Resensi Pengakuan Eks Parasit Lajang – Ayu Utami, 2013
Oleh : Rena Asyari
Eks Parasit Lajang merupakan salah satu trilogi dari cerita cinta Enrico dan si Parasit Lajang. Sudah menjadi khas nya Ayu Utami bahwa dia menganut kejujuran pada setiap karyanya. Eks Parasit Lajang lahir mungkin atas rasa tanggung jawab Ayu pada keputusannya untuk menikah, setelah buku si Parasit lajang menjadi kitab para pemilih yang memilih tidak menikah, tiba-tiba si pembuat kitab menikah, maka lahirlah karya ini.
Buku ini terdiri dari 3 bab judul yaitu Seorang Gadis yang Melepas Keperawannya dan Menjadi Peselingkuh, Bocah dan Kehilangan Imannya dan Seorang Wanita di Jalan Pulang.
Seorang Gadis yang Melepas Keperawanannya dan Menjadi Peselingkuh
Dimulai dengan cerita tokoh A, gadis berumur dua puluh tahun. yang memiliki 2 orang cowok, A mencoba memberi tahu pada khayalak bahwa perempuan pun bisa memilih, bukan cuma satu, boleh dua, tiga dan seterusnya. Menurut A pilihan-pilihan bukan hanya disediakan untuk laki-laki. A membuat tokohnya menjadi perempuan yang bebas, membalikkan posisi yang selama ini dominan di masyarakat. Bahwa perempuan harus lembut, dan harus menurut pada lelaki. A mendobrak mitos keperawanan dengan cara yang satire “lalu perempuan-perempuan itu dikirim ke muka bumi sebagai produk untuk konsumsi lelaki. Jika segelnya rusak, lelaki berhak menukarnya. (hal. 34)”. A sangat mengerti tubuhnya, tentang bagaimana memperlakukan tubuhnya dengan adil dan memperoleh kenikmatan. A bercerita tentang kejujuran. Revolusi yang dijalaninya menjadi ide untuk perempuan lainnya agar lebih jujur pada dirinya. A bukan hanya perempuan yang yakin bahwa kebebasan berekspresi adalah hak setiap individu, tetapi A juga sangat kritis terhadap aturan-aturan agama yang bersifat dogmatis. Di hal 36, tentang larangaran perempuan menjadi imam dan agama seolah menjelma menjadi sesuatu yang didalamnya hanya ada larangan dan perintah-perintah.
Penalaran A yang dalam menjadi cerita di bagian ini menjadi cerita kritis yang membuat Dan A pun melepas keperawanannya di usia ke dua puluh dengan sadar tanpa mengindahkan dakwah seorang ustad yang lagi tenar saat itu bahwa selaput dara adalah segel perempuan.
Loncatan A berikutnya adalah A kemudian menjadi peselingkuh. A menjalin hubungan dengan suami orang. Inilah anomali dalam kehidupan yang normal. A seolah-olah ingin menunjukkan kepada pembacanya terlebih perempuan untuk menjadi manusia yang bebas. Dan A menjalani kebebasan itu dengan penuh tanggung jawab
Di bab ini juga A belajar tentang moral yang dibentuk agama yang kenyataannya banyak mendeskriditkan perempuan. Menurut A agama sangat tidak ramah pada perempuan. A membaca semua yang menjadi aturan terhadap perempuan dan dia mecoba melanggarnya dan menerapkannya. A ingin mengalami bukan hanya sekedar melihat apalagi mencibir.
Bocah yang Kehilangan Imannya
A mencoba kembali ke masa kanak-kanaknya, dia menghabiskan masa kecilnya di kota Hujan. Kota hujan mempunya istana dengan taman yang indah paradise. A menggambarkan taman yang indah dengan mencoba mengingatkan kita kembali pada Perjanjian lama tentang kesalahan Adam dan Hawa yang terjadi di taman surga:
“aku tidak mau menyebutnya dosa, aku mau menyebutnya sebagai kesedihan. Ya, mulai hari itu aku mengganti kata dosa dengan kesedihan yaitu bahwa kau mengetahui dirimu sendiri dan itu menyebabkan engkau tercerabut dari ketidaktahuanmu yang murni. Inilah kesedihan. Pengetahuan membuat dirimu terkoyak. Pengetahuan membuatmu terpisah sebagai yang mengetahi dari yang diketahui”
Kisah Adam dan Hawa tersebut menimbulkan polemik bagi A, kenapa itu harus dibilang dosa? A mempertanyakan tentang konsep dosa asal yang masih mengusiknya. A berpikir tentang jika setiap manusia adalah berdosa apa baiknya menjadi manusia? Apakah iman harus selalu lahir dari rasa takut dan kecemasan? Tak bisakah iman lahir karena kebebasan?
A kecil selalu bertanya, melihat, membaca semua gejala yang ada disekelilingnya. Belajar dari ibu yang sangat dicintainya “kalau takut sesuatu maka sesuatu itu harus diperjelas” itulah kata-kata ibunya yang selalu diingatnya. A kecil belajar agama tentang cinta kasih, kemanusian. A dibesarkan dalam lingkungan yang sangat religius, tetapi A mengalami pertentangan antara nalarnya sebagai manusia dengan apa yang sudah di ada di dalam al-kitab tentang perkawinan, tentang diskriminasi perempuan, tentang keadilan.
Seorang Wanita di Jalan Pulang
“A akan membangun kota. Kota itu akan bekerja dengan prinsip yang sama sekali berbeda dari Benteng Perkawinan. Di sini manusia tidak dibatasi ke dalam wilayah perempuan dan wilayah laki-laki. Sebab, manusia ada yang perempuan, ada yang lelaki, dan ada yang lain-lain. Perbedaan diakui, tanpa hirarki. Tak satu pun boleh direndahkan atau dipinggirkan. Semua boleh bergaul dan bertukar pikiran. Di sini tak ada anak yang diberi label halal”.
Sebuah kritik sosial terhadap masyarakat yang masih menempatkan perempuan sebagai mahkluk kedua. A mempertanyakan tentang keadilan yang masih kerdil.
A beranjak dewasa lalu kemudian dia menulis kitabnya sendiri tentang 10+1 alasan untuk tidak kawin, maka kitab A pun menjadi primadona dan pembenaran bagi mereka para perawan tua yang sesungguhnya sedang dilanda kecemasan akan banyak pertanyaan. Tetapi kemudian A mengingkari kitabnya sendiri, A menikah dengan Rik. Dan tidak ada seorangpun yang mengerti kenapa akhirnya mereka memilih menikah. A mengalami pergulatan batin yang luar biasa untuk keputusannya itu, A sangat manusiawi bahwa segala perasaannya itu wajar, dan di buku ini A hanya sedang mencoba jujur pada dirinya sendiri.
***
Buku ini menurut saya bukan hanya sebuah biografi dari seorang tokoh A, tapi buku ini mencangkup komedi, kritik sosial, kritik moral agama, religiusitas, eksitensialisme, romantisme, kejujuran dan kebebasan. A mengemas buku kategori sastra ini sedemikian rupa dengan bahasa yang ringan meski isinya rumit, mengajak pembaca untuk lebih jujur dan lebih sering bertanya pada diri sendiri tentang keinginan dan kenikmatan yang layak didapatkan.