Sebuah Dokumentasi_Dikdik Pebriansyah
Reading Class Part III, Part 1
Membaca “Musik dan Misterinya”, Sebuah Artikel yang Ditulis oleh Prof. Bambang Sugiharto dalam Buku Untuk Apa Seni.
Kegiatan rutin Reading Class dwi mingguan kali ini mengangkat sebuah pembahasan dari artikel buku “Untuk Apa Seni?”, buku seri humaniora di Universitas Parahyangan Bandung. Sebelumnya telah dikupas 2 tema musik, yaitu Mozart dan kehidupannya (2bagian), Mang Koko (2 bagian). Kegiatan ini dilaksanakan hari jumat pukul 09.00 s/d 11.00 WIB bertempat di gedung lantai 2, perpustakaan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Acara Reading Class ini di ikuti oleh beberapa mahasiswa ISBI Bandung dari berbagai jurusan diantaranya berasal dari jurusan Karawitan, Teater dan Seni Rupa Murni. Kegiatan ini merupakan agenda rutin yang digelar oleh Reading Corner Seratpena dengan tujuan untuk meningkatkan minat baca, daya baca dan menambah pengetahuan dalam bidang keilmuan seni.
Reading Club kali ini dipandu oleh Aloysia Widyaningsih yang merupakan salah satu etnomusikolog sekaligus dosen di Fakultas Seni Pertujukan Prodi Karawitan ISBI Bandung. Kegiatan ini berupa membaca kritis oleh peserta ke peserta yang bisa disebut sebagai teknik estafet reading, yaitu membaca dengan cara saling menyambung dari peserta ke peserta dan disertai dengan mengoreksi, mengkritisi dan saling mengungkapkan pendapat setelah membaca bagian dari tulisan tersebut.
Pada awal bacaan, dibahas mengenai musik menurut tafsiran beberapa ahli Seperti misalnya menurut Pop Bono “musik dapat mengubah dunia, karena ia bisa mengubah hati manusia”, lain halnya menurut filsuf terkemuka dari yunani yaitu Arsitoteles yang mengaggap bahwa musik sederajat nilainya dengan matematika dan filsafat, karena musik dapat mengungkapkan irama jiwa serta-merta. Bethoven mengungkapkan musik lebih jauh lagi, menurutnya musik adalah bahasa tuhan yang berbicara kepada jiwa, dan para komposer adalah mereka yang dianugerahi kemampuan untuk menangkap bahasa tuhan itu lalu menerjemahkannya bagi manusia. Lain lagi menurut filsuf Schopenhauer melodi adalah sigapnya rahasia-rahasia terdalam kehendak dan perasaan manusia. Maka dari itu para tokoh psikoanalisis menduga bahwa musik adalah transfigurasi dan pencanggihan dari pengalaman bunyi paling intim sejak kita dalam kandungan yaitu bunyi ritmis detak jantung bunyi kehidupan. Dari beberapa ungkapan para ahli di berbagai bidang ini menunjukan bahwa musik memiliki suatu posisi yang unik dalam kehidupan manusia. Terlepas dari ungkapan para tokoh tersebut musik memiliki keragaman dan kompleksitas tersendiri seperti halnya dalam cara mendefinisikannya. Seperti misalnya apa itu musik? apa yang tidak dianggap musik? dan apa nilainya bagi manusia? Semua itu ternyata tak sejelas yang kita kira. Jadi bila diamati secara luas musik mempunyai kazanah yang sangat luas dan kompleks sehingga ada demikian banyak bentuk musik dengan bermacam faktor dan unsur yang terkandung di dalamnya.
Musik memiilki persepsi yang berbeda dari setiap individu, misalnya komposisi karya Bach, Beethoven dan Chopin tentu saja diianggap musik, tapi bunyi tarompet Miles davis yang melolong-lolong seperti raungan adalah musik juga. Adapula yang sangat berbeda dengan dengan para komponis klasik tersbut, misalnya jenis musik atonal yang dikembangkan oleh Arnold Schonberg yang terdengar seolah tanpa melodi. Bahkan ada juga karya sangat fenomenal dari komposer berkebangsaan Amerika yaitu John Cage dengan karyanya 4’33” yang melakukan aksi sunyi selama empat menit tiga puluh tiga detik. Musik kerap dianggap ekspressi emosi, dan dampaknya sering dilihat sebagai dampak emosional. Tapi bagi suku Navajo dampak penting musik tidak terletak dari emosionalnya melainkan dari medisialnya. Artinya musik yang bagus adalah musik yang dapat menyembuhkan orang sakit meskipun suku Navajo ini tak memiliki kata tentang musik. Cara kita menerapkan kata musik pun terkadang sembarangan seperti ‘burung bernyanyi’ mengapa sapi atau anjing tidak? Bunyi mesin bukanlah musik kecuali bila memang sengaja dimasukan sebagai elemen musikal oleh sang komposer. Kalupun musik kita definisikan sebagai ‘bebunyian yang ditata secara manusiawi’ akan tetap sulit juga karena menurut masyarakat suku Kaluli bunyi hutan dianggap musikal, dan mereka bisa berduet menimpali bunyi hutan, burung, angin, air terjun, dsb. Maka sebenarnya tetaplah sulit menetapkan batas-batas wilayah musik secara ekslusif dan tegas. Apalagi ketika saat ini rekaman segala bentuk musik yang sering aneh dan unik dari berbagai penjuru dunia dan dapat dinikmati oleh siapa pun juga.
Maka dari itu banyak pertanyaan-pertanyan seputar apa sebetulnya itu musik? Fenomena tentang musik hingga sekarang masih ramai diperbincangkan karena persoalan definisi tentang musik terus berkembang hingga saat ini dan hangat di perdebatkan. Kompleksitas seputar fenomena musik tersebut membuat kita sulit berpegang terhadap satu definisi. Akan tetapi karena wacana akademis menuntut semacam konsep yang agak jelas sebagai pegangan ataupun pijakan, maka kiranya suatu definisi bisa kita tetapkan untuk sementara dalam konteks wacana kita yang terbatas.
Sebuah ide yang menarik dari Cathlen Marie Higgins yang secara longgar dan terbuka menyatakan bahwa musik bisa dipahami sebagai fenomena auditoris yang diproduksi secara intensional. Tetapi pendapat tersebut seolah hanya menekankan aspek ‘diproduksi’ maka lantas bebunyian alamiah tidak bisa masuk didalamnya. Oleh karena itu perlu di tambahkan di dalamnya kalimat yang di apresiasi sehingga menjadi ‘musik adalah fenomena auditoris yang diproduksi atau diapresiasi secara intensional’. Secara intensional artinya bahwa disatu sisi musik memang sesuatu yang diproduksi dengan maksud dan tujuan tertentu, dan di sisi lain kualitas apresiasi yang muncul terhadapnya pun sangat bergantung pada pemaknaan pendengarnya.
Perbicangan tentang musik dalam Reading Club kali ini belum selesai, karena dalam dunia nyata kita harus terus melakukan pembacaan-pembacaan musikal dan dengan sadar mulai untuk mengkritisi definisi-definisi yang telah ada. Yang telah ada bukanlah ketetapan, karena peradaban terus bergerak sedang musik merupakan anak peradaban yang terus terpengaruh oleh gerakannya.