Pramoedya Ananta Toer. Gadis Pantai, terbit pertama kali tahun 1962 oleh Lentera. Diterbitkan ulang oleh Lentera Dipantara cetakan 1 Juli 2003. ISBN : 9799731285
Oleh : Rena Asyari

Umurnya 14 tahun kala itu belum juga haid, “Gadis Pantai” orang memanggilnya. Di suatu pagi yang muram Gadis Pantai di bawa orang tuanya ke kota, hendak dinikahkan dengan priyayi. Priyayi tersebut telah meminangnya terlebih dahulu dengan diwakili keris. Bagi priyayi, benda apapun menjadi lumrah dipakai sebagai pengganti dirinya. Gadis Pantai memasuki kehidupan baru, tinggal dalam ruangan yang serba tertutup. Selama ini Gadis Pantai bermain dengan alam, laut lah yang memberinya kehidupan, angin lah yang memberinya nafas, alam lah yang menjaganya. Kakinya selalu dijilat air laut, tangannya terampil menjahit jala dan menjemur ikan, menumbuk udang dan membuat terasi.
Kehidupan pun berubah, yang tersisa hanya rasa takut. Di rumah besar dan mewah, tak ada kebebasan yang ada hanyalah menunggu perintah dan memberikan perintah. Tak ada yang lebih kuasa dari Bendoro suaminya, seseorang yang belum pernah ditemuinya, dikenalnya, orang asing yang tiba-tiba memperistrinya, bahkan dewa sekalipun.
Hanyalah nafas saja yang masih melekat, sedang jiwanya telah lama hilang. Berkata pun dia tak berani, rumah Bendoro terlalu angkuh untuk dia tinggali. Beruntung ada pelayan tua yang menjadi temannya, pelayan tua yang seumur hidupnya ditakdirkan menjadi sahaya. Terlahir sebagai sahaya adalah hukuman kata pelayan tua itu suatu hari, mau tak mau, suka tak suka harus dijalaninya.
Seperti halnya buku-buku Pram lainnya, buku Gadis Pantai ini pun mengguncang nurani. Dengan latar daerah pesisir Pantai Jawa Tengah, Rembang dan setting waktu setelah beberapa tahun Raden Ajeng Kartini menikah dengan bupati Rembang. Pram meramu tulisannya penuh emosi, menggugat sistem feodalisme Jawa yang tak memiliki adab dan jiwa kemanusian ini secara mendalam.
Di rumah gedong itu, Gadis Pantai bergelar Mas Nganten. Tidak ada yang bisa memerintah Mas Nganten sekalipun orang tuanya. Gadis Pantai meronta “aku hanyalah sahaya emakku, di kampungku aku lakukan segala perintahnya, aku akan terus lakukan perintahnya”, tapi teriakan hanyalah tinggal asa yang langsung lenyap di telan angin malam. Mas Nganten tak bisa lagi bersikap intim dengan orang tuanya karena mereka sudah berbeda kasta. Orang tuanya lah yang harus menunduk hormat pada Mas Nganten.
Hanyalah pelayan tua yang menemani kesendirian Mas Nganten. Setiap hari diberikan wejangan “kalau kita salah pada Bendoro, dimanapun kita bakal dapat kesusahan Mas Nganten”.
“orang rendahan ini Mas Nganten, setiap hari boleh jatuh seribu kali, tapi ia selalu berdiri lagi. Dia ditakdirkan untuk sekian kali berdiri setiap hari”
Di rumah Gedong itu, semua pada banting membanting, merintih buat kehormatan dan nasi. Lain halnya dengan di kampung, laut selalu menyediakan tangannya untuk manusia. Tidak ada satu haripun laut abai, laut penuh kasih, dan dia tak meminta imbalan.
Selama dua tahun Mas Nganten hidup dalam ketidakbebasan, dia merindukan kampungnya, kampung yang selalu memeluknya hangat, orang-orang yang memberikan senyum padanya setiap hari. Mas Nganten pun pulang diantar Mardi kusir dan Mardinah kemenakan Bendoro. Mas Nganten memendam kejengkelan yang luar biasa pada Mardinah, Bendoro putri dari Demak, bapaknya juru tulis, tingkahnya sangat menyepelekan orang kampung.
“Orang-orang kota, orang-orang berbangsa itu begitu takutnya kalau orang tidak lagi menghormatinya dan mereka begitu takutnya kalau terpaksa menghormati orang-orang kampung. Di mata orang kota, kemiskinan pun sebuah kesalahan”.
Gadis Pantai sampai di kampungnya, keadaan kampungnya tidak berubah, tetapi sikap orang-orangnya berubah drastis. Semua orang memanggilnya Bendoro, termasuk bapak dan emaknya, semuanya mengambil jarak, tak ada lagi kedekatan, tak ada lagi suasana akrab. Semua orang dikampungnya hanya mampu menunduk setiap kali berpapasan dengan Gadis Pantai. Gadis Pantai terluka, dia merasa dihempaskan, tapi Laut tetap memeluknya. Bagi Laut dia tetap seorang anak Pantai yang meminum air susunya. Di kampung halamannya Gadis Pantai menikmati kebebasan, tidur di mana saja, di ambin, di luar rumah. Tak ada ketakutan. Pintu hanyalah penjaga agar angin tak masuk rumah. Kampung nelayan memberikan tempat untuk siapa saja tak peduli dengan asal muasal. Laut adalah milik setiap orang. Lain halnya ketika dia di kota, semua harus teratur dan serba terbatas. Di kota setiap orang harus bernama dan berasal.
Gadis Pantai harus tunduk pada takdir, bahwa dia adalah sahaya. Setelah dia melahirkan anaknya, dia pun di usir dari rumah gedong, rumah Bendoro. Bendoro tak lagi butuh Gadis Pantai, Gadis Pantai hanyalah percobaan sebelum Bendoro menikahi wanita yang sebenarnya, wanita ningrat yang sederajat dengannya. Gadis Pantai tak kuasa menggugat nasib, nasibnya ditentukan oleh keturunannya, dia adalah anak dari kampung nelayan selamanya hanya akan jadi sahaya. Seolah-olah status terhormat hanyalah untuk priyayi. Para priyayi telah memblokade semua akses kesuksesan, kemewahan, kehormatan hanyalah untuk dirinya dan keturunannya.
Gadis Pantai teringat kembali percakapan dengan bapaknya sewaktu pertama kali bapak mengantarkan ke rumah Bendoro, “Bapak, bapak. Aku tak butuhkan sesuatu dari dunia kita ini. Aku cuma butuhkan orang-orang tercinta, hati-hati yang terbuka, senyum tawa dan dunia tanpa duka, tanpa takut. Ah, bapak. Bapak”.
Gadis Pantai tak kuasa untuk kembali lagi menjejakkan kaki di Laut, dia memilih untuk hidup di Blora menyusul pelayan tua yang telah dipecat oleh Bendoro. Gadis Pantai memilih jalan hidupnya sendiri, tidak lagi kembali ke kampungnya, tapi dia inginkan jalan hidup yang lebih baik, tentunya bebas dari rasa takut. Gadis Pantai seseorang yang berani, dia tak berbalik pada orang tuanya, tapi dia menentukan kehidupannya sendiri, karena Gadis Pantai mengerti hidup bukan perkara menggantungkan diri, tapi berjalan di atas diri sendiri.
Roman Gadis Pantai, pertama kali diterbitkan tahun 1962 oleh Lentera, adalah potret kehidupan masa lalu. Sejatinya waktu tak pernah ingkar janji bahwa suatu kejadian seringkali berulang, dan seolah-olah masa lalu itu hadir kembali di tengah-tengah kita sekarang.