Penulis: Dyah Murwaningrum
Ada ketakterbendungan peradaban. Teknologi baru memaksa manusia beradaptasi pada cara hidup yang mempengaruhi selera. Tulisan lama ini merasa perlu saya angkat kembali, khususnya pada ruang-ruang yang terisi oleh seniman muda musik tradisi. Berangkat dari pengamatan di lingkup terdekat saya dan juga renungan.
Pada sudut pandang dan derajat tertentu bisa saja realitas yang tertulis di sini tidak lagi benar, namun saya mencoba membaca geliat darah muda yang menggelak. Tulisan ini dimuat sebelumnya pada sebuah media elektronik (qureta.com), link dapat dilihat di sini
“…karena tradisi itu bukan obyek yang mati, melainkan alat yang hidup untuk melayani manusia yang hidup pula.”
Potongan kalimat di atas saya temukan pada bait-bait awal artikel Rendra yang ditulisnya tahun 1971 silam. Apa yang Anda pikirkan tentang tradisi di hari ini?
Untuk bicara jujur, agaknya terasa sedikit sungkan, namun kenyataannya tradisi bukanlah hal yang benar-benar kita kenal (kini) dan kita gunakan dalam fungsi seperti di masa-masa silam. Pemikiran dan permenungan Rendra dalam “Kumpulan Karangan” yang diterbitkan Gramedia tahun 1983 itu, nampaknya masih layak untuk direfleksikan kembali, kini.
Tulisan ini bukan untuk menyindir yang anti-tradisi dan anti barat atau anti-kontemporer sekalipun. Pengelompokan tersebut sebenarnya lebih sering hanya menimbulkan ekstremisme dan ketertutupan dalam berpikir juga anti kritik.
Tulisan ini hanya sebuah paparan ringan, tentang sebagian hal yang dapat kita lihat hari ini mengenai sebagian pembelajaran musik tradisi Nusantara (bukan juga di semua tempat).
Di jaman yang sudah tentu lebih kompleks dan serba digital ketimbang 37 tahun lalu, hari ini ternyata tak banyak berubah. Catatan curhatan orang-orang muda yang bergelut di bidang seni musik tradisi Nusantara masih juga berderet panjang.
Konservasi musik tradisi Nusantara yang menjaga bentuk musikal agar tidak berubah dari waktu ke waktu tentu masih dibutuhkan, namun tentu saja tidak semua pelaku seni tradisi harus melakukannya.
Ada benarnya juga permenungan Rendra mengenai fanatisme atas beberapa pembimbing di bidang tradisi, yang justru menghalangi sikap kreatif para pelaku tradisi yang dibimbingnya. Jika kita melihat lebih dekat pada pembelajaran musik-musik tradisi di beberapa tempat (tidak semua), sistem penyampaian keilmuannya cenderung dogmatis. Semua hal harus selalu identik dengan gaya pembimbingnya.
Memang hal itu cukup lumrah. Namun, ada beberapa pembimbing yang menghalangi pertumbuhan dan perkembangan individu, karena semua hal harus serba sama. Akhir-akhir ini terjadi fenomena yang cukup mengejutkan, istilah “merusak tradisi” sudah tidak marak di masyarakat kita kini, jika dibandingkan dengan era awal 2000an.
Menurut Rendra, tradisi sering kali menjadi beku atau dibekukan. Kebekuan inilah yang sering kali merugikan pertumbuhan pribadi dan kemanusiaan, sehinga layak untuk diberontak, dicairkan dan diberi perkembangan baru.
Kebekuan-kebekuan yang dimaksud Rendra tersebut mungkin juga terjadi karena penyampaian keilmuan-keilmuan musik tradisi yang cenderung dogmatis, sehingga sangat mungkin menjauhkan pelaku musik tradisi Nusantara dari kekritisan dan kreativitas.
Jaman yang terus berlari, membuat anak-anak jaman melompat tergesa mengejarnya. Tidak salah menjadi penjaga kebertahanan bentuk musik tradisi Nusantara, bahkan hal ini perlu diapresiasi, bukan disalahkan. Namun, anak-anak jaman yang melompat mengikuti jaman, juga tidak bisa disalahkan. Bahkan beberapa, sudah mendahului jamannya.
Melompat pada topik fakta perubahan wajah musik tradisi kita. Dapat kita lihat kembali data yang disusun oleh Claire Holt (2000). Dalam bukunya Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, dapat kita sadari bahwa faktanya Indonesia, musik tradisi lokalnya sudah berkembang dan beberapa di antaranya mati.
Sejak media menjadi bagian hidup orangtua kita, dan musik-musik popular makin mudah diterima, nampaknya memang pilihan sering kali jatuh pada musik-musik popular yang sering terdengar.
Bagaimana tidak menjadi pilihan, jika style musik popular menawarkan kesesuaian dengan kebutuhan manusia era baru yang serba efisien. Kemasan pendek, mudah didengarkan (tidak rumit), dapat dinikmati dimana saja secara sekilas lalu, dan membawakan kekhasan masyarakat masa kini termasuk simbol-simbolnya.
Selera tak bisa dipaksa mematung, sedang jaman sudah jauh di depan. Selera terhadap hasil budaya dan budayanya adalah hubungan bolak balik. Satu saling mempengaruhi lainnya.
Selera massal bermusik manusia jaman ini, nampaknya memang agak jauh dari jarang-jarangnya musik tradisi. Sifat-sifat manusia yang makin bersinergi dengan kecepatan, membuat musik-musik tradisi di satu sisi dianggap usang, namun juga sebaliknya justru menjadi barang mewah.
Marshal Breman seorang pengamat modernitas, menyatakan bahwa modernitas bukan hanya ditandai dengan kebaruan, namun juga kecepatan. “Baru” saja tidak cukup, namun kita juga harus cepat. Cepat-cepat mengganti kebaruan dengan yang lebih baru lagi. Yang baru didekontruksi lagi dengan kebaruan berikutnya.
Lalu, bagaimana setepatnya menjadi seorang seniman musik kini? Manusia yang biasanya hidup dalam dunia idealisme, kini dilawankan dengan gelombang kebaruan dan kecepatan untuk memperbaharui. Apalagi jika Anda menjadi musisi tradisi? Di mana Anda akan meletakkan karya?
Tak disangkal sedikit orang di belahan dunia yang lain berbondong-bondong memaknai musik tradisi kita. Seperti saling tukar budaya. Namun, apakah artinya kita harus menjaga bentuk musikal tradisi karena laris manis di luaran? Terlihat seperti perilaku yang berbeda dalam makna yang sama.
Tradisi yang merupakan alat hidup pastilah menyandang sifat-sifat kehidupan. Tumbuh, berkembang menurut Rendra. Dan memaksakan sebuah seni tradisi membeku tak bergerak dapat dikatakan sebagai sifat membunuh kehidupan. Sebaliknya, jika terus-menerus meletakkan dasar kreativitas pada kebaruan-kebaruan yang dimunculkan, mungkinkah?
Tak ada yang meragukan kecintaan kita semua pada seni musik tradisi, meski dihimpit industri dan digitalisasi, seni musik tradisi kita masih ada.
Sayangnya beberapa lembaga yang semestinya kritis dan terus mengembangkan, kemarin-kemarin terlalu lama meninabobokan rasa kritis itu. Kecintaan kita terbentur pada teknik-teknik, kekaguman pada karya dan lupa menjadikannya sebagai alat hidup yang sesuai dengan jiwa.
Cinta sering menjadikan kita sibuk menirukan, tak mau beranjak. Tak diimbangi dengan memperkaya pengetahuan tentang kehidupan leluhur, ide-ide mereka, pemikiran mereka, inspirasi mereka. Terlena dan lupa pada kreativitas diri untuk menjadi manusia.
Ironis memang, ketika kita sadar bahwa semua manusia tidak sempurna. Sementara budaya dan hasil-hasilnya dikonstruksi oleh manusia yang tak sempurna pula.
Namun, sayangnya kecintaan kita pada warisan-warisan bukan kecintaan yang boleh dikritik, kecintaan yang bahkan tak boleh berubah, dan kadang juga kecintaan yang mudah sakit hati ketika kekritisan anak-anak zaman ingin mempertanyakan, mengkritisi atau membutuhkan perbaikan atas warisan-warisan tersebut agar tetap relevan hari ini.
Kebaruan yang memang nampak materialistis hari ini, menimbulkan dilema panjang bagi pewaris-pewaris tradisi. Namun, Rendra pun sempat membicarakan keterkaitan karyanya dengan kebaruan.
Karya-karya Rendra jelas bukan untuk mengejar sebuah kebaruan semata, namun memang ada gairah hidupnya yang tak lagi mampu diwadahi oleh bentuk-bentuk tradisi. Jika saja tradisi masih dapat menampung gairah manusia kini, tentu masih akan terus langgeng.
Sebuah pertanyaan sederhana muncul, apakah semestinya kita membeku bersama bentuk musik tradisi? Atau membuat kebaruan sebagai wujud dari kreativitas. Jika Seni hanya membutuhkan kebaruan, maka dia akan segera dilindas kebaruan lainnya lagi.
*seluruh isi menjadi tanggungjawab penulis