Penulis: Dyah Murwaningrum

4 November 2017, Sebuah kesan dari perbincangan di Los Kopi Pasar Cihapit Bandung.

Bandung, Cihapit memang selalu eksotis dari masa ke masa. Kopi Pasar Cihapit di sore hari, saat rolling door kios-kios mulai ditutup, saat kuli-kuli sembako mulai bersiap pulang, dan bos-bos di pasar menata kertas-kertas berangka dan menghitungnya.

Kios kopi pasar Cihapit, sehari-hari menjadi ajang kumpul, diskusi dan ruang membaca bagi beberapa orang yang menjadi langganan di sana. Sekali lagi, tempat ini menjadi ajang diskusi, seperti biasa.

Bandung dan nama Oto Iskandar Di Nata rasanya sudah sangat lekat. Sosok pahlawan yang masa hidupnya sangat identik dengan geliat kota Bandung. Dia dan pemikirannya, pergerakannya menjadi salah satu daya dari Bandung sebagai kota yang maju. Sampai akhirnya, Oto diculik dan dibunuh oleh kelompok yang tak bertanggung jawab karena sebuah fitnah. Fitnah bahwa Oto akan menjual kota Bandung.

Kenyataan tersebut masih relevan dengan kondisi sekarang. Negeri kita yang akhir-akhir ini makin sarat fitnah. Ternyata tradisi fitnah memfitnah ini sudah berlangsung puluhan tahun dan ada saja sekelompok orang yang terprovokasi. Khususnya kelompok-kelompok yang tak memiliki daya untuk mengkonfirmasi informasi dengan kenyataan melalui pengetahun-pengetahuannya. Hal ini pula yang disampaikan oleh Iip D Yahya dalam diskusi buku kemaren, yaitu bahwa kondisi fitnah di kalangan tokoh-tokoh kita masih terus berlangsung hingga sekarang. Dan, masyarakat didera kebingungan berkepanjangan atau tanpa berpikir akan menelannya begitu saja.

Sebelumnya Iip pernah menulis beberapa judul buku yang telah diterbitkan, diantaranya; Footsteps of Indonesians in Victoria, Eyes of Sumba, Ajengan Cipasung: Biografi KH. Moch Ilyas Ruchiyat, Picture Book Asia-Afrika: Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan. Juga tulisannya tentang tokoh-tokoh negara, misalnya Romo Mangun Sahabat Kaum Dhuafa, Mengadili Menteri Memeriksa Perwira; Jaksa Agung Soeprapto dan Penegakan Hukum Indonesia 50-59, Gusdur Berbeda itu Asyik. Sedikit mengenal tentang Penulis buku Oto Iskandar Di Nata, Iip lahir di Tasikmalaya dan menghabiskan masa-masa kecil sampai mudanya sebagai santri di beberapa tempat. Diantaranya di Krapyak Yogyakarta, di Tremas Pacitan, Kauman dan Kalibeber Wonosobo.

Dalam acara diskusi buku ini, Iip juga menekankan tentang kecenderungan kita untuk membicarakan kematian Oto saja. Padahal ada yang lebih penting untuk kita ketahui yaitu bagaimana hidupnya, jasanya, pemikirannya, pergerakannya dan kiprahnya untuk masyarakatnya. Yang disampaikan oleh Iip memang sangat relevan dengan kebanyakan orang disekitar kita. Kita lebih seru dan antusias dalam membicarakan hal-hal kontroversial ketimbang mengambil pelajaran, pengetahuan dan melanjutkan kegiatan-kegiatan positif.

Buku Oto ini, bisa dikatakan sebagai buku pertama dan terlengkap saat ini yang membicarakan perihal Oto. Dari buku ini kita akan menjadi tahu bagaimana kiprah Oto baik dalam politik maupun masyarakatnya. Oto bukan hanya maju dalam politik saja. Bukan juga hanya mencari kekuasaan, namun juga membangun masyarakatnya. Membukakan jalan untuk masyarakatnya agar lebih maju hidupnya, pengetahuannya dan kesejahteraannya. Dengan gaya cukup santai dan tidak sekaku membaca buku-buku ilmiah, cara tutur Iip dalam tulisan membuat kita yang tak terlalu sering membaca buku ilmiah dapat masuk ke dalam cerita.

Cerita dalam buku ini bukan hanya menyuguhkan fakta-fakta dan data-data. Tulisan Iip menggiring kita untuk masuk larut dalam kisah-kisah perjuangan Oto. Sebuah cara papar yang memikat pembaca untuk menikmati pengetahuan sejarah. Dilengkapi catatan kaki untuk menginformasikan hal-hal lain yang penting dan meguatkan data-datanya. Buku ini juga dapat memberi arah jalan bagi teman-teman yang tertarik memulai riset-riset sejarah atau melanjutkan perjalanan menulis tentang Oto dan atau kawan-kawan seperjuangan Oto yang lain.

Seperti pada umumnya, tema-tema sejarah memang kurang “laku” di masyarakat muda kita. Yang muda seringnya lebih dekat dengan hal-hal kekinian dan dunia yang menghibur, meski tidak semua. Diskusi buku kali ini, terasa sangat hidup karena proporsi pengunjung cukup seimbang antara yang tua dan yang muda. Mulai dari remaja usia 20an sampai bapak ibu berusia 70tahun. Salah satu dari deretan pengunjung tersebut adalah Bp. Rachmadi, salah satu anak dari Oto.

Bandung dengan macetnya di hari sabtu menunda sedikit waktu Iip D Yahya untuk sampai di Cihapit. Serunya lagi, pengunjung justru merasa senang karena menikmati sajian kacapi lebih lama. Acara dibuka dengan musik kacapi sunda Dika Dzikriawan (seorang penembang Sunda yan juga kontributor di Seratpena) yang membawakan lagu lagu tradisi bertema pahlawan dan cinta tanah air, yang salah satunya adalah doa bagi arwah Oto dan Dewi Sartika. Diskusi buku yang berjudul “Oto Iskandar Di Nata, Untold Story” diselenggarakan oleh Seratpena, Layar Kita dan bertempat di Los Kopi Pasar Cihapit juga didukung Lawang Buku sebagai distributor dari buku Oto Iskandar Di Nata Untold Story yang ditulis oleh Iip D Yahya.

Bagi teman-teman yang tidak sempat datang, tidak perlu khawatir karena video diskusi akan diunggah melalui website ini (www.seratpena.com). Bagi yang ingin mendapatkan bukunya, bisa kunjungi  http://lawangbuku.com