aib dan bisa berakibat fatal bagi kelangsungan keturunan rumah Bagonjong. Di satu sisi adat yang masih dijunjung tinggi seperti pengikat yang mematikan, hanya karena adat semua menjadi serba salah, serba tidak tepat. Adat yang luhur di tengah kehidupan yang semakin maju dan berubah ini hanyalah aturan lisan yang membuat mati langkah. Melati berontak, tapi paman-pamannya tak mau diam. Pamannya berusaha menyelamatkan Melati agar tidak menderita berkepanjangan akibat karma karena telah melanggar adat. Di lain pihak, yang menurut paman-pamannya baik belum tentu itu yang terbaik bagi Melati.

Di bagian akhir cerita, Wisran mengajak pembaca berputar-putar dalam tulisannya. Pengandaian-pengandaian yang terlalu banyak membuat novel ini bosan dibaca di bagian akhir.

Buku ini menjadi salah satu buku referensi tentang budaya minang yang layak di baca.

 

 

Iklan