Oleh : Rena Asyari

Saya termasuk terlambat membaca karya Eka, bukan karena apa-apa hanya karena alasan sepele, bukunya Eka harganya mahal. Setelah sekian lama buku Lelaki Harimau nangkring di rak buku dengan kondisi masih bersegel, akhirnya saya lepas segelnya setelah penasaran karena buku ini masuk long list Man Booker International Prize 2016 bersanding bersama belasan novel karya tersohor dunia, seperti penulis Jepang, Kezaburo Oe, Turki (Orhan Pamuk), Korea Selatan (Han Kang), Italia (Elena Ferante), atau Prancis (Marie NDiaye)1.

Lelaki Harimau, Eka mengajak pembacanya berdebar-debar di halaman awal tentang kematian seorang bernama Anwar Sadat yang dibunuh oleh Margio dengan cara yang menyeramkan. Margio tokoh yang konon di tubuhnya bersemayam Harimau putih yang diwariskan oleh leluhurnya. Margio sendiri bukanlah seorang sosok yang istimewa, dia lelaki yang sangat membenci ayahnya. Si Ayah Komar bin Syueb adalah sosok yang selalu menyiksa ibunya Nuraeni. Kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga menjadi bumbu yang kadang membuat pembaca mual dan muak dengan semua ketidakadilan atas tubuh perempuan. Sebuah keluarga yang tak layak disebut keluarga karena di dalamnya tak ada kehangatan, tak ada romantisme yang ada hanyalah keputusasaan akan nasib miskin yang tak juga minggat.

Nuraeni diceritakan sebagai objek penderita tetapi disisi lain dia juga merasakan menjadi ratu atas tubuh dan perasaannya ketika mulai mengenal Anwar Sadat. Percintaannya dengan Anwar Sadat mampu menghadirkan senyum di mulutnya, hal yang tak pernah dimilikinya sejak dia menikah dengan Komar bin Syueb.

Margio, seorang anak lelaki yang sangat mencintai ibunya, Nuraeni. Rela berkorban apaun demi melihat ibunya tersenyum. Keinginannya untuk membunuh ayahnya pun timbul karena ketidakterimaan dia atas perlakuan Komar bin Syueb pada Nuraeni, mungkin baginya sebuah senyum ibunya sangat berharga hingga dia tak berkeberatan jika dia harus dipenjara karena membunuh ayahnya. Kemudian Ayahnya mati tanpa perlu dia bunuh, di situ saya melihat sesuatu bahwa ternyata kematian tak selalu menghadirkan tangisan tapi juga berkah untuk beberapa orang, atau bahkan orang terdekat kita sekalipun, bahwa mungkin tanpa pernah kita sadari kematian kita begitu diharapkan oleh orang terdekat. Eka menampilkan frame-frame yang jujur dan nyata.

Novel ini menggunakan alur waktu maju mundur, jadi mau tidak mau pembaca harus membaca dari awal, tidak membosankan karena Eka menyuguhkan kalimat-kalimat yang menarik. Pendeskripsiannya akan suatu peristiwa sangat detail. Lelaki Harimau menghadirkan cerita mistis yang tidak sepenuhnya mistis, kehadiran sosok harimau bisa saja mengada-ngada atau memang sebenarnya ada. Novel ini cukup tipis hanya 190 hal, tapi di dalamnya sangat banyak sekali informasi yang dihadirkan Eka, tentang kolam Kyai Jahro, tetumbuhan yang ditanam Nuraeni di pekarangan rumahnya ataupun tentang penggambaran ‘pemerkosaan’ Nuraeni oleh Komar bin Syueb dan percintaan Nuraeni dengan Anwar Sadat ditulisnya dengan gamblang.

Eka berhasil membuat saya jatuh cinta pada karyanya meskipun cukup terlambat. Karyanya merupakan proses berpikir yang cukup matang, seorang penulis yang cukup paham bahwa dia hanya ingin menyajikan yang terbaik untuk pembacanya, bukan hidangan yang hanya asal jadi dan asal hangat tapi bercita rasa tinggi.