Penulis: Dikdik ‘Venol’ Pebriansah

Menurut beberapa ahli gizi, sarapan adalah aktivitas yang tidak boleh ditinggalkan. Bagi orang dewasa maupun anak-anak, sarapan pagi dengan teratur sangat disarankan untuk melindungi tubuh dari penyakit, meningkatkan kemampuan otak, membantu menurunkan berat badan, memberi nutrisi yang dibutuhkan tubuh, mengembalikan metabolisme tubuh dan masih banyak lagi.

<

p style=”text-align:justify;”>

Namun, bagi pemuda di Kota Bandung seusia saya, sarapan menjadi suatu ketidakwajiban. Apalagi ketika akhir bulan menjelang, keadaan ini diperparah oleh aktivitas yang memaksa hidup menjadi seorang “siluman kelalawar”. Masih ada syukur, meski tidak sempat sarapan tapi masih sempat mandi. Minimal, kepala saja yang berjumpa dengan air. Bagi keluarga saya, sarapan sangat dipercaya dapat mengebalkan diri dari masuk angin.

Menurut survei di lima kota besar, 17persen orang dewasa tak sarapan, dan 13 persen tidak sarapan setiap hari. Angka tidak sarapan pada anak-anak bervariasi. Mualai dari 17 persen di Jakarta, hingga 59 persen di Yogyakarta. Analisis data konsumsi pangan dari Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, 26,1 persen anak Indonesia hanya sarapan dengan minum air.

Meski sarapan, 44,6 persen orang mengonsumsi makanan dengan asupan gizi kurang dari kebutuhan tubuh. Sarapan yang baik seharusnya memenuhi kebutuhan gizi 15-25 persen dari kebutuhan harian.(sumber: Kompas)

Tidak sarapan sering membuat gangguan perut. Cacing-cacing berbunyi cukup lantang. Tragedi ini pun memaksa saya untuk mencari Warung makan tegal alias Warteg untuk makan dengan harga yang ramah dengan kocek anak kost. Warteg biasanya sangat sederhana bentuknya, tidak seperti kebanyakan restoran-restoran besar. Duduk dengan kursi memanjang, makanan disajikan apa adanya, jika sedang jam istirahat biasanya suka berdesakan, dan salah satu hiburan di sana sederhana saja yaitu Televisi 14 inchi yang disimpan di atas lemari. Menonton pun harus tengadah hingga leher kesemutan.

Suatu ketika saya asyik makan siang di sebuah Warteg sekitaran terminal Cicaheum. Saat itu tayangan berita sedang menginformasikan suasana di dalam Istana Kepresidenan. Berita tersebut menayangkan acara jamuan makan malam di Istana yang memperlihatkan beberapa petinggi negara asing yang menebarkan raut wajah gembira dan penuh suka cita menikmati jamuan makan malam. Jamuan yang diiringi alunan musik yang sangat saya kenal. Musik instrumental kacapi suling yang sering bersinggungan di telinga saya.

Beragam pertanyaan muncul di benak saya. Adakah pengaruh musik kacapi suling saat digunakan sebagai pengiring makan malam? Bagaimana jika sebagai pengiring makan pagi atau makan siang? Atau Istana Kepresidenan hanya ingin memperkenalkan salah satu musik nusantara kepada para petinggi negara lain?

Restoran dan Musik

Menurut Charles Spence dalam “The Perfect Meal, The Multy Sensory Sciences Food and Dinning” mengatakan, bahwa atmosfer yang beraneka ragam dari lingkungan tempat kita makan dan minum dapat mengerahkan efek mendalam pada banyak aspek pengalaman makan. Aspek dekorasi, latar belakang musik, bahkan nuansa dan bau restoran, memiliki peran yang penting dalam merangsang pengalaman makan dan minum.

Musik sebagai latar di sebuah tempat makan dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Indikasi awal Spence mengatakan bahwa musik berpengaruh terhadap perilaku makan seseorang adalah hasil studi yang dilakukan oleh North and Hargreaves (1998). Orang menyatakan kesediaannya untuk membayar lebih banyak jika sebuah tempat menyediakan atau memainkan musik klasik.

Sementara dalam studinya, Wilson (2003) menunjukkan bahwa pengunjung memang menghabiskan lebih banyak makanan ketika musik klasik dimainkan di restoran. Dalam studinya yang terakhir, pengeluaran rata-rata 10% lebih tinggi dari biasanya jika restoran atau cafe memainkan musik klasik dibandingkan dengan musik pop atau ketika tidak memainkan musik.

Namun, pendekatan-pendekatan semacam itu bisa berlaku jika restoran atau cafe memiliki atmosfer yang sesuai, atau kongruen dengan asosiasi musik klasik. Maka dari itu Wilson juga mencoba mengamati pola serupa di sebuah di restoran Sydney yang bernama “Out of Africa”. Nampaknya “Out Africa” memiliki atmosfer yang berbeda dan tidak kongruen dengan musik klasik. Namun demikian, 300 pengunjung dalam studi ini secara signifikan lebih banyak mengunjungi restoran ketika tidak memainkan musik klasik, sepertinya misalnya jazz atau musik populer.

Maka dari dua kasus tersebut Spence beranggapan bahwa terkadang materi kesesuaian antara musik dan lingkungan restoran, berasal dari para pengunjung itu sendiri. Ketika Spence melakukan penelitian kembali di restoran “Oceanside” di Ventura California, bahwa gaya dan kekerasan nuansa musik mempengaruhi seberapa lama seseorang memilih untuk tinggal di tempat makan atau tempat minum tertentu.

Di restoran “Oceanside” ini, para pengunjung menghabiskan makanan sekitar 15% lebih banyak saat suasana lembut (sepi), dengan latar musik klasik atau musik rock (slow rock) yang lembut dimainkan. Hasil ini menjadikan fakta bahwa musik yang lebih tenang memberikan pengaruh lebih signifikan. Sedangkan musik yang cenderung keras seringkali akan mempercepat laju makanan yang disantap.

Tidak mengherankan jika semakin keras musik yang diperdengarkan, maka semakin sedikit waktu yang dihabiskan orang di restoran. Sebaliknya, semakin mereka menyukai ketenangan di sebuah tempat dengan musik yang lembut, maka semakin lama mereka tinggal.

Lebih rinci lagi Spence mencoba mengembangkan studi awal yang dilakukan oleh Milliman (1986), yaitu mengubah perilaku makan pengunjung dengan cara memanipulasi tempo (bpm). Spence menilai, dampaknya pada perilaku 1400 pengunjung di sebuah restoran wilayah Texas yang tanpa disadari pengunjung tidak berlama-lama makan.

Sebaliknya ketika dimainkan musik yang bertempo pelan, para pengunjung lebih lama menghabiskan waktu di restoran. Dan yang lebih mengejutkan pengunjung meningkatkan pesanannya 15% lebih banyak dibanding ketika dimainkan musik yang cepat.

Berdasarkan penelitian Spance tersebut, alasan yang tepat ketika jamuan makan malam di istana negara menjadikan musik kacapi suling sebagai musik latar belakang. Penggunaan musik yang terkesan tenang, bertujuan agar memberikan perasaan nyaman dan tentram ketika tamu-tamu makan bersama Presiden. Meskipun beberapa tamu tidak memiliki kongruen dan juga asosiasi dengan musik Sunda.

Namun, dengan penyajian karakter musik kacapi suling yang lembut ini, diharapkan dapat membangun atmosfer yang nyaman, menyejukan, serta membuat perasaan tamu senang ketika berada di Istana Negara. Musik sebagai latar belakang di sebuah tempat makan, memiliki dampak yang besar terhdap perilaku seseorang yang berada disekitarnya. Seseorang menjadi terpengaruh secara psikologi ketika disajikan atau dimainkan musik pada saat menyantap makan.

Anda juga dapat terlibat untuk membuktikan penelitian tersebut. Kunjungilah restoran dengan berbagai macam musik latar, kemudian buktikan seberapa banyak makan Anda dan seberapa besar nafsu Anda untuk menyantap makanan. Apakah hal ini berlaku bagi Anda yang sering menyantap makanan di warteg dengan iringan dangdut koplo? (editor: DM)

*Seluruh isi tulisan ini merupakan tanggungjawab penulis