68 tahun lamanya Korea Utara dan Korea Selatan dilanda suasana yang cukup menegangkan. Bagaimana tidak membuat cemas warga kedua negara dan warga dunia, karena saat itu sentimen antara dua negara seperti tidak akan ada ujungnya.
Perang yang meletus tahun 1950 menyebabkan kurang lebih 2 juta hingga 4 juta orang tewas. Perang pernah berahkir tahun 1953, namun masih dalam keadaan penuh gesekan sehingga dalam suasana gencatan senjata, Korea Utara tetap melancarkan serangan untuk membunuh Presiden Korea Selatan.
Tahun 1968, sebanyak 31 pasukan diberangkatkan ke Seoul namun kegagalan harus diterima oleh Korea Selatan sehingga para prajurit yang berangkat banyak berguguran. Tidak berhenti sampai disitu, tahun 1983 Korea Utara melakukan percobaan pembunuhan kepada Presiden Korsel Chun Doo Hwan ketika berkunjung ke Myanmar. Presiden Chun selamat namun beberapa menteri tewas dalam insiden tersebut.
Setelah meninggalnya Pendiri Korea Utara Kim II Sung dan digantikan oleh Kim Jong II pada tahun 1994, ketegangan pun belum usai. Banyak peristiwa-peristiwa yang menyebabkan korban-korban dari prajurit berjatuhan. Akhirnya pada masa kepimpinan Kim Jong Un, ada upaya yang coba dilakukan oleh kedua negara untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan tersebut.
Suasana mulai membaik ketika kedua pemimpin melakukan pertemuan bulan April 2018. Seperti yang banyak diberitakan oleh media bahwa kedua negara akan membicarakan denuklirisasi di Semenanjung Korea, upaya perdamaian, dan peningkatan hubungan bilateral.
Dari lamanya rentetan konflik yang berkecamuk di Korea, upaya perdamaian yang baru dibangun oleh kedua negara harus disambut dengan baik oleh masyarakat dunia. Suasana perdamaian ini setidaknya membuat kekhawatiran dunia menjadi lebih tenang.
Jika mengingat suasana ketenangan dunia, Korea memiliki legenda kerajaan Silla yang konon di masa lalu ada sebuah alat musik tiup yang gelombang suaranya mampu membuat dunia menjadi tenang. Kedahsyatan dan kemerduan suara alat musik tiup tersebut mampu mencegah bencana seperti perang, penyakit, banjir, dan badai. Alat musik tiup tersebut bernama manpasikjeok.
Seperti yang dilansir dalam situs http://www.pirifestival.com, Manpasikjeok merupakan alat musik tiup seperti seruling yang dibuat oleh Raja Sinmun anak dari Raja Mumnu. Waktu itu, tiga kerajaan di Semenanjung Korea bersatu.
Pembuatan alat tiup tersebut bukan tanpa sebab. Berasal dari tafsir cerita aneh yang dikisahkan oleh salah seorang pejabat di kerajaannya, bahwa ada sebuah pulau kecil yang mengambang ke arah kuil. Raja Sinmun mencoba memerintahkan seorang penafsir untuk mencari arti dari kisah tersebut.
Ahli tafsir berkata bahwa Raja yang terakhir (Raja Mumnu) telah menjadi naga laut dan Jenderal Kim Yushin telah menjadi dewa surgawi. Mereka ingin memberi Raja Sumnu harta untuk membela negara, jadi Raja harus pergi ke laut dan menerima hadiah yang berharga.
Raja Simnu pergi ke laut, melihat pulau terapung dari kejauhan. Pulau terlihat seperti kepala kura-kura dengan pohon bambu di atasnya. Bambu tersebut memiliki keanehan. Jika dilihat siang hari menjadi dua bagian, sementara jika dilihat pada malam hari menjadi satu bagian.
Tujuh hari badai ganas menerjang lautan, Raja Simnu tetap bertahan dan mengendarai perahu ke pulau terapung dengan susah payah. Seekor naga muncul setiba Raja Sunmu di pulau itu. Sang Naga bicara pada Sunmu, “Ya Tuanku, buatlah alat musik dengan pohon bambu ini. Jika Anda memainkannya, seluruh dunia akan menjadi damai. Ini adalah harta dari ayahmu dan Jendral Kim”.
Saat sang naga menginstruksikan, raja memerintahkan para prajuritnya untuk menebang pohon bambu. Segera setelah raja datang ke darat lalu pulau terapung dan naga itu menghilang. Sang raja membuat alat tiup seperti seruling dari bambu misterius itu.
Konon, ketika seruling dimainkan pasukan musuh akan mundur dan penyakit disembuhkan. Seruling ajaib pun membawa hujan jika ada kekeringan dan menghentikan hujan dalam banjir.
Sejak saat itu, seruling bambu itu disebut manpasikjeok, yang berarti seruling yang menenangkan gelombang. Kisah ini memiliki makna bahwa kerajaan Silla yang ingin merajut segala bentuk perdamaian di muka bumi.
Berpijak pada legenda tua yang berada di Korea, tahun 2012 kota Gyeongju mengadakan sebuah festival yang bertajuk ‘Gyeongju World Traditional Wind Instrument Festival’. Acara tersebut merupakan kegiatan dengan semangat membangun perdamaian antara negara-negara di barat dan timur.
Lebih jauh lagi festival ini merupakan sarana pertukaran budaya barat dan timur yang mempromosikan multikulturalisme dalam skala global. Acara yang disebut juga sebagai Piri Festival ini bertujuan pula untuk mengambil peran dalam membuka jendela budaya baru bagi generasi muda.
Sebelum digelar di kota Gyeongju, Festival alat musik tiup yang mengundang seniman-seniman dari berbagai dunia pernah digelar di kota Seoul tahun 1996. Masih membawa ruh dari legenda ‘manpasikjeok’, acara festival alat musik tiup ini selalu berkampanye tentang upaya perdamaian dunia.
Referensi:
http://www.pirifestival.com/pages/page_100.php
http://world.kbs.co.kr/english/program/program_koreastory_detail.htm?No=953