Sebuah Resensi
Animal Farm, George Orwell, Cetakan Pertama Januari 2015, Bentang Pustaka, 144 Hal. ISBN : 978-602-291-070-1
Oleh : Rena Asyari
(Terima kasih tak hingga untuk @kedaiboekoe terus semangat memajukan literasi Indonesia)

Saya termasuk terlambat membaca karya George Orwell yang berjudul Animal Farm. Adalah sebuah keberuntungan ketika sebuah toko buku online di twitter @KedaiBoekoe memberikan hadiah THR kepada Seratpena berupa 2 buah buku yaitu Animal Farm dan Presiden Guyonan karya Butet Kertaredjasa. Saya pun tak menunggu lama untuk segera membacanya.
Animal Farm bertutur tentang peternakan yang di “akuisisi” oleh hewan. Semula peternakan milik pak Jones berjalan seperti peternakan pada umumnya. Hingga pada suatu malam hewan-hewan di peternakan tersebut memberontak dan melakukan perlawanan karena tidak terima dengan perlakuan Jones si manusia yang hanya mengambil manfaat dari hewan-hewan tersebut tanpa hewan-hewan itu menerima imbalan yang setimpal. Hewan-hewan merasa dirugikan karena susu, daging, kulit, telur, tenaga mereka dipakai manusia untuk kepentingan dan kebahagiaannya. Sedangkan hewan hanya memperoleh penderitaan. Jones berhasil diusir dari peternakan dan mulailah sekelompok babi menjadi pemimpin bagi hewan lainnya. Kuda, ayam, anjing, bebek, kucing, merpati dan hewan lainnya kecuali babi menjadi rakyat jelata.
Animal Farm dilahirkan pada tahun-tahun ketika terjadi perang dunia II. Novel ini sebagai sindiran keras atas totaliterisme di Uni Sovyet. Tetapi buat saya Novel ini tidak hanya berbicara tentang kekuasaan di Uni Sovyet, isi novel masih sangat relevan untuk kondisi sekarang. Kekuasaan seringkali memabukkan. Menampakkan keindahan dan rayuan palsu tetapi di tengah berjalannya kekuasaan bisa dengan tiba-tiba berbeda dari tujuan semula.
Otoriter. Terjadi di banyak wilayah. Begitupun dengan peternakan Mayor yang dipimpin oleh seekor babi bernama Napoleon. Awalnya Napoleon mencurahkan segala pemikirannya untuk kesejahteraan para hewan. Hewan pun merasa dihargai oleh Napoleon dan mulailah mereka setia pada Napoleon. Sang pemimpin baru pun dinabikan, di elu-elukan sebagai penyelamat, pelindung, dan pemimpin terbaik yang mereka punyai.
Seringkali kebahagiaan menghadirkan luka. Menjadi bodoh adalah hal yang sangat rugi. Setia dan berdedikasi tinggi pada sesuatu hal yang membuat kita celaka merupakan sebuah kesia-siaan. Sekumpulan hewan yang bodoh pun dibodohi Napoleon tak henti-hentinya. Napoleon yang dianggap penyelamat karena berasal dari bangsa yang sama yaitu bangsa binatang ternyata lebih tidak baik dari Jones. Napoleon membuat sekumpulan binatang bekerja lebih keras dan mengurangi jatah ransum mereka. Keluar dari mulut macan masuk mulut buaya, ungkapan ini cocok untuk menggambarkan kehidupan di peternakan Mayor.
Saya jadi teringat tentang kisah Agustinus Wibowo ketika melakukan perjalanan ke negara-negara pecahan Uni Sovyet seperti Tajikistan, Kirgistan, Kazakstan. Beberapa penduduknya menyatakan tidak suka merdeka, mereka memilih berada dalam suatu kekuasaan karena kebebasan dan kemerdekaan tak berarti yang terbaik untuk mereka semua.
Kekuasaan seperti penghisap debu yang jika disalah gunakan akan menghisap habis seluruh energi hingga ke akar-akarnya. Tak perlu menabikan pemimpin baru, karena kebaruan tidak selalu baik. Tak perlu memasrahkan kekuasaan pada seseorang hanya karena dia golongan yang sama dengan kita, karena sama bukan berarti akan mengasihi dan meyayangi. Sebenarnya kebebasan dan kemerdekan itu apa dan untuk siapa?
Animal Farm menghadirkan lebih dari sekedar kata-kata, tapi tempat kita untuk bercermin diri.