oleh : Rena Asyari
Sejauh kakimu melangkah pergi, melintasi berbagai negara, mengunjungi banyak tempat bersejarah, kamu pasti tetap butuh pulang. Pulang kembali ke rumah, ke tempat di mana kamu di butuhkan. Inilah yang dirasakan Agustinus Wibowo. Penjelajahan yang dilakukannya di negeri-negeri nun jauh yang di sana, yang bahkan nama negaranya saja belum kita kenal menghantarkannya pada kerinduan yang tak terperi, pada rumah, pada ibunya.
Ibunya, satu-satunya yang dia miliki telah terbiasa menghisap aroma cat rumah sakit. Di samping ranjang ibunya, sambil menggenggam tangannya yang kurus dan memandang wajah ibunya yang pucat dan tirus, Agustinus serasa berada di Titik Nol. Dia tahu darimana dia bermula dan harus berakhir.
Titik Nol, sebuah cerita perjalanan yang ditulisnya tahun 2013. Titik Nol bukan sekedar cerita perjalanan biasa. Perjalanannya adalah tentang kesabaran, membaur, memelas, merunduk, patuh, mengalah, menyamar, menyelundup, semuanya dilakukan agar mampu bertahan di negeri asing. Tak peduli dia dihajar, mengalami pelecehan sexsual, terlantar, menderita, lapar, sakit. Agustinus sadar benar, modal perjalanannya hanya tekad. Tak ada yang bisa dilakukan selain pasrah dan pantang mengeluh. Mengeluh hanya akan membuat perjalanan terasa menyebalkan.
Agustinus menceritakan perjalanannya menyusuri Beijing ke Urumqi yang jaraknya tiga ribu tujuh ratus enam puluh delapan kilometer dilewatinya selama 44 jam dengan kereta api ekonomi yang penuh sesak dengan segala bau. Berhadapan dengan mata orang-orang yang terjepit diantara para penumpang lainnya, tak bisa selonjor apalagi santai. Perjalanan yang memuakkan dan penuh haru biru karena ternyata banyak orang yang memilih menjalaninya.
Dia pun menginjakkan kakinya di Tibet, Tanah Suci di atap dunia, negeri yang terlarang dan tertutup dari dunia luar. Menyaksikan para biksu, peziarah dari beragam negeri. Ziarah di Tibet sangat ektrim, tak lagi berjalan kaki, tetapi merayap, bersimpuh pada lutut, tubuh telungkup, dahi menempel ke tanah. Tanah Suci ternyata tak melahirkan kesucian bagi sekelilingnya. Tetap rusak, tetap bejat. Tingkah polisi membuatnya tak berdaya.
Perjalanan pun dilanjutkan ke Nepal Kathmandu. Mengunjungi kota kuno Bhaktapur, bertemu dengan Sadhu, mengintip istana Dewi Hidup Kumari, menyaksikan para pemuka Hindu membasuh patung Vishnu dengan mentega, yogurt, susu, madu. Nepal adalah negeri Hindu dengan populasi dewa-dewi jauh lebih banyak daripada populasi manusianya yang tak sampai 30 juta jiwa. Dalam perut seekor sapi saja sudah ada 300 juta dewa. Di Nepal, setiap hari orang-orang mengadakan perayaan. Perayaan spiritualtas. Bersuka cita, gegap gempita.
Dari perbatasan Nepal, Agustinus pun melanjutkan ke India, negeri pencetak film Bollywood. Yang tergambar tentang India tentunya gadis-gadis manis berhidung bangir dan bermata bulat besar, berkulit cokelat, juga aktor yang tampan, gagah pandai menyanyi dan menari. Nyatanya New Delhi menyuguhkan kebisingan, bau pesing jalanan bolong-bolong pasar kumuh Paharganj. Raungan klaskon yang bersahut-sahutan. Tembok, trotoar, gang, sudut jalan, semua, memancarkan aroma seperti toilet yang tak pernah disiram ratusan tahun. Saya membayangkan apa yang Agustinus alami. India membuat mereka yang pernah datang tak ingin kembali lagi.
Dari India, Agustinus melanjutkan perjalanan ke Pakistan dan Afghanistan. Kota dengan mayoritas penduduknya beragama muslim. Agustinus menjadi saksi kemelut perang dan pambantaian di Afganistan. Dia juga menyaksikan kesengsaraan dan penderitaan yang diderita perempuan dan anak-anak di dua negera tersebut.
Yang saya ceritakan hanyalah setitik dari perjalanan Agustinus Wibowo. Bukunya sangat kaya, kaya makna, kaya kata. Tak ada alasan untuk tak membaca buku ini. Titik Nol salah satu yang terbaik dari sedikit sekali buku cerita tentang perjalanan.
Titik Nol bukan hanya merangkum tempat, tetapi peristiwa, budaya, spiritual, agama, dan yang utama adalah pencarian diri.