cover IsingaKisah Perjuangan Mama di Papua dalam Roman Isinga

Judul: Isinga

Pengarang: Dorothea Rosa Herliany

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Cetakan: Pertama, Januari 2015

Halaman: viii + 210

ISBN: 9786020312620

 

Isinga dalam bahasa Papua berarti perempuan atau ibu. Kata ini diambil sebagai judul roman oleh Dorothea Rosa Herliany seorang penyair dan aktivis kesenian. Selama ini, Dorothea  memang lebih dikenal membuat karya puisi ketimbang menulis prosa. Ia meraih sejumlah penghargaan dalam bidang ini. Karenanya, roman pertamanya ini menarik untuk diapresiasi.

Roman ini juga mendapat prestasi yang membanggakan. Ia meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa ke-15 (dulu bernama Khatulistiwa Literary Award) kategori prosa yang diberikan pada 14 Januari 2016 di Jakarta. Isinga menyisihkan sejumlah nominee lain yaitu Hujan Bulan Juni (Sapardi DJoko Damono), Anak-anak Masa Lalu (Damhuri Muhamad), Aruna dan Lidahnya (Laksmi Pamuntjak), dan Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (Eka Kurniawan).

Roman  Isinga bercerita tentang tokoh Irewa seorang perempuan dari Suku Aitubu, Papua. Ia terpaksa menjadi yonime, atau juru damai, antara sukunya dengan Suku Hobone yang sedang berkonflik. Syarat menjadi yonime adalah ia mesti rela diperistri Malom, seorang duda dari Suku Hobone, meskipun ia sesungguhnya lebih mencintai Meage, pemuda di kampungnya sendiri yang pintar main tifa.

Kehidupan Irewa setelah diperistri Malom sungguh berat. Ia mesti bertanggungjawab memelihara babi, mengurus kebun, mencari sagu dan betatas (ubi jalar), menyiapkan makanan, dan merawat anak. Kewajiban Irewa berbanding terbalik dengan Malom yang hanya suka berburu dan berfoya-foya: minum dan main perempuan. Bahkan Irewa tertular sifilis dari suaminya yang suka ke tempat pelacuran.  Di tengah kewajibannya yang maha berat, tak jarang Irewa menerima perlakukan kasar dari suaminya. Pukulan, tempelengan, dan tendangan sering ia terima gara-gara hal sepele. Nasib  Irewa ini menjadi potret sebagian perempuan Papua pada masa itu.

Di tengah kekalutan nasib hidupnya, Irewa dipertemukan dengan Jingi, saudara kembarnya yang dulunya dipilih untuk dibunuh dengan cara ditenggelamkan di sungai sewaktu lahir.  Sesuai dengan adat setempat waktu itu, yaitu bila ada seorang ibu melahirkan bayi kembar, maka salah satunya harus dibuang atau dibunuh. Namun Jingi berhasil  diselamatkan dan dijadikan anak angkat oleh Suster Karolin dan Suster Wawuntu. Jingi dibesarkan di Manado dan menempuh pendidikan dokter hingga ke Belanda. Atas dorongan Jingi, Irewa mencoba bangkit dan bahkan menjadi aktivis kesehatan di kampungnya.

Di samping tokoh Irewa dan Jingi, roman ini juga menceritakan tokoh Meage, mantan kekasih Irewa. Meage yang pintar main tifa bergabung dengan grup Farandus, pimpinan Bapa Rumanus Asso. Grup ini berkelana ke pelosok Papua untuk main musik dan mendata keberagaman musik lokal. Gerakan ini mengusik kecurigaan aparat keamaman (Orde Baru). Mereka menuduh  grup Farandus adalah bagian dari gerakan pengacau dan separatis. Dalam suatu operasi, Rumanus ditangkap lalu dianiaya aparat hingga tewas. Meage, sebagai pemain utama Farandus lalu menggantikan posisi Rumanus sebagai ketua kelompok. Hal ini menjadikannya incaran aparat hingga akhirnya ia pun diburu dan dianiaya. Khawatir akan keselamatan Meage, Dokter Leon (ayah angkat Meage), menyelamatkan Meage dengan membawanya ke Jerman.

Secara umum, roman ini ingin mendesakkan beberapa isu. Isu utama adalah soal ketertindasan kaum perempuan di Papua. Bagaimana perempuan di sana menghadapi perlakuan tidak adil dari kaum lelaki. Dan bagaimana mereka tegar dan perkasa menghadapinya. Isu selanjutnya adalah soal kekejaman regim Orde Baru waktu itu, dalam hal ini aparat keamanannya yang bertindak sewenang-wenang dan kejam dengan melakukan pembantaian terhadap penduduk yang dianggap melawan pemerintah.  Dan isu terakhir adalah soal kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi Papua yang banyak berubah. Banyak sumber daya alam yang dieksploitasi secara liar dan ilegal antara lain kayu gaharu. Pesatnya pendatang yang datang untuk merampok kekayaan alam Papua menjadikan Papua sebagai tempat urban baru dengan banyaknya lokasi pelacuran. Akibatnya, penyakit sifilis dan HIV AIDS merajalela.

Pengarang berhasil menampilkan sisi-sisi antropologis dan etnografis Papua dengan baik. Kebiasaan, upacara adat, hingga soal kecil seperti penyajian makanan diceritakan dengan detail. Kabarnya, dalam penulisan roman ini, pengarang melakukan penelitian langsung ke lapangan.

Dari segi bentuk, roman ini ditulis dengan gaya sudut pandang orang ketiga. Dialog sangat minim sehingga bangunan cerita menjadi kurang dramatik. Kalimat-kalimat yang ditulis pun cenderung  tidak efektif dan kaku. Pesona sebagai penyair tak begitu tampak dalam bangunan diksi yang dipilih dan dirangkai. Dan sepertinya, naskah roman ini tidak melewati proses editing yang ketat, karena saya menemukan paling tidak dua atau tiga kata yang salah ketik. Secara umum, bentuk dan estetika kesastraan dalam roman ini pun agak lemah, terutama kalau dibandingkan dengan dua novel bertema serupa yang terbit sebelumnya yaitu: Namaku Teweraut (Ani Sekarningsih, 2000) dan Tanah Tabu (Anindita S. Thayf, 2009). Saya pun menduga, roman ini terpilih sebagai pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2016 terutama karena mengusung tema perempuan, sebab Ketua Jurinya adalah Dewi Candraningrum, Direktur Jurnal Perempuan yang giat menyuarakan isu ini. (Semoga dugaan saya meleset).

Namun demikian, roman ini menjadi satu karya yang spesial karena menambah khazanah sastra etnografis yang mengeksplorasi kehidupan dan kebudayaan masyarakat Papua.

Takhsinul Khuluq, Bogor, 28 Juni 2016.