Penulis: Dyah Murwaningrum

Ilustrasi: Aga Pratiwi

Sebelumnya, tahun lalu tepatnya 2018, tulisan ini dimuat pada sebuah website edukatif http://www.ri2030.com. Tulisan ini merupakan gagasan yang terpantik oleh gersangnya produktivitas orang dewasa untuk mengusahakan ruang-ruang bagi anak di masa depan.

Tahun 2030, jika waktunya datang, siapa yang berdiri paling tegap? Tentu s

aja generasi yang hari ini masih sibuk bermain dengan keceriaannya. Atau, remaja yang berkejaran dengan cinta monyet di balik seragam putih birunya.

Apa yang sempat kita bekalkan untuk generasi yang suatu hari nanti akan menyangga dunia kita? Membekalinya dengan pengetahuan, mental yang tak gampang remuk, kreativitas, kepatuhan pada agama, semua itu bukan tanggung jawab satu atau dua lembaga namun seluruh masyarakat.

Setelah kita puas mengais-ngais berita tentang tahun-tahun runtuhnya sebuah Negara atau malah tentang kiamat, akhirnya 2030 tetap menjadi angka penasaran setelah 1999 atau 2012, bukan?

Ada pertanyaan di lintasan pikiran kita tentang tahun 2030. Di mana kita? Bagaimana anak-anak kita? Amunisi kecakapan bagi generasi kecil ini, tentu perlu dipersiapkan dari sekarang. Melalui media, ataupun interaksi langsung.

Jika menilik kembali media-media kita baik radio, televisi, ataupun koran, dominasi kepentingan dewasa memang jauh lebih banyak daripada urusan anak-anak. Orang dewasa punya banyak kolom-kolom di koran yang bicara tentang kepentingannya.

Politik, harga saham, perceraian artis, TTS, iklan kecik, dan lain-lain. Begitu juga dengan televisi yang bertabur sinetron pada malam hari, gosip di pagi dan sore hari. Radio juga dipenuhi oleh koleksi lagu-lagu dewasa atau komunikasi dua arah melalui telepon antara penyiar dan pendengar dewasa.

Sedikitnya tontonan yang mendidik bagi anak-anak, mungkin memang dimaksudkan agar anak-anak fokus belajar. Namun, kenyataannya banyak sekali anak-anak yang super aktif mengikuti gosip atau sinetron yang minim muatan edukasi bagi anak.

Majalah untuk anak-anak terlebih majalah dan bacaan berbahasa lokal seolah tak pernah disarankan oleh orangtua bagi anak-anaknya. Anak-anak lebih suka membeli komik horor bermuatan agak dewasa, yang dijual oleh penjaja mainan seharga Rp 1500 tiap eksemplarnya.

Cerita atau dongeng lokal yang bertujuan mengangkat imajinasi kanak-kanak, akhir-akhir ini justru sering terbentur dengan berbagai dogma. Cerita khayal tak disarankan, namun cerita horor mendapat respon yang berbeda.

Media hiburan untuk anak rasanya tak sebanyak dulu di era 90-an, saat marak boneka tangan, boneka yang digerakkan dengan benang, atau belajar menggambar bersama pak Tino Sidin. Ketika itu televisi menjadi corong informasi dan pengetahuan, pengantar gambar bergerak terluas dalam format elektronik.

Televisi sudah bukan lagi menjadi sahabat anak hari-hari ini, khususnya anak-anak desa yang masih terengah-engah untuk mendapatkan koneksi internet. Atau sebaliknya, anak desa yang justru tergagap-gagap dengan teknologi, duduk seharian di warung wifihingga bolos sekolah.

Tak jauh juga nasib anak-anak dan musiknya. Agaknya artis cilik Indonesia tidak lagi dikenal secara nasional. Musik anak di televisi atau radio, proporsinya makin mengikis. Kita hanya bisa berharap, pada tukang Odong-odong yang lewat setiap sore atau mangkal pagi hari di pasar kaget, menanti anak-anak menikmati Odong-odong yang dikayuhnya sambil manggut-manggut mendengar lagu anak Nusantara.

Pesimis memang jika melihat minimnya perhatian kita pada generasi yang nantinya akan kita titipi berlangsungnya masa depan. Namun, optimisme juga timbul seketika kita melihat laju literasi telah menjangkau pelosok tanah air akhir-akhir ini.

Informasi dan pengetahuan bisa kita hantarkan melalui buku-buku bersayap. Kesadaran mulai tumbuh justru bukan dari lembaga-lembaga besar, namun dari individu-individu, komunitas bebas di masyarakat. Gejala ini menjadi harapan baru, menyala dan menguat karena benar tumbuh dari kesadaran, bukan anjuran pemerintah.

Memang, tak mudah meminta ruang-ruang hiburan atau informasi yang dikelola oleh industri yang bicara laba melulu. Namun kita bisa bicara langsung dari interaksi atau lewat karya di bidang masing-masing.

Geliat film anak, animasi edukatif makin banyak di akun media online. Meski belum meluas namun ada harapan. Komik, cerita bergambar dan novel yang sarat edukasi anak mulai muncul dengan harga yang relatif terjangkau. Hal lain, ternyata banyak juga teman-teman yang menyelenggarakan nonton film bareng di pelosok.

Komunitas-komuntas kecil yang bekerja dalam senyap maupun lantang, makin menjamur dan bergerak serentak. Inilah cahaya dan harapan bagi generasi kecil kita. Kesadaran dan bergerak adalah bahan bakar jangka panjang bagi nyala optimisme ini. Semoga pemerintah dapat memuluskan jalan yang telah dibuka oleh banyak pihak ini.

*seluruh isi menjadi tanggungjawab penulis