Penulis: Dyah Murwaningrum
“Ngobrolin Bunyi 1”, 19.00-20.30WIB, 22 November 2017 di Mr. Guan Books Café (Jl. Tampomas 22 Bandung)
“GRUUUUUUUK.. GRUUUUUK”, mesin penggilas kopi sesekali menjadi sumber bunyi yang paling eksotis di sebuah café. Namun, acap kali menjadi suara berisik yang mengganggu. Bagi para barista, bunyi mesin kopi menjadi penanda geliat gairah, spiritnya, kertas-kertas bernominal di dompetnya dan karya-karya terbaik yang membahagiakannya. Bukan hanya bagi barista, setiap kejadian selalu saja menyisakan bunyi, menyebabkan bunyi atau bahkan disebabkan bunyi. Bukan main-main, bunyi tidak bisa ditiadakan begitu saja. Dan, setiap bidang mendefinisikannya berbeda-beda. Dunia seni, kedokteran, astronomi, biologi, akustika, kuliner, dan transportasi semua memaknai bunyi dari sudut yang berbeda.
Menanggapi obrolan dengan kawan baru yang nampaknya baru saja datang dari jauh dan mulai menetap di Bandung, akhirnya Seratpena mencoba mengkontruksikan sebuah acara tematik. Akhirnya “bunyi” dipilih sebagai tema besar yang entah kapan nanti akan berakhir. Pada tanggal 22 November 2017 di Mr. Guan Café, kami memulai pertemuan dengan judul “ngobrolin bunyi”. Kata “ngobrolin” kita pilih agar tidak terlalu membebani perasaan kami, sehingga kami dapat lebih santai untuk beropini satu sama lain.
19.00 tepat, kami mulai mengobrol dengan awalan dan sedikit tulisan dari pemantik obrolan ini. Acara ini sengaja ditujukan untuk merenungkan kembali hal-hal yang sangat intim dengan keseharian, khususnya yang berikatan sastra dan musik, namun tidak harus melulu soal sasra dan musik. Bunyi adalah bagian yang intim bagi manusia yang memiliki indra pendengar. Jika saja kita tidak memiliki indra pendengar apakah kita akan mendengar bunyi?
Bunyi bukan hanya lewat di telinga, namun dibawa masuk ke dalam pikiran, digunakan dalam berbagai kepentingan manusia. Misalnya menjadikan bunyi sebagai simbol-simbol/ penanda. Apakah itu nada, kata, morse, lonceng, semua itu adalah bunyi. Pelajaran IPA SD memberi pengalaman pada kita, bahwa bunyi guntur merupakan akibat dari masuknya udara ketika kutub positif dan negatif berbenturan di jagat raya. Guntur juga salah satu konten kisah lawas era romawi kuno, bahwa palu Tor sedang dipukulkan. Secara kebiasaan, kita menangkap arti bahwa hari akan hujan. Sesegera mungkin kita harus pulang ke rumah, ada pula yang bergegas mengangkat jemuran, ada juga yang merasakan bahagia luar biasa karena tanaman akan hijau kembali. Sangat beragam respon yang kita tunjukkan dari bunyi guntur.
Kebalikannya, ada pula bunyi yang hanya melintas di telinga tanpa pernah terespon untuk memahami maknanya. Misalnya, suara burung di pagi hari, suara daun yang saling bergesekan, suara mahluk hidup lain. Ada juga bunyi yang sangat mengganggu dan mempengaruhi emosional, baik karena bunyi itu sendiri (misalnya suara anjing menggonggong semalaman) atau arti dari bunyi itu (kata kata seseorang yang menyakitkan).
Latarbelakang yang berlainan diantara kami, maka kami memutuskan bicara tentang bunyi dalam definisi masing-masing. Bagi seorang musisi, bunyi sudah diformulakan sebagai nada-nada, lalu dikoordinir sehingga menjadi suara yang harmonis. Beda lagi dengan disiplin fisika, bahwa bunyi adalah getaran, frekuensi. Ditunjukkan oleh angka-angka dengan satuan Hertz. Dalam dunia sastra, puisi menempatkan bunyi sangat penting, dimana bunyi tersebut diolah menjadi suara bermakna yang enak didengar dan musikal. Bunyi telah dimanfaatkan secara luas oleh berbagai bidang. Bunyi dapat menjadi tanda. Bunyi dapat menjadi penyembuh. Bunyi dapat menjadi motivasi. Bunyi tidak pernah berhenti. Bunyi bukan subjek atau objek. Bunyi adalah momentum.
Pembahasan mengenai bunyi sendiri telah sangat banyak, namun kesadaran kita untuk mendengarkan bunyi lebih dalam, menyadari dampak-dampak bunyi bagi kelangsungan hidup kita, mengkoordinirnya, ternyata kita sepakat bahwa hal itu luput dari perhatian kita. Berikut adalah beberapa tulisan yang dapat dibaca untuk sedikit lebih menyadari persoalan bunyi.
- Journal of Visual Culture: “Beyond Representation and signification: Toward a sonic matterialism”, Chistopher Cox (2011)
- “Musik dan Industri Musik: Sound Art” dalam Makalah ECF Unpar 30 September 2016 Bob Edrian, 2016
- Soundscape 1-3, Suara Puitis dalam Musik dan Kosmos, Shin Nakagawa (1999)
- “Musik itu Budaya atau Alam”, dalam Virus Setan Risalah Pemikiran Musik, Slamet Abdul Sjukur (2012)
- Aspek Bunyi dalam Mantera Dayak Maanyan dalam Jurnal Pendidikan Lazarus Linarto (2010)
- “Plato and World Soul” dalam The Music of The Spheres: Music, Science and The Natural Order of The Universe, Jamie James 1993
Obrolan cukup seru ketika kami menyampaikan pandangan masing-masing dari ranah masing-masing. Dalam dunia tradisi kita mengenal pula mantra yang memberi efek-efek yang nyata, memberi ketenangan, memberi sugesti. Pengalaman seorang teman yang pernah mengikuti acara dzikir bersama pun dirasa sangat mempengaruhi keadaan hatinya. Atau cerita tentang seseorang yang dapat sembuh dari keadaan mental yang rusak, ketika secara kontinyu mendengar tembang tradisi Sunda, Jawa atau lainnya.
21.00 lebih. Obrolan kami nampak sudah selesai. Namun entah apakah obrolan di dalam diri masing-masing kami telah benar-benar selesai. Acara ini bukan untuk menyelesaikan berbagai pertanyaan seputar bunyi, namun pertanyaan justru beranak pinak karena kesadaran yang mungkin baru akan mulai ini. //Dy Murwaningrum//