Midah si manis bergigi emas – Pramoedya Ananta Toer, naskah asli 1954 diterbitkan kembali oleh Lentera Dipantara tahun 2010

 

Oleh : Rena Asyari 

IMG_20160328_100707Midah si manis bergigi emas, begitulah Pram memberi judul pada novelnya ini. Diceritakanlah bahwa si Midah lahir dari keluarga terpandang, ayahnya seorang yang kaya, taat beragama. Midah menjadi anak tunggal selama 9 tahun, selama itu pula seluruh perhatian orang tuanya tercurah habis hanya untuk Midah. Setelah adik-adiknya lahir, Midah pun menjadi seorang diri, hiburan satu-satunya di rumah adalah lagu-lagu Umi Kalsum yang sering diputar ayahnya.

Midah senang menyanyi, suaranya bagus. Suatu ketika Midah tertarik pada musik keroncong, suka dilihatnya oleh Midah rombongan pemusik keroncong yang mengamen dari rumah satu ke rumah berikutnya. Ayahnya tak suka Midah menyukai keroncong, tapi tentang kecintaan siapa yang berhak melarang?

Midah lalu kawin dengan seorang teman ayahnya. Midah tak suka dengan pernikahannya, tabiat suaminya yang buruk membuat Midah kabur dari rumah. Dalam kondisi hamil, Midah mencari kehidupan di Jakarta, bermodalkan suaranya yang bagus dan kecintaanya pada musik keroncong Midah pun bergabung dengan kelompok pengamen musik keroncong.

Manisnya paras Midah membuat banyak pertentangan pada kelompok pengamen musik keroncong, lalu Midah pun berniat mengganti giginya dengan gigi emas, agar lebih menarik katanya. Mulailah Midah dipanggil dengan sebutan si manis bergigi emas.

Pada novel ini Pram berhasil mengemas konflik antara orang tua dan anak dengan apik. Orang tua Midah makin kehilangan Midah, mereka tak tahu rimbanya. Mereka dipenuhi rasa penyesalan karena telah menelantarkan Midah semenjak adik-adiknya lahir. Kegelisahan mereka semakin menjadi ketika tahu bahwa Midah menjadi penyanyi pada kelompok pengamen musik keroncong, selain pergulatan batin karena mereka manusia terpandang juga pergulatan rasa bersalah.

Konflik Midah pun masih berlanjut, dia terlibat cinta dengan seorang polisi. Tetapi sayang cinta yang bertepuk sebelah tangan membuat Midah makin terpuruk, di tambah dia diusir dan kelompok musiknya karena manisnya paras Midah ternyata membawa petaka.

Midah tetap tak mau pulang ke rumah orang tuanya, baginya dirinya adalah kebebasannya. Midah menjadi seperti apa yang ia inginkan meskipun untuk menjadi dirinya itu Midah mengalami banyak kesengsaraan.

Dalam novel ini Pram menekankan bahwa manusia tidak boleh menyerah pada kelelahan. Hawa kehidupan jalanan yang liar dan ganas harus diarungi, meskipun pada akhirnya Midah memang kalah secara moral dalam pertaruhan hidupnya.