Penulis : Dikdik (Venol) Pebriansyah
Tulisan ini merupakan sebuah catatan kecil dari hasil diskusi musik kontemporer yang dipresentasikan oleh Gema Swarastyagita dalam acara PKAS Ke-11 yang berjudul Buhun “Identity Of Indonesian Culture”.
Diskusi dilaksanakan setelah bedah karya dari beberapa peserta Young Composer Show (YCS) di Gedung Kesenian Sunan Ambu ISBI Bandung (26/01/2019). Gema Swaratyagita yang merupakan Direktur Laring Project dan Pertemuan Musik adalah seorang Komponis Alumni jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (UNAIR) dan Pendidikan Sendratasik Jurusan Seni Musik Universitas Negeri Surabaya (UNESA).
Komponis perempuan kelahiran Jakarta, 8 Januari 1984 tersebut namanya sangat diperhitungkan dalam jagat musik di Indonesia. Gema pernah terpilih dari delapan komposer Indonesia yang diundang oleh kelompok Ensemble Modern di Frankfurt, Jerman.
Karya-karya Gema dan tujuh komposer lainnya dibawakan secara langsung oleh Ensemble Modern, begitu juga sebaliknya. Selain itu berbagai penghargaan pun pernah diraihnya seperti The Best 7 dari “Festival Musik Tradisi Baru Tembi” yang diadakan oleh Rumah Budaya Tembi Yogyakarta tahun 2014, Collaborator Participant of City Soundscape Project 2012 yang diselenggarakan oleh Piet Hein Van de Poul.
Ia juga tercatat sebagai juara I Lomba Menulis Lagu untuk guru dengan judul “Raih Mimpiku” yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Selain aktif sebagai komponis dan juga performer Gema juga aktif sebagai pengajar musik.
Diskusi siang itu diawali dengan diputarnya sebuah karya dari Alm. Slamet Abdul Sjukur (SAS) yang berjudul Tetabuhan Sungut. Seketika Gema mengajak hadirin kembali mengenang serta merenungkan sepak terjang SAS dalam dunia musik kontemporer. Ia menceritakan tentang pergerakan Pertemuan Musik Surabaya (PMS) yang digagas oleh SAS secara historis dan cukup rinci. Menurut Gema genealogi itu penting ketika berbicara perihal musik kontemporer, bukan hanya persoalan eksplorasi saja.

Pertemuan Musik Surabaya berdiri sekitar tahun 1957 dan sempat vakum tahun 1980-an terutama ketika sang arsitek SAS pergi ke Prancis. Waktu itu PMS jumlah anggotanya mencapai sekitar 1200 orang. PMS saat itu adalah perkumpulan yang memiliki andil besar dalam meletakkan landasan ujian-ujian musik yang kemudian diurus oleh PDK (Depdikbud).
Pergerakan PMS tidak hanya seputar bermain musik belaka tetapi diisi juga dengan ruang-ruang diskusi dan analisa seputar musik. Aktivitas yang dilakukan PMS merupakan aktivitas intelektual yang menjadikan musik sebagi sebuah ilmu bukan hanya sekedar hiburan.
Seperti semboyannya “Kujadikan Rakyatku cinta Musik”, PMS terus berupaya agar musik bisa lebih dipahami dari berbagai sisi sehingga dicintai oleh masyarakat. Tahun 2016 PMS meleburkan nama menjadi Pertemuan Musik yang aktif di daerah Surabaya dan Jakarta. Selain kedua daerah tersebut, di beberapa kota lain pun hadir komunitas atau forum dialog yang bergerak di wilayah musik kontemporer seperti misalnya Bukan Musik Biasa (Solo), Forum Komposer Sumbar, October Meeting (Yogyakarta), Festival Musik Tembi (Yogyakarta), Pekan Komponis Indonesia (Jakarta), Insitu Recordings (Bali), dan Kumpulan Bunyi Sunya (Bogor).

Kehadiran dan kemunculan berbagai komunitas atau perkumpulan yang bergerak secara akar rumput sangat penting dalam persebaran juga kemajuan musik. Biasanya kelompok yang berjuang dari bawah dengan konsisten dan semangat yang sama mampu menjadikan sebuah ekosistem budaya yang kuat.
Ekosistem musik kontemporer diharapkan mampu menjadi ruang dialog antara komponis, apresiator dan masyarakat secara luas. Jika melihat perkembangan komponis muda yang kian banyak, sudah seharusnya ada sebuah tempat atau wadah untuk menampung segala rupa aktivitasnya. Dengan adanya suatu tempat untuk memfasilitasi pergerakan para komponis bukan berarti untuk saling bersaing di dalamnya, tapi saling mendukung dan membangun ekosistem budaya bersama.
Ekosistem budaya harus dipertahankan dan diperkuat keberadaanya, kemasifan ekosistem ini adalah langkah awal para komponis untuk meningkatkan produktifitas karyanya. Selain sebagai wadah para komponis di dalamnya, ekosistem budaya harus diisi oleh para penulis, kritikus sebagai penyambung karya-karya kepada masyarakat luas.
Karena bagaimanapun meledaknya dan meningkatnya produktifitas karya tetap harus ada keseimbangan antara komponis dan penulis. Jadi keberadaan ekosistem budaya adalah kunci menjadikan musik kontemporer berjalan seimbang dalam kehidupan komponis, penulis, apresiator dan masyarakat.
Poin penting diskusi tersebut menjadi sebuah tantangan juga tamparan bagi para komponis dan pegiat musik kontemporer di Bandung, apakah Bandung akan memiliki ekosistem musik kontemporer yang dapat bergerak secara masif? apakah Bandung siap menjadi salah satu daerah yang mampu merawat ekosistem musik kontemporer hari ini, besok dan seterusnya?
*seluruh isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis
Reblogged this on VENOLISME.
SukaSuka