Penulis : Rena Asyari
Danarto berpulang. Kepergiannya yang tiba-tiba akibat ditabrak oleh pengendara sepeda motor tentu saja sangat mengagetkan. Penulis yang kerap menulis tentang kematian ini ternyata tanpa diketahui banyak orang telah dengan rapat menuliskan kematian dirinya Sahabat dan karibnya tak habis mengerti mengapa Danarto memilih pergi dengan cara seperti itu? Apakah ia yang telah memilih atau jangan-jangan Danarto pun luput menyusun strategi kepulangannya. Kepulangan sang perangkai kematian menyisakan duka mendalam.
Pembaca karyanya merayakan kedukaan dengan caranya sendiri. Mereka memilih tenggelam dalam Berhala, Asmaraloka, Orang Jawa Naik Haji, Kacapiring, Gergasi, Ikan-Ikan dari Laut Merah, Adam Ma’rifat, ataupun Setangkai Melati di Sayap Jibril.
Danarto nampaknya sengaja meninggalkan ratusan cerita berwajah “absurd”. Tulisan Danarto tidak hanya mengoyak-ngoyak nurani. Ia telah dengan berani merasuki pikiran, membukakan semua indra kita atas “dunia alternatif”, perkara yang remeh, juga watak dalam setiap tokohnya yang ajaib tak di sangka-sangka. Ia tak segan menunjukkan ragam ketidakadilan dan kekurangwarasan pemangku negeri ini pada kaum papa.
Meskipun ditulis 31 tahun yang lalu, Berhala tak sedikitpun kehilangan maknanya kini. Kejadian yang mengambil latar belakang tempat puluhan tahun lalu itu rasanya masih bisa dibayangkan. Tak segan Danarto membidik ceritanya pada pemerintah ORBA. “Pundak Yang Begini Sempit” bercerita tentang Petrus (pembunuhan misterius) dan Gali (Gabungan Anak Liar) yang kerap terjadi pada jaman ORBA. Lagi-lagi cerita yang berjudul –“Anakmu bukanlah Anakmu,” ujar Gibran — mengisahkan tentang Niken seorang mahasiswa kedokteran yang rela mengobati teman-teman mahasiswanya yang terluka akibat mendemo hingga akhirnya ia pun dibawa oleh CPM.
Ceritanya yang lain berjudul “!” berkisah tentang sebuah keluarga yang kaya dengan banyak anak. Ayahnya menjadi satu-satunya “penguasa” dalam keluarga. Harta yang dipunyainya ternyata malah menjadi sumber masalah, pertengkaran bahkan hilangnya nyawa.
“Gemeretak dan Serpihan-serpihan” menyisakan kepiluan. Atas nama uang seorang yang miskin rela membabat habis kampungnya dengan si jago merah. Alih-alih mendapat segepok uang dan sepetak rumah, si pemberi perintah kabur dengan gelak tawa dan kobaran api yang membumbung tinggi. Dalam asap tebal yang pekat membayang wajah-wajah duka penduduk kampung.
Berhala. Kumpulan cerita ketiga yang ditulisnya tahun 1987. Di dalamnya memuat tiga belas cerita pendek. Tidak ada cerita berjudul Berhala di kumpulan cerpen ini. Rupanya Berhala hanyalah semacam simbol yang dihadirkan, mewakili makna semua cerita. Persembahan. Harta, kekuasaan, waktu, atasan, ideologi, keyakinan, mitos, rupa, ibu, anak menjadi materi penyembahan tokoh-tokoh kumpulan cerita Danarto. Kernyit, geram, melongo, sedih, senyum adalah ragam ekpresi yang disuguhkan oleh cerita Danarto.
Danarto. Ia satu dari sedikit penulis yang jeli menangkap perkara sosial, mengemasnya dan menghadirkannya pada pembaca dalam bentuk tanda tanya atau jawaban. Membaca Berhala, kita seperti membaca Danarto. Selamat jalan Danarto, karyamu abadi!
*seluruh isi menjadi tanggungjawab penulis