Penulis: Dyah Murwaningrum
Telah diedit dan dimuat sebelumnya pada situs http://www.ri2030.com
Makin maju, Indonesia makin bising?
Bukan hanya dunia hiburan yang sering menimbulkan bunyi dengan intensitas tinggi, namun juga mesin-mesin pembangunan dan industri. Bunyi dengan intensitas sekitar 60db dari pompa air yang sudah tua dan kurang sehat pasti sering kita dengar karena memang tidak ada pilihan lain.
Cerita lain saat saya memutuskan mengunjungi kafe untuk berdiskusi bersama teman-teman. Kami berpindah ke beberapa kafe justru karena bunyi yang cukup menggangu. Baik volume musik dan pilihan musik dari dalam kafe, maupun volume para pengendara motor di jalan raya.
Sesekali Anda boleh mencoba mengecek seberapa bising lingkungan Anda. Cara paling sederhana, dengan mengunduh aplikasi Sound Level Meter melalui playstore atau appstore pada android Anda. Lalu fungsikan aplikasi tersebut dengan memanfaatkan microphone bawaan handphone Anda untuk memonitor intensitas kebisingan di sekitar Anda. Berapa decibel kah bunyi yang paling bising di sekitar Anda?”
Tak ada larangan bagi sebuah peristiwa mengekspresikan bunyinya, dengan konsekuensi bunyi tersebut masih mampu diterima dan ditolerir oleh telinga kita. Kesadaran masyarakat mengenai dampak kebisingan nampaknya belum mulai tumbuh. Kesadaran akan bising juga kurang dibangun serius oleh negara melalui berbagai kegiatan yang informatif. Sejauh ini bisa jadi belum ada iklan layanan masyarakat yang menyadarkan tentang polusi kebisingan, sebagaimana kampanye polusi asap.
Ambang batas tentang bunyi dan kemampuan telinga, rasanya hanya selesai pada hafalan di sekolah saja. Tidak berlanjut pada proses pemahaman dan penyadaran dalam kehidupan harian. Persoalan polusi bunyi nampaknya bukan menjadi hal pokok dibandingkan dengan polusi udara dan polusi pandangan.
Telinga yang bersifat adaptatif pun memiliki resiko yang fatal jika sering mendengar bunyi 80db ke atas. Bising mesin pabrik awalnya terasa mengganggu namun lambat laun bunyi tersebut tak terasa lagi mengganggu, meski terdengar. Bagaimana jika tahunan?
Telah lama para peneliti kesehatan menemukan bukti-bukti bahwa bising dapat membunuh manusia. Di New York, depresi pada orang-orang psikopat sangat mematikan, dan disinyalir depresi ini merupakan dampak dari kebisingan yang masuk ke telinga.
World Health Organisation (WHO) dan European Commision World Health Organisation juga menyimpulkan bahwa kebisingan merupakan penyebab kematian dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan di urutan ke dua. Sedang polusi udara masih menduduki peringkat pertama.
Resiko Bunyi bagi Manusia
Kebisingan dan resikonya telah diwacanakan baik dari kalangan pekerja industri, para peneliti, dunia kesehatan, seniman bunyi, dan juga pemerintah tentunya. Peraturan Menteri Kesehatan no 718/MENKES/PER/XI/1987 telah mulai mendefinisikan kebisingan sebagai bunyi yang tidak diinginkan dan mengganggu bahkan membahayakan kesehatan.
Kebisingan ditimbulkan dari peristiwa yang beragam, misalnya bunyi senapan, mercon, knalpot kendaraan, speaker orang menggelar hajatan, proyek pembangunan dan industrialisasi. Kebisingan belum ditanggulangi secara serius karena masyarakat masih terlihat tenang dan santai saja.
Intensitas bunyi yang dinyatakan dalam ukuran decibel itu memang tidak semua merusak, bunyi dengan intensitas 40-50 db masih dianggap nyaman. Intensitas 70 db seperti bunyi mesin ketik, printer dianggap menjengkelkan dan bisa menimbulkan stres dan bunyi 80db-85db disimpulkan pada beberapa penelitian sebagai bunyi yang merusak jika kita dengar dalam durasi 15 menit atau lebih.
Masyarakat sudah memiliki kesadaran mengenakan masker untuk melindungi muka dan hidung, atau kaca mata hitam untuk menangkal cahaya matahari dan debu, namun tidak begitu dengan penggunaan alat pelindung pendengaran (earplug).
Indonesia dan Gerakan Sadar Kebisingan di Masa Depan
Hari ini dan kemarin, negara kita masih nampak begitu acuh untuk mengedukasi masyarakat mengenai kebisingan dan resikonya. Kebisingan berdampak pada kerusakan fisiologis, psikologis, gangguan komunikasi, dan ketulian baik sementara maupun permanaen.
Sementara, Indonesia tengah memulai kembali pembangunan besar-besaran, penggunaan mesin-mesin industri, dan dunia hiburan pertunjukan yang belum punya gedung khusus, serta berbagai upaya percepatan pembangunan melalui sektor industri yang tentu saja akan menimbulkan polusi suara.
Belum juga tampak tindakan tegas pemerintah kota dan masyarakat atas kebisingan di ruang-ruang warga, seperti kebisingan knalpot yang sebenarnya sudah ditegaskan dalam undang-undang, bunyi mercon yang sering terdengar pada berbagai event.
Slamet Abdul Sjukur (almarhum) bersama Soe Tjen Marching dan lainnya seperti Syafii Maarif, Luthfi Assyaukanie, NH Dini telah memperjuangkan berdirinya Masyarakat Bebas-Bising, 23 Januari 2010 lalu. Namun kampanye ini belum disadari oleh masyarakat sendiri. Menurut Slamet, Bising adalah Bahaya Nasional yang makin mengancam.
Kebisingan telah melekat pada gaya hidup manusia hari ini. Kesadaran seharusnya sudah dibangun oleh pemerintah, mengingat banyaknya pembangunan dan industrialisasi yang akan makin gencar dilakukan. Indonesia makin maju, Indonesia makin bising, mungkin saja.
Sedangkan pada panggung-panggung musik yang belum selesai urusan gedung pertunjukannya, apakah kekuatan bunyi yang spektakuler benar-benar dibutuhkan?
*Seluruh isi tulisan merupakan tanggungjawab penulis
Sumber:
“Polusi Kebisingan” dalam Virus Setan: Risalah Pemikiran Musik. Slamet Abdul Sjukur (2012)
“Pulang” dalam Kubunuh di Sini. Soe Tjen Marching (2013