oleh : Takhsinul Khuluq (Pegiat di Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, Bogor)
Trisula dalam Sejarah Film Nasional
“Kepada mereka yang telah memberikan sebesar-besar pengorbanan nyawa mereka, supaya kita yang hidup pada saat ini dapat menikmati segala kelezatan buah kemerdekaan. Kepada mereka yang tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri.”
Kutipan di atas adalah kalimat pamungkas dalam film Lewat Djam Malam (1954) yang saya tonton sekitar pertengahan tahun 2012 lalu. Film Indonesia klasik ini dapat saya nikmati atas jasa World Cinema Foundation dan National Museum of Singapore yang bersedia membiayai restorasinya (memperbaiki dan menyempurnakan kembali) hingga dapat ditonton kembali oleh khalayak zaman sekarang. Yang membuat saya terkesan atas film ini adalah isu utama yang coba didesakkan, yakni tentang “nasib” para pejuang kemerdekaan setelah kemerdekaan Indonesia berhasil diraih. Bagaimana para pejuang tersebut kembali ke masyarakat, coba beradaptasi dengan kehidupan normal setelah selama bertahun-tahun hidup di medan perang. Film tentang para pejuang kemerdekaan yang—menurut saya—nyaris tidak heroik. Film yang justru menebalkan sisi ironi nasib para pejuang pasca kemerdekaan. Satu hal yang luput dari perhatian banyak orang.
Lewat Djam Malam merupakan salah satu tonggak dalam sejarah perkembangan film Indonesia. Dalam film yang ditahbiskan sebagai “warisan sinema dunia” oleh Martin Scorsese (sutradara termasyhur asal Amerika Serikat sekaligus salah satu pemrakarsa World Cinema Fund) inilah trio perintis film Indonesia berkolaborasi, yakni Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani. Hebatnya, film ini mereka buat di saat usia mereka masih relatif muda. Djamaluddin Malik, sebagai produser merupakan yang tertua, kala itu berusia 37 tahun, Usmar Ismail yang didapuk sebagai sutradara, masih berusia 33 tahun, dan Asrul Sani sebagai penulis skenario adalah yang termuda, berusia 28 tahun! Tulisan ini tidak akan membicarakan secara khusus tentang Lewat Djam Malam, namun lebih menilik pada kiprah tiga tokoh perfilman di atas dalam sejarah perkembangan film Indonesia. Ketiga orang yang sama-sama berasal dari Sumatera Barat yang telah banyak “bikin perkara” dengan menorehkan sejumlah pencapaian dalam berkarya melalui perannya masing-masing. Tulisan ini merupakan bentuk penghormatan atas jasa-jasa mereka, khususnya dalam menyambut bulan film nasional yang diperingati setiap 30 Maret.
Tak ada yang menyangkal tentang peran penting trio Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani dalam sejarah perfilman Indonesia. Ketiga tokoh ini berhasil membubuhkan tinta emas melalui karya-karya mereka yang mengisi sejarah perkembangan sinema Indonesia.
Djamaluddin Malik dikenal sebagai Bapak Industri Film Indonesia. Kiprahnya adalah sebagai produser terkenal di tahun 1950-an hingga 1960-an. Djamaluddin Malik lahir di Padang, 13 Februari 1917. Ia mantan pejuang kemerdekaan. Selepas proklamasi, ia merintis usaha di bidang tekstil, kayu, dan bahan bangunan, namun kecintaannya pada dunia seni sandiwara dan film tak surut, bahkan kiprahnya menorehkan jejak yang dalam bagi perjalanan awal perfilman Indonesia. Pada masa revolusi, ia mendirikan grup sandiwara Bintang Timur. Ia juga membeli dan menghidupkan grup sandiwara lain yakni Pancawarna.
Pada awal tahun 1950-an dua grup sandiwara ini ia lebur dalam Persari (Perseroan Artis Indonesia), sebuah perusahaan produksi film yang ia dirikan dan ia pimpin. Pada dekade ini juga Djamaluddin Malik fokus di dunia film sebagai produser. Selama berkiprah menjadi produser, Djamal berhasil membuat 59 film, termasuk film-film terkenal seperti Sedap Malam (1950), Lewat Djam Malam (1954), dan Tauhid (1964). Meski demikian, naluri sebagai “pedagang film” tak membuatnya jatuh sebagai hamba uang yang mengorbankan estetika. Dalam sebuah testimoni Asrul Sani (1987), Djamaluddin Malik pernah membiayai sebuah film untuk diproduksi. Tapi setelah film selesai dibuat, ia kecewa dengan hasilnya. Ia lalu mengumpulkan seluruh kru dan pemain di show roomnya. Ia menumpuk positif dan negatif film tersebut dan membakarnya dengan sebuah pengantar, “Hari ini kita berkumpul di sini untuk membakar sebuah film, sebagai pernyataan bahwa kita tidak akan membuat film seperti ini lagi.” Dahsyat!
Kepiawaiannya sebagai pelaku perfilman terus berlanjut. Pada tahun 1954, bersama Usmar Ismail ia mendirikan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), dan mengajak organisasi tersebut untuk bergabung dengan Federasi Produser Film se-Asia. Hal ini bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat film Indonesia di kancah internasional. Pada tahun 1955, Djamal memelopori terselenggaranya Festival Film Indonesia yang pertama. Konon Djamal pula yang membiayai seluruh keperluan festival itu. Pada tahun yang sama, ia juga memprakarsai Festival Film Asia Pasifik.
Dalam peran yang berbeda, sosok Usmar Ismail yang lahir di Bukittinggi tahun 1921 turut berkiprah dalam perkembangan film Indonesia di masa-masa awal. Usmar yang terkenal sebagai Bapak Film Indonesia adalah seorang sutradara idealis yang berhasil menelurkan karya-karya yang monumental. Pada tahun 1949, di bawah bimbingan Andjar Asmara, Usmar Ismail mulai bersentuhan di dunia film. Pada tahun tersebut ia menyutradarai dua film yakni Harta Karun dan Tjitra. Keseriusan dan kecintaannya pada dunia film kemudian ia wujudkan dengan mendirikan Perfini pada tahun 1950. Perfini merupakan perusahaan film yang bertujuan menghasilkan film-film yang mengutamakan nilai-nilai estetik ketimbang komersial. Tepat setelah 10 hari Perfini berdiri, film Darah dan Do’a mulai dibuat pada tanggal 30 Maret 1950, yang kemudian tanggal inilah ditetapkan sebagai Hari Fim Nasional oleh Dewan Film Nasional sejak tahun 1962.
Di bawah bendera Perfini, Usmar Ismali produktif menghasilkan film-film penting seperti Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Djogja (1950), Dosa Tak Berampun (1951), Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954, produksi bareng antara Perfini dan Persari), dan Tiga Dara (1956). Krisis dan Tiga Dara berhasil menyedot perhatian publik dan termasuk film laris di zamannya. Di bawah Perfini, muncul juga sutradara-sutradara lain yang hebat semacam D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, dan Nya’ Abbas Akup.
Tokoh terakhir yang amat berperan dalam perkembangan film Indonesia adalah Asrul Sani yang lahir di Rao, Sumatera Barat, pada 10 Juni 1926. Selain sebagai sastrawan Angkatan 45 yang menonjol, Asrul juga dominan dalam dunia film Indonesia sebagai penulis skenario yang cemerlang. Film-film seperti Lewat Djam Malam (1954), Apa Yang Kau Cari, Palupi (1969), Kemelut Hidup (1977), Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986), Naga Bonar (1986), dan Nada dan Dakwah (1991) adalah sederet film sukses yang menggunakan naskah skenario yang dibuatnya. Asrul juga pernah menjadi sutradara di beberapa film seperti Tauhid (1964), Apa Yang Kau Cari, Palupi (1969), Para Perintis Kemerdekaan (1977), dan Kemelut Hidup (1977). Kiprahnya sebagai penulis skenario diganjar banyak penghargaan di pelbagai ajang festival film, termasuk FFI yang menjadi langganan.
Ketiga tokoh ini tak pelak adalah peletak dasar perfilman nasional. Meski sebagian besar copy seluloid film-film mereka tak terurus, rusak, dan hancur, namun karya-karya mereka menjadi catatan sejarah yang penting untuk dikaji. Menonton film-film mereka adalah melihat sejarah dan paras Indonesia di masa lampau, dengan segala kemolekan, kelucuan, dan kenaifannya.
Bogor, 30 Maret 2016
Referensi
Sani, Asrul. 1997. Surat-Surat Kepercayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.