oleh : Rena Asyari

IMG_20180106_145135_503.JPG

Cinta, membuat hidup jatuh sekaligus menyembuhkan. Kehilangan seseorang yang dicintai dengan tiba-tiba bisa menjadi duka lara yang berkepanjangan. Empat puluh satu tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menunggu, meyakinkan cinta itu tetap ada untuknya yang pergi dan tak pernah kembali.

Amba. Nama yang memberi kehidupan tiga lelaki sekaligus. Salwa, Bhisma, dan Adalhard. Awal mulanya hanya percintaan seorang remaja cerdas yang mencintai puisi seperti dia mencintai udara pagi dan matahari. Salwa, Dosen UGM ini membuat perempuan dari kota kecil di Jawa Tengah Kadipura itu bisa melanjutkan pendidikan ke kampusnya mengambil jurusan sastra. Salwa yang memikat ibu bapak, dan si kembar adik Amba memberi harapan tentang masa depan yang hendak dirajutnya bersama Amba.

Amba adalah kehidupan itu sendiri. Justru karena kehidupan itulah cinta yang dimilikinya mengalir, dia terus mencari hingga hatinya tertambat pada Bhisma Rashad. Dokter lulusan Jerman yang mengabdikan dirinya di Rumah Sakit Kediri. Di tengah raut wajah putus asa pasien yang bisa ditemui di bangsal-bangsal, dan derit roda besi dari kursi roda di lorong-lorong rumah sakit, Amba dan Bhisma tanpa sengaja mengawali sejarah mereka.

Masa-masa genting tahun 1965 menjadi pengingat bagaimana cinta mereka di kuntit, dipenuhi ketakutan, melihat kesedihan korban-korban penusukan dan keadaan kota yang mencekam. Selebaran ancaman, penculikan, mayat-mayat yang tak dikenal, kekacauan, teriakan demonstrasi bukan lagi bayang-bayang. Amba melewatkan malam dengan ketidaktahuan apakah esok masih bertemu Bhisma atau tidak.

Nyatanya, ketakutan Amba suatu hari menjadi kenyataan. Bhisma pergi tanpa sempat pamit. Diculik oleh mereka yang mengatasnamakan penjaga Indonesia. Hari itu kelabu. Di Universitas Res Republica oktober 1965. Separuh jiwanya hilang, dibawa pemerintah.

Adalah Adalhard, peneliti dari Amerika yang menyelamatkan Amba dari kedukaan. Bukan hanya itu, Adalhard memberi rasa aman pada perempuan yang ternyata mengandung janin di rahimnya. Anak Bhisma. Adalhard menemani Amba selama empat puluh tahun, membuatkan hidup yang baru meskipun tak pernah berhasil mengikis cinta Amba untuk Bhisma.

Di usianya yang enam puluh dua tahun, rasa cintanya mengantarnya bertualang di Pulau Buru. Mencari ia yang hilang, setelah berpuluh tahun penantian, ia membutuhkan jawaban. Pulau Buru tak sekedar pulau berpenghuni. Buru lahir dari keringat, air mata, kerinduan, rasa sakit, ketidakterimaan, dendam, dan kepasrahan para tapol. Dua belas ribu orang secara bergiliran didatangkan ke Buru oleh penguasa. Mereka dipisahkan secara paksa dari kota kelahirannya dan orang-orang yang dicintainya tanpa tahu kapan mereka akan dipulangkan. Bhisma satu diantaranya.

Tak mudah mencari jejak Bhisma di Buru. Amba hampir putus asa, ia hanya mencari jawaban atas malam-malam yang selama empat puluh tahun dilaluinya dengan keresahan. Sudah tak ada lagi kata-kata yang dapat mewakili kerinduannya pada Bhisma, sambil mencari Bhisma ia menikmati Buru, menikmati alamnya yang eksotis, Buru membuatnya sesak, ia punya banyak pertanyaan.


Novel ini sudah ada di tangan saya dari tahun 2012, diberikan oleh seseorang yang prihatin atas rendahnya mutu bacaan saya waktu itu, tetapi saya baru membacanya akhir tahun 2017. Dan saya merasa beruntung membacanya terlambat, jika saya memaksa membaca novel berat ini di tahun 2012 mungkin hari ini cerita Laksmi tak akan menjadi apa-apa buat saya. Keterlambatan, kadang kala adalah anugrah.

Novel Amba berkali-kali masuk nominasi penghargaan sastra bergengsi dalam dan luar negeri, dan 2016 dengan judul “Alle Farben Rot” mendapat penghargaan sastra LiBeraturpreis 2016 yang diinisiasi oleh lembaga kesusastraan asal Jerman, Litprom.

Amba. Novel yang ditulis oleh Laksmi Pamuntjak terbit tahun 2012. Dengan alur cerita yang maju mundur, dan penokohan cerita mengambil kisah pewayangan kitab Mahabaratha membuat novel ini menjadi kaya. Buku yang terbagi dalam 6 bab penceritaan dan tebal hampir 500 halaman, dipenuhi dengan diksi yang memukau, membuat saya tertegun, tertawa, menangis, dan hanyut dalam romansa cinta petualangan yang cerdas, penuh dengan pengetahuan.

Laksmi Pamuntjak berhasil bercerita tentang yang tabu di negerinya. Tentang 1965. Melalui Amba, ia menghadirkan Buru, mengingatkan kita tentang perjalanan negeri. Menggugat pembaca untuk merasa berutang pada mereka yang telah lebih dulu lahir.