Oleh : Rena Asyari

Novel pertama Okky Madasari ini terbit tahun 2010. Kala itu di tengah derasnya novel-novel pop, Entrok menjadi salah satu yang berbeda. Latar belakang cerita, karakter tokoh dan tentu ceritanya itu sendiri yang membuat Entrok menjadi lekat dalam ingatan.

Bagi pembaca pemula yang ingin mengetahui tentang perjalanan bangsa dari tahun 1950, novel ini cukup representatif. Ringan, enak dibaca dan tentu menggugah. Melalui Marni dan Rahayu, Okky menuangkan kegelisahannya tentang sejarah yang terpendam dan terlupa. Okky mencoba mengingatkan pembaca dan memberi gambaran yang mungkin tidak diketahui banyak orang tentang kejadian 1965. Yang saya tangkap Okky juga hendak menyampaikan pesan untuk tidak berlebihan dalam beragama, keimanan sejatinya sangat pribadi. Keimanan hadir bukan untuk dipamerkan dan dilebih-lebihkan. Berdialog dalam sunyi dengan sang Pencipta, sejatinya itu lebih real ketimbang menampakkan segala atributnya secara fisik pada publik.

Keimanan hadir dengan sendirinya, mempermanis cerita ini. Adalah Marni yang hanya percaya pada pemilik semesta, dia tak butuh agama. Baginya menempatkan Yang Maha Kuasa di hatinya itu cukup. Hidup adalah kerja keras dan pemilik semesta senantiasa ada di sampingnya. Berawal dari Marni kecil yang ingin membeli Entrok, Entrok yaitu Be-Ha atau kain yang menutupi payudara maka Marni pun bekerja keras dari kecil. Lahir sebagai orang desa dan miskin membuat Marni harus berjuang melawan kemelaratan, waktu demi waktu dijalaninya dengan peluh dan tanpa mengeluh. Mempunyai suami yang tukang mabuk, peminta dan malas bekerja dijalani Marni dengan sabar. Teja hadir sebagai pelengkap bagi Marni. Teja adalah batu lompatan bagi Marni menjadi pemberani, pendobrak, Marni tak sudi menyerahkan diri sepenuhnya pada laki-laki yang hanya tahu makan dan ranjang.

Peluh dan jejak kaki Marni yang tertinggal di pasar, pematang sawah, menjadi saksi dan mengantarkan Marni pada kesuksesan. Marni tumbuh menjadi juragan bakul, kerja keras dan kejujuran serta sikap mau menolong sesama membuat Marni dipercaya untuk dititipi harta oleh pemilik Semesta. Menjadi kaya bukan tanpa masalah, Marni tetap mendapatkan kesewang-wenangan dari penguasa. Menjadi bodoh bukanlah cita-cita Marni, nasib tak memihak padanya untuk menjadi terpelajar. Karena kebodohannya ia banyak diperdaya oleh orang-orang dan penguasa.

Tak mau mengulang penderitannya, Marni ingin Rayahu anaknya mendapatkan pendidikan terbaik. Demi Rahayu menjadi terpelajar Marni rela bekerja lebih keras lagi, segala macam hujatan dan makian dari siapapun tak ia hiraukan, zaman yang tidak bersepakat dengannya pun ia lawan. Ia tak gentar. Derap kaki serdadu-serdadu yang didengarnya tak membuat hatinya ciut. Teman-temannya yang tiba-tiba menghilang setelah tahun 1965 dan katanya dibunuh pun tak membuat Marni mundur. Dia hanya bekerja dan bekerja siang malam.

Yang Marni tahu hidup semakin menyeramkan, banyak mata-mata, bicara salah sedikit dituduh PKI, bergaul dengan perempuan yang berani dituduh Gerwani. Marni menyerahkan segala-galanya pada mereka yang meminta dengan paksa, orang-orang berseragam, agar Marni aman. Cuma itu satu-satunya cara. Tetapi Marni tetaplah Marni, keimanannya menyelamatnya dari rasa gundah dan gelisah.  Zaman mengerikan, biarlah dia mencatat sejarahnya sendiri.

Rahayu anak Marni berhasil masuk perguruan tinggi ternama, Marni bangga. Tetapi Rahayu tak tumbuh menjadi seperti yang diinginkannya. Pendidikan yang diperoleh Rahayu menjadi bumerang bagi Marni. Marni dihakimi hanya karena tak beragama. Rahayu yang berkenalan lebih jauh dengan agamanya membuat ia kalap sehingga mampu menghakimi orang yang tak sama dengannya, bahkan ibunya sendiri. Rahayu lebih memilih guru spiritualnya dibanding ibu kandungnya. Rahayu terbujuk rayuan dengan iming-iming surga. Tak ada yang sempurna, guru yang dijunjungnya ternyata berbuat tidak senonoh.

Rahayu semakin tak terjangkau. Marni hidup dalam kesendirian. Teja mangkat. Kesepian semakin terasa dan menyakitkan. Satu-satunya pelipur lara adalah Mbah Ibu Bapa Bumi Kuasa demikianlah Marni selalu menyebut penciptanya.

Ada masanya, Rahayu memeluk Marni dan menyesal. Dia mengakui keberanian dan pengorbanan ibunya. Tentang keimanan ibunya yang menurutnya tak masuk akal, Rahayu tak lagi peduli. Hidup memberinya pelajaran yang sangat berharga.