Oleh : Venny Tania
Terkadang saya merasa muak dengan yang namanya tren. Khususnya tren musik, akhir-akhir ini terasa banal. Tidak ada lagi yang orisinil, semuanya kebanyakan hanya pengulangan dan peniruan yang sudah pernah ada, dibungkus sensasi. Katanya euforia meniru ini muncul akibat kemalasan berpikir dan merenungkan filosofi, alih-alih berkreasi dan menciptakan hal baru.
Abad 20 diisi dengan berbagai bentuk revolusi kebudayaan dan kesenian, namun para pengamat hampir sepakat menyebut bahwa era keemasan untuk musik bukanlah abad 20, melainkan era Bach hingga Beethoven. Rasanya hanya setiap generasi pasca Greatest Generation (1930-an) selalu merasa musik generasinya adalah yang terbaik.
Evolusi media audio dan visual seolah selalu haus dengan sesuatu yang baru. Tiap generasi enggan dan urung mengenal musik lintas generasi baik yang dari sebelum maupun sesudah era mereka. Ada riset yang mengatakan orang zaman sekarang bakal merasakan nostalgia terhadap lagu-lagu yang populer di saat usia mereka 14-17 tahun. Kebanyakan orang selalu merasakan kenangan mengalir jika musik jamannya diputar di radio, cafe, acara-acara, dan lain-lain.
Tidak semua orang mau dan punya waktu mempelajari musik secara mendalam, apalagi mempelajari keahlian bermain musik. Musik itu skill dan karya yang mahal, jadi harap dimaklumi. Jika ada beberapa figur selain musisi dan kolektor musik yang cukup terbuka, suka variasi, dan peka terhadap berbagai jenis musik, mereka adalah spesies langka. Namun merupakan sebuah hal yang kontradiktif juga ketika era internet yang membantu menyebarkan informasi lebih luas, ternyata tidak otomatis memperluas dan mencetak lebih banyak nama yang berwawasan musik luas.
Mungkin ini ngehek dan terdengar kolot, tapi memang seberapa banyak sih vlogger atau Youtuber jaman sekarang yang betul-betul memahami dan mampu mengulas musik dengan kaya dan bernas? Kenapa nggak banyak orang bisa menulis musik dengan cara berbeda? Kenapa media besar pembahas musik macam Rolling Stone dan Hai (belum termasuk zine-zine independent) harus mengalah pada zaman? Rasanya prihatin ketika peranan dan posisi penulis, jurnalis, dan pengarsip musik sudah semakin dilupakan saat ini
Memang tidak semua orang punya niat, waktu, daya, dan dana yang cukup buat mendalami bidang pengarsipan, pengamatan, dan penulisan musik. Tapi peranan pengarsip, pengamat, dan penulis tidak bisa dipungkiri sangat vital untuk perkembangan kebudayaan dan peradaban sebuah bangsa.
Saya perhatikan beberapa teman kantor saya suka bermain kuiz-kuizan musik di jam istirahat, dimana mereka tebak-tebakan judul lagu dan disitu jadi ketahuan seperti apa referensi seseorang. Tapi mengapresiasi memang tak pernah cukup rasanya jika dibatasi jumlah.
Ketika masyarakat umum terbatas dengan berbagai hal, seorang pengarsip, musikolog, jurnalis, pengamat, dan kritikuslah yang bisa berfokus menyampaikan informasi, ulasan musik lintas generasi, mengungkap rahasia jalan kreativitas, dan merangkum apa yang penting dari diskografi karya pemusik.
Di antara nama pengarsip dan pengamat musik, salah satu yang belum tergantikan adalah almarhum Denny Sakrie. Beliau menginspirasi banyak musisi, komposer, kolektor, pengapresiasi, penulis, penyiar, music director, pegiat musik, komunitas dan sederet profesi musik lain.
Namun ia keburu berpulang pada 5 Januari 2015 lalu. “Sayang sekali, saya nggak sempat mengundangnya. Itu salah satu hal yang rasanya (saya) nyesel banget, nggak keburu,” kata seorang pegiat literasi Bandung, mengenai cita-citanya mengundang jurnalis musik Denny Sakrie untuk berbincang dan berdiskusi.
Musik memang selalu jadi pemersatu. Ketika musik tersebut tidak sedang dipertunjukkan atau diperdengarkan, musik selalu membentuk semesta yang menyatukan berbagai jenis orang. Berbeda latar pendidikan, profesi, penghasilan, bahasa, suku, bangsa, atau agama, hingga referensi politik bukan halangan untuk menikmati musik yang sama. Semuanya sama-sama membutuhkan telinga dan pikiran untuk menyelami estetika maupun emosi tertentu dalam musik secara kolektif.
Setiap pengarsip musik memiliki keunikan masing-masing. Ada yang bisa menularkan cara mengapresiasi musik seperti Denny Sakrie. Mantan penyiar radio Female ini sangat mengenal dan memahami kejayaan musik negeri sendiri, beserta cerita-cerita belakang layar yang unik dan mempengaruhi warna karya para musisi Indonesia berbagai jaman tersebut.
Denny Sakrie seolah menuntaskan kepedulian dan kerja kerasnya melalui buku terakhirnya, yaitu 100 Tahun Musik Indonesia. Melalui buku ini Denny mengisi ruang lebar yang selama ini hanya diisi segelintir orang-orang terpilih. Mengapa lebar? karena sejarah musik Indonesia telah terbentang lebih dari 100 tahun jika dihitung melalui saat label musik lokal pertama milik warga keturunan Tionghoa bernama Tio Tek Hong (Tio Tek Hong Records) yang memulai bisnis rekaman tahun 1904, kemudian merilis piringan hitam ke seluruh Indonesia tahun 1905. Diakui Denny bahwa perkembangan industri musik komersial Indonesia sangat dipengaruhi oleh tren musik dunia terugtama Amerika Serikat, sejak masa kolonial hingga sekarang.
Tanpa membaca buku ini, ada sebuah pertanyaan besar yang akan sulit terjawab “Bagaimana perkembangan sejarah musik dalam negeri?” Buku in memang bukan pembahas lengkap sejarah musik seperti karya Dieter Mach. Namun Denny memperkenalkan dengan akrab tanpa terlalu menambah detil membosankan, mengenai bagaimana perkembangan tiap genre music di Indonesia.
Musik klasik misalnya hanya diwakili oleh Idris Sardi yang paling menonjol di bidang tersebut (karena almarhum Idris yang berasal dari keluarga pemain biola dan dibimbing langsung oleh maestro musik Hongaria, sebelum akhirnya batal belajar di konservatorium karena sang ayah meninggal).
Denny menyebut Idris Sardi mampu menjadi musisi dan komposer handal yang meraih berbagai penghargaan dan memperkokoh tonggak untuk music scoring film, karena Idris adalah seorang penafsir hebat. Ciri khas soundtrack film yang digarap oleh ayah Lukman Sardi ini memang betul, melankolis dan berharmoni minor.
Dengan menyusun tulisannya sesuai kronologis, kita memahami kelahiran dan kejayaan sebuah genre music tertentu dan situasi sosial budaya yang menyertainya. Misalnya soal dangdut, yang menjadi lahan galian beberapa seniman terhebat jamannya dari para penyanyi Melayu, para artis pop label Remaco seperti Koes Plus, hingga musisi rock seperti Ahmad Albar sempat mencicipi kejayaan dangdut dalam repertoar mereka.
Juga mengenai musik religi yang dikomersialkan oleh band pop Koes Plus ke Bimbo, yang berkolaborasi dengan penyair memproduksi lagu-lagu religi yang masih menjadi ciri khas mereka. Demikian juga genre jazz, keroncong, folk, rock progresif, dan pop kreatif membaur dengan kisah soal label-label rekaman yang menaungi para pemusik. Nama musisi yang memainkan peranan vital seperti Bing Slamet, Benyamin Sueb, Jack lesmana, Gesang, Tonny Koeswoyo, hingga Iwan Fals bergantian mendapat penghormatan di buku ini.
Lalu apa istimewanya buku 100 tahun musik indonesia ini? Semangat, cinta, dan perhatian Denny Sakrie terhadap musik negerinya sangat terasa. Ia juga memberi porsi berimbang untuk hampir seluruh jenis pelaku musik (kecuali musik tradisional). Di bagian awal, Denny menceritakan sejarah berkembangna label-label rekaman besar yang bersumbangsih memberi ruang dan mengangkat nama beberapa musikus penting.
Contohnya seperti Irama milik Mas Jos yang melambungkan Sam Saimun, Titiek Puspa, Bubi chen, hingga Koes Bersaudara. Lalu ada Dick Tamimi yang mengontrak Dara Puspita hingga Benyamin; Serta perusahaan rekaman pemerintah bernama Lokananta yang turut membantu rekaman kesenian tradisional. Sebagai penyeimbang, Denny juga mengangkat musik indie yang prestasi musisinya melanglang buana tanpa bantuan media-media arus utama.
Ada juga cerita-cerita kecil dan trivia unik yang belum diketahui banyak orang dan bernuansa personal, contohnya mengenai Chrisye. Orang mengenal Chrisye dari lagu-lagu dan suara khasnya. Namun buku ini mempertegas peranan dan kontribusi Chrisye dalam musik indonesia era 70-an sampai 90-an. Siapa lagi yang mampu menyatukan kepingan-kepingan narasi sang legenda menjadi utuh? “Chrisye mampu menyiasati pergeseran tren yang sering bergonta-ganti dalam konstelasi musik pop.
Chrisye luwes melenggang para era-era yang berbeda. Jika banyak musikus yang tersungkur karena hantaman tren yang menggelegak, maka Chrisye justru menjumput penggalan elemen musik yang tengah mewabah, lalu dibaurkan dengan identitas musiknya sendiri – tanpa sedikitpun kesan pemaksaan.” Demikian prolog Denny mengenai Chrisye, dan sangat terbukti di banyak lagu.
Salah satunya yang masih diingat oleh generasi millennial adalah lagu “Cintaku” yang merupakan salah satu lagu garapan Eros Djarot dan Yockie Suprayogo dalam album musical Badai Pasti Berlalu (1977) yang syahdu, diaransemen ulang menjadi lebih nge-pop dengan menggandeng Erwin Gutawa tahun 1999.
Beragam komposer dari Guruh Soekarno Putra, Eros Djarot, Dian Pramana Poetra hingga Ahmad Dani mengantri menyodorkan lagu mereka untuk Chrisye. Mungkin Chrisye memang salah satu jembatan terkuat dan terideal penopang musik lintas generasi menurut ide Denny Sakrie.
Salah satu organ terpenting di tubuh permusikan Indonesia adalah rock. Namun, generasi saat ini yang mungkin mengasosiasikan rock hanya dengan band seperti Dewa, Gigi, atau Padi (jangan-jangan nama ini juga nggak dikenal generasi Z!), apakah familiar dengan nama para pendahulu idola mereka seperti God Bless, Guruh Gipsy, Gang of Harry Roesli, yang tanpa mereka, musik Indonesia bakal hampa dan kosong? Denny Sakrie menguraikan bab mengenai Progresif Rock yang disebut-sebut sebagai puncak musikalitas Indonesia karena menggebu-gebu dalam mengawinkan unsur musik rock dengan tradisional.
Mungkin salah satu yang belum mendapat cukup ruang adalah sosok seperti Yockie Suprayogo (alm.) sebagai kolaborator Chrisye, God Bless, dan banyak seniman lain, dimana karya-karyanya selalu memiliki karakter yang kuat dan berstandar tinggi.
Di sisi lain, semangat perlawanan tren kebarat-baratan (musik ngak-ngik-ngok) di tengah demam rock n roll yang digemakan Bung Karno, bukan sekedar represi tanpa solusi. Presiden RI tersebut mengajak seniman musik seperti Bing Slamet dan Idris Sardi menciptakan irama khas Nusantara yang bernama irama Lenso di era 1950-an.
Bersama cuplikan sejarah tersebut juga terselip pertanyaan yang terasa belum bisa dijawab oleh sang penulis sendiri. Secara halus Denny menyebutkan penurunan kreativitas music Indonesia pasca tahun 2000. “Keseragaman yang membosankan dari notasi, progresi akord, harmoni, teknik bernyanyi, aransemen music, serta dandanan,” demikian disebutnya.
Pria bernama asli Hamdhan Syukrie ini mengkritisi perkembangan saluran media populer seperti radio dan televisi pasca reformasi yang tidak memihak pada kreativitas, melainkan lebih kepada selera pasar, jumlah penjualan, dan rating, yang menjadi kurungan untuk kebebasan berkreasi.
Mungkin seperti kata Walter Benjamin dalam tulisannya The Work of Art In The Age of Mechanical Reproduction, bahwa ketika seni diperbayak maka ia kehilangan auranya. Termasuk seni musik.
Mengapa peranan media begitu penting? Buku ini sengaja menjabarkan contoh sejarah karena media arus utamalah yang memberikan ruang dan tantangan untuk para musisi mendongkrak level mereka, mencetak prestasi dan karya berbeda, keluar dari stagnansi, dan menciptakan tren baru. Sebagai contoh, TVRI yang didirikan pada 24 Agustus 1962 ‘setia menyajikan acara yang mengangkat khazanah musik Indonesia seperti Aneka Ria Safari, Gaja dan Irama, Orkes Telerama, dan lain-lain’ hingga era 1990-an.
Radio Prambors merupakan pengasah kemampuan mencipta lagu yang royal, dan turut mancing keragaman kreativitas dengan mengadakan ajang terkenal bernama Lomba Cipta Lagu Remaja, yang melahirkan karya legendaris seperti ‘Kemelut’ dan ‘Lilin-lilin Kecil’, sebelum para musisi indie berkarya secara mandiri.
Namun kini, Denny Sakrie merasakan keengganan konglomerat media untuk memberi ruang bagi musik yang lebih beragam dan rumit secara notasi, kemasan, maupun teknis lainnya. “Sebuah degradasi selera mencuat ke permukaan. Ketika kita semua dihantam badai masalah – baik masalah ekonomi maupun politik yang seolah tiada henti- kita pun hanya memasrahkan diri dengan mencerna lagu-lagu dengan tema yang digarap apa adanya, tanpa perlu lagi menyusupkan anasir.”
Akhir buku ini seolah meniupkan angin kewaspadaan yang menyadarkan terhadap kealpaan spasial dan keabsenan kompetisi dalam konstelasi terkini musik Indonesia. Hanya ada sedikit jenis musik yang dianak emaskan dan diproduksi massal berulang kali.
Musik luar yang tadinya sebelum 2000-an menjadi pengaruh serta pemancing kreativitas musisi dalam negeri, malah terlanjur menjadi serangan terhadap kekosongan identitas budaya. Fatalnya, budaya meniru dengan mentah malah dilakukan berulang kali oleh media dan produsen rekaman besar.
Lihat saja bagaimana acara-acara musik televisi nasional lebih mengutamakan grup populer, ditambah tiruan grup luar yang kualitasnya tidak bisa menyamai aslinya. Kekosongan ini segera diisi peluangnya oleh badai Korean Wave. Maka jadilah generasi muda yang bukan hanya lebih hafal personil grup dan judul lagu Korea, namun juga miskin referensi dan apatis akan sejarah kekayaan musik negerinya sendiri. Inikah tanda-tanda kepunahan kreativitas musik Indonesia?