Penulis : Dikdik (Venol) Pebriansyah,
Editor: Rena Asyari
Tahun 2019 Himaka ISBI Bandung kembali menggelar Acara PKAS (pentas kreativitas dan apresiasi seni) ke-11 dengan mengangkat tema Buhun “Identity of Indonesian Culture”.
Program tahunan ini merupakan kegiatan yang menampung segala bentuk kreativitas mahasiswa jurusan karawitan untuk ditindaklanjuti menjadi sebuah karya bermutu yang diharapkan dapat meningkatkan daya apresiasi masyarakat terhadap seni pertunjukan khususnya karawitan. Acara yang berlangsung selama tiga hari diisi dengan berbagai kegiatan seperti seminar, pertunjukan seni tradisi Sunda dan pertunjukan musik kontemporer.
Salah satu rangkaian acara PKAS menampilkan karya musik kontemporer bertajuk “Young Composer Show” yang selanjutnya dalam tulisan ini akan disingkat YCS. Pertunjukan musik kontemporer yang digelar pada hari pertama (25/01/2019) menampilkan komponis muda dari berbagai daerah seperti Dewa Gugat (Padang Panjang), Lutvan Hawari (Madura), Ricky Subagja (Bandung), Syahrul Nuryansah (Bandung), Wildan Bayanudin (Bandung) dan Arya Deva (Bali).
Karya komposisi yang ditampilkan dalam YCS merupakan hasil kurasi dari Dedy Satyahadianda, Dody Satya Ekagusdiman, Lawe Samagaha dan Daniel Antonio Milan Carbera.
Karya komposisi pertama disajikan oleh Syahrul Nuryansyah dari Bandung yang berjudul “Bundeng dua”. Karya ini banyak mengekspolrasi pola aksentuasi dari berbagai jenis instrumen tradisi seperti kecapi, bundengan, bonang, goong dan selentem.
Pola aksentuasi yang banyak muncul dalam berbagai kalimat lagu, penulis amati sebagai upaya memanifestasikan konsep dengung yang menjadi gagasan berkarya Syahrul Nuryansah.
Komponis kedua yang tampil malam itu adalah Wildan Bayanudin dari Bandung yang mengangkat fenomena sleep paralysis ke dalam karya komposisinya. Sleep paralysis yang merupakan kelumpuhan tidur atau ketidakmampuan bergerak ketika sedang tidur ia garap kedalam instrumen gitar, waterphone, bass, bangsing, kalimba.
Komposisi ini banyak menampilkan ambience dari gitar. Selain menampilkan ambience bersahutan dengan hasil efek suara dari waterphone, komposisi ini banyak menampilkan polymetric dalam beberapa kalimat lagu yang digarap dengan instrumen bass dan bangsing.
Setelah sajian pembuka berasal dari komponis Bandung, karya selanjutnya berasal dari Bali yaitu “On Train Jkpws”. Karya ini menampilkan kuartet suling bali. Komposisi ini banyak mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang bisa dihadirkan dalam suling seperti meniup dengan berbagai teknik, membuat efek suara dengan meniup dari berbagai bagian suling dan menjadikan teknik penjarian suling sebagai bunyi yang ditampilkan selain tiupan.
Teknik penjarian ini digarap dengan menekankan penjarian suling dengan keras dan menghentakannya sehingga muncul bunyi seperti “tek tek tek” dalam badan suling. Suling yang digunakan dalam komposisi ini memiliki bunyi yang berkarakter high, low dan middle. Arya Deva banyak melakukan garap yang lepas dari kebiasaan bermain suling pada biasanya.
Karya selanjutnya yang cukup menyihir apresiasiator di Gedung Kesenian Sunan Ambu adalah komposisi dari Dewa Gugat dan Diafora yang berasal dari Padang Panjang. Komposisi yang diangkatnya berasal ritual sirompak minang. Ritual ini merupakan cara untuk mengguna-guna dan memikat hati perempuan yang menampik seorang laki-laki.
Karya komposisi ini disajikan menggunakan beberapa instrumen yaitu kecapi, saluang, dua buah talempong, serunai, seruling dan gitar. Aura Minangkabau dalam karya ini sangat kental karena kehadiran vokal yang meliak-liuk, melengking khas minang. Penggunaan bahasa minang sebagai suatu mantra dalam karya ini pun menambah rasa ritual sirompak semakin terasa.
Karya yang terakhir yang tampil dalam YSC berasal dari komponis Madura, ia adalah Lutvan Hawari. Komponis muda ini menyajikan karya berjudul Akar Suara. Yang menarik dari penampilan Lutvan adalah karena Ia tampil menyajikan instrumen buatannya.
Alat ini berbentuk kotak yang memiliki dawai. Untuk memainkan instrumen tersebut Lutvan menekan semacam pedal oleh tangannya. Selain menghasilkan bunyi oleh getaran yang dihasilkan oleh sentuhan pedal dan dawai, di sebelah pinggir kotak tersebut terdapat dawai untuk digesek menggunakan bow.
Selain menampilkan alat musik buatannya, ia menggunakan instrumen flute, dua buah goong dan triangle untuk melengkapi karya komposisinya. Gaya vokal dari perempuan yang khas menggambarkan suasana pedesaan di Jawa menambah kekuatan tersendiri dalam karya komposisinya. Selain tampil bertiga pada malam itu, Lutvan mengajak apresiator untuk duduk melingkar didekatnya sembari membagikan beberapa dupa.
Komponis yang terlibat dalam YCS malam itu telah memberikan racun bagi apresiator yang hadir menyaksikannya. Dari karyanya, aksi para komponis malam itu dapat membuat gelisah batin apresiatornya. Memang sudah seharusnya seni itu harus bersentuhan dengan kegelisahan agar memantik kita untuk berpikir, merenung, dan menafsirnya sehingga diharapkan muncul ruang diskusi yang dapat mempertajam daya intelektual musikal, khususnya untuk mahasiwa karawitan yang berkecimpung di dalamnya.

Teror dan provokasi
Tingkat apresiasi terhadap musik kontemporer di wilayah ISBI Bandung khusunya di lingkungan jurusan karawitan boleh dibilang kurang antusiasme. Namun jika berkata tidak ada apresasi pun sepertinya kurang pas, karena dibalik mahasiswa yang acuh tak acuh terhadap perkembangan musik kontemporer masih ada segelintir mahasiswa yang masih support terhadap karya-karya musik demikian.
Selain itu, ruang-ruang pertunjukan dan diskusi pun jarang ditemukan di wilayah Jurusan Karawitan ISBI Bandung. Biasanya, pertunjukan musik kontemporer bisa dijumpai jika ada resital ujian akhir Jurusan Karawitan, itu pun jika ada mahasiswa yang mengambil minat utama penciptaan.

YCS dalam PKAS ke-11 ini merupakan agenda yang harus didukung keberlangsungannya, selain sebagai upaya yang presentatif untuk para komponis muda, acara ini bisa menghadirkan ruang dialog antara komponis dan apresiatornya terutama mahasiswa.
Menurut penuturan dari beberapa komponis muda ISBI Bandung, karya-karya mereka jarang diterima sebagai bahan apresiasi oleh rekan-rekan mahasiswa dilingkungannya. Kebanyakan karyanya hanya dicemooh dan dianggap sebagai sesuatu karya yang memusingkan, padahal persoalan musik dan segala rupa ilmunya sudah diberikan dalam perkuliahan.
Maka bukan kritiklah yang selama ini hidup dalam suasana musik kontemporer di wilayah mahasiswa ISBI Bandung khususnya Jurusan Karawitan, melainkan hanya cemoohan-cemoohan yang tidak berdasar.
YCS sebagai teror kenyaman bagi wilayah musikal di ISBI Bandung harus lebih masif lagi aksinya, agar mahasiswa yang berada di zona nyaman bisa tersentuh batinnya untuk tidak lagi mencemooh karya kontemporer dengan pandangan yang tidak berdasar.
YCS diharapkan dapat menjadi aksi provokatif agar komponis bisa lebih baik lagi meningkatkan mutu dan gagasan dalam berkaryanya. Selain memprovokasi komponis agar lebih produktif berkarya, YCS pun harus memprovokasi mahasiswa agar lebih peka dan toleran terhadap bunyi-bunyi, musik-musik yang hadir dalam berbagai jenis karya.
*seluruh isi tulisan menjadi tanggungjawab penulis
Reblogged this on VENOLISME.
SukaSuka