oleh : Takhsinul Khuluq

Dalam suatu diskusi pada perhelatan International Gamelan Festival (IGF) 2018 di Balai Soedjatmoko, Solo, 13 Agustus 2018, seorang audiens bule menanyakan tentang konsep estetika pengeras suara dalam suatu pertunjukan gamelan di Balai Kota Solo. Menurutnya, suara pengeras suara dalam pertunjukan tersebut terlalu nyaring, bahkan menjurus bising dan memekakkan telinga, sehingga dia tidak dapat menikmati alunan instrumen gamelan secara detail. Baginya, penggunaan pengeras suara malah mengganggu alih-alih membantu dan bisa dinikmati.

Pertanyaan dan keluhan audiens bule tersebut ditanggapi Sumarsam, pakar gamelan, yang menjadi narasumber. Menurutnya, masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia umumnya, memang masih dalam tahap ingin segala sesuatunya terlihat “spektakuler”, termasuk dalam hal suara.

Seniman dan penanggap akan puas bila suara pertunjukannya bisa didengar oleh banyak orang secara keras dan membahana. Begitu pula dengan penonton, jika pertunjukannya tidak bersuara keras, maka dianggap belum mulai.

Kalau kita amati dan rasakan, pernyataan Sumarsam ini benar belaka. Dalam kenduri, tanggapan seni, bahkan dalam hal syiar agama di masjid atau surau (azan, pengajian, dll), suara atau bunyi yang dihasilkan melalui pengeras suara yang biasanya berlebihan hingga memekakkan telinga pendengar.

Tradisi ini kebanyakan berlangsung di perdesaan, meski di perkotaan juga sama, khususnya dalam hal penggunaan pengeras suara di masjid atau surau yang berlebihan.

Tanggapan Sumarsam ini lalu berbalas dengan testimoni Garin Nugroho, sineas yang pada waktu itu bertindak sebagai Direktur Pelaksana festivalnya. Garin menyatakan, untuk pertunjukan gamelan di luar ruangan, seperti di Benteng Vastenburg dan Balai Kota Solo, sebetulnya ia sempat mengusulkan tanpa pengeras suara yang berlebihan, tapi usul tersebut tampak tak mungkin mengingat jumlah penonton yang diperkirakan ribuan.

Kalau tanpa pengeras suara, maka sebagian penonton tidak akan mendengar alunan musiknya, tapi kalau menggunakannya, maka detail suara gamelan akan rusak. Belum lagi tiap komposer punya “demografi instrumen” yang berbeda-beda, sehingga perlakuan pengeras suara juga harus menyesuaikan.

Masalah inilah yang betul-betul membebani. Akhirnya panitia memutuskan pertunjukan outdoor tetap menggunakan pengeras suara meski risiko tersebut harus ditanggung. Untuk meminimalisasi distorsi suara detail gamelan, maka panitia menunjuk ahli gamelan untuk mendampingi engineer sound system. Tapi upaya itu terbatas dilakukan mengingat ahli yang terbatas juga.

Garin juga menyampaikan pengalamannya dalam proses rekaman Setan Jawa ketika ia menghadapi masalah yang sama yaitu suara. Pada akhirnya Garin memutuskan rekaman di rumah Rahayu Supanggah yang berbentuk Joglo, karena menurutnya, Joglo adalah arsitektur terbaik untuk menghasilkan suara gamelan. “Tapi riskonya adalah suara katak, jangkrik, dan lain-lain akan ikut masuk sehingga bikin pusing,”katanya sambil terkekeh.

Problem pengeras suara dalam pertunjukan gamelan menurutnya perlu diskusi dan riset yang menerus. “Apa yang dilakukan dalam IGF 2018 merupakan satu capaian yang harus diperbaiki ke depannya”, demikian Garin memungkasi.