Penulis: Bunga Dessri Nur Ghaliyah
‘Fanatik’ adalah kata yang sepertinya cocok untuk menggambarkan mental para seniman karawitan Sunda saat ini. Tentu tidak seluruhnya, tapi nyatanya daripada seniman yang terbuka dan inovatif, seniman fanatik dan seniman yang ‘ikut-ikutan’ fanatik jauh lebih mudah ditemukan. Mental tersebut terus dipupuk dan ditularkan dengan dalih mempertahankan dan melindungi seni tradisional.
Fanatisme seringkali dianggap wajar karena dianggap sebagai bukti rasa cinta, padahal fanatisme yang telah mengakar cepat atau lambat akan mengubah cara pandang seseorang menjadi sinis dan skeptis.
Di dalam dunia karawitan Sunda misalnya, banyak seniman yang mengagungkan keseniannya dengan cara merendahkan kesenian lain, “Kesenianku adiluhung, kesenianmu tak bernilai”. Hal tersebut menjadi gambaran bahwa keragaman tidak dianggap sebagai kekayaan. Perbedaan justru dianggap sebagai pemicu masalah dan secara berkelanjutan menimbulkan perpecahan.
Pengkultusan suatu jenis kesenian pun nyatanya mengebiri kreativitas. Para seniman fanatik cenderung menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diyakininya sebagai suatu ‘kebenaran mutlak’.
Secara sadar ataupun tidak, banyak seniman yang meyakini bahwa perubahan dalam dunia karawitan Sunda adalah sebuah malapetaka. Para inovator seni yang seyogyanya adalah tonggak pelestari, justru dianggap sebagai perusak. Hal tersebut pun diamini oleh salah satu inovator seni Sunda, Ubun R. Kubarsah.
“Jangankan didukung, para inovator dalam kesenian Sunda justru seringkali ditolak bahkan dihujat oleh sesama seniman. Dulu, Mang Koko dihujani komentar negatif dari sana sini ketika menciptakan Wanda Anyar, Gugum Gumbira pun mengalami hal serupa ketika menciptakan Jaipongan, dan masih banyak lagi, termasuk saya. Padahal, berbagai kesenian tradisional yang kita kenal saat ini pun dulunya juga merupakan hasil pengembangan secara bertahap, tidak langsung diciptakan ‘plek’ seperti yang kita lihat di zaman sekarang, sehingga sebenarnya tidak ada alasan untuk membatasi upaya pengembangan seni.” (29/09)
Penerima Anugerah Komponis Indonesia 2018 ini pun menambahkan bahwa para tokoh seni seharusnya lebih terbuka dan mendukung para inovator. Mengembangkan tidak berarti merusak. Mengembangkan adalah mengambil ruh dari kesenian tradisional untuk dijadikan sebuah karya baru.
Sementara itu, kesenian yang menjadi akarnya tidak diganggu dan dirusak, justru ditingkatkan popularitasnya melalui karya baru yang dibuat tersebut. Walaupun begitu Ubun tak menampik bahwa memang ada beberapa seniman karawitan Sunda yang tergolong ke dalam kategori perusak, bukan inovator.
“Ada beberapa seniman yang salah kaprah, ia menyatakan melakukan pengembangan, tapi nyatanya merusak suatu jenis kesenian tradisional, merusak akarnya. Maka dari itu, para seniman pun harus mengerti perbedaan antara mengembangkan dan merusak” , pungkasnya.
Fanatisme merupakan akar dari permasalahan dalam kesenian Sunda. Arus fanatisme tersebut dipicu oleh kurangnya pergaulan, wawasan, dan empati. Jika mental seperti itu terus langgeng, seni tradisional akan semakin terdesak dan kemungkinan besar lambat laun akan mati. Padahal, seni tradisional adalah identitas kebangsaan sekaligus merupakan salah satu aset penting yang dapat diandalkan dalam berbagai hal.
Dengan adanya fenomena ini, tergambar jelas bahwa kesenian Sunda memerlukan seniman unggul, yang berperan sebagai pelopor perubahan (agen of changes) yakni para seniman yang bukan hanya baik dalam hal-hal fisik (dalam hal ini skill), namun juga unggul dalam hal mental.
Kesenian Sunda memerlukan pelaku seni yang tangguh, kritis dan mampu menjadi tonggak pelestarian seni serta memecahkan berbagai persoalan di dalamnya. Para seniman karawitan Sunda pun diharapkan mampu membaca situasi dan memanfaatkan perkembangan teknologi di era ini.
Dengan kesadaran akan pentingnya bermental unggul, para seniman, baik itu konservator ataupun inovator, akan tergugah untuk memelihara kesenian tradisional dengan bijak.
Lebih jauh lagi, para seniman diharapkan melakukan berbagai pengembangan, yakni menghasilkan karya-karya yang solutif, yakni karya alternatif untuk meningkatkan daya apresiasi masyarakat, yang dapat dicerna dengan baik dan bisa menjadi senjata yang ampuh untuk menarik minat generasi muda, sehingga kehidupan seni tradisional Sunda akan terus terjaga.
~Seekor burung dalam sangkar perlu diberi makan dan dikembangbiakkan, jika tidak, tunggulah kematiannya. (Ed:Rena A)
*seluruh isi menjadi tanggungjawab penulis