Penulis: Rena Asyari

 

Makinuddin Samin, Kumpulan Cerpen Pemabuk, Fire Publisher, 2016, ISBN : 978-602-1655-20-7, Makinuddin Samin, Ahangkara,  Javanica, 2017, ISBN : 978-602-6799-13-5

Makinuddin Samin adalah salah satu dari sedikit penulis yang mengambil tema ‘sufi’ dalam karyanya. Meskipun dalam sebuah diskusi[1] beliau menyatakan tidak pernah bermaksud untuk menjadikan tulisan bertema sufi. Beliau hanya bercerita tentang keadaan di sekitarnya, kejadian sehari-hari, kebiasaan orang-orang dikampungnya, tindak tanduk orang kampung dalam beragama, bermasyarakat dan memperlakukan alam.

Adalah Ahmad Tohari yang justru melabeli tulisan Makinuddin Samin mengambil tema sufistik, dalam sebuah kata pengantar Ahmad Tohari berkata “Dalam cerpen sufistik, agama-agama sudah mengendap menjadi kerinduan yang sangat kepada Sang Kekasih. Kumpulan cerpen ini adalah kumpulan karya sastra yang berkelas. Semangatnya berada pada jalur kerinduan kepada Tuhan, yang lebih mendalam daripada sekadar kesadaran beragama, mari baca”, begitu katanya.

Dalam kumpulan cerpennya yang berjudul pemabuk, Makinuddin berkisah tentang seorang pemabuk yang dihukum  mati, tetapi pemabuk yang satu ini adalah seseorang yang sangat taat dan merindukan Tuhannya dengan sangat. Ketika tiba saatnya algojo memenggal kepalanya, diceritakan tidak ada darah. Hal ini disebabkan karena si pemabuk telah melepaskan hidupnya.

Lalu ada yang berjudul ‘Kurban’ bercerita tentang kambing tua yang ingin sekali menjadi hewan kurban. Ia bersaing dengan kambing yang lebih muda. keinginannya yang membabi buta menyebabkan ia membunuh temannya sendiri (kambing yang lebih muda) secara tak sengaja, cerita ini menggambarkan tentang nafsu dan egoisme. Ketika nafsu sudah menguasai diri maka yang tersisi hanyalah penyesalan.

Dan masih banyak lagi cerpen lainnya, diantaranya berjudul Maling, Tedhun, Kuncen, Pindah Rumah, Dukun, Sinengker, Jenglot, dan Kemenyan. Makinuddin meramu ceritanya dengan apik. Kesan-kesan mistis, magis, kematian, dan hal-hal yang tak biasa menjadi dekat dan nyata. Seringkali kita yang merasa hidup di zaman modern menganggap tingkah laku orang-orang kampung yang masih percaya leluhur dan melakukan beberapa ritual adalah tindakan yang primitif dan tidak relevan. Tetapi kenyataannya kearipan hidup justru lahir dari hal-hal yang sederhana bahkan kadangkala tidak masuk akal.

Makinuddin sepertinya sedang dimabuk kerinduan pada sang pencipta. Realitas kini, hiruk pikuk masalah politik, sosial, agama justru membuatnya kian tenggelam dalam kerinduan padaNya yang disajikan melalui tulisan-tulisannya. Makinuddin mengingatkan saya pada Danarto yang juga sering mengambil tema sufistik dalam tulisannya. Makinuddin pun menjadi obat penawar rindu bagi para pembaca yang sudah jengah dengan tulisan para penulis lainnya yang seadanya, serupa dan terkesan dipaksakan demi memenuhi selera pasar.

Novel terbarunya Ahangkara bercerita tentang sengkarut sengketa kekuasaan dan agama di tanah Jawa tahun 1450-an. Ahangkara sungguh novel dengan riset yang luar biasa. Nama tokoh, peristiwa, tanggal serta tahun-tahun penting ditulisnya dengan detail, dilengkapi dengan linimasa kekuasaan di tanah Jawa, silsilah trah Tuban, silsilah Trah Demak, silsilah trah Pengging dan Pajang juga silsilah trah Tarub membuat novel ini menjadi novel sejarah.

Bagi saya yang tidak terlalu suka dengan sejarah karena harus mengingat banyak sekali tanggal-tanggal penting, novel ini sangat membantu untuk memberikan gambaran tentang peristiwa di abad ke 15 di tanah Jawa. Meskipun pada awalnya saya tidak terlalu menikmati Ahangkara dikarenakan gaya bahasa bercerita yang kurang luwes dan kurang mengalir tetapi karena informasi yang dihadirkan sangat penting maka Ahangkara pun menjadi buku yang sangat layak untuk dibaca. Dalam Ahangkara Makinuddin seolah ingin menunjukkan bahwa perebutan kekuasaan dan pertentangan agama dari dulu sampai hari ini selalu gaduh.

 

[1] Diskusi Sufisme Jawa dari Masa ke Masa, diselenggarakan oleh Seratpena Reading Corner 31 Maret 2017 di Lt. 2 Perpustakaan Isbi Bandung, Jl. Buah Batu no. 212 Bandung.