Penulis: Dyah Murwaningrum
Pagi ini saya mendapat kabar menarik, yaitu mendapat undangan untuk mengisi sebuah kolom tulisan pada majalah tentang Etnomusikologi. Momen ini mengingatkan bahwa saya belum pernah sekalipun menulis tentang Etnomusikologi, walau hanya sepenggal atau dua penggal saja di media http://www.seratpena.com ini.
Tidak sedikit teman-teman dan kerabat saya yang tak mengerti apa itu Etnomusikologi, bahkan bisa-bisa saya mengulang dua atau tiga kali untuk memperjelas kata “Etnomusikologi” di telinga mereka. Tak jarang mereka hanya mengatakan “ooo…” meski tak mendengar secara jelas, mungkin dikiranya Psikologi.
Etnomusikologi di Kampus Seni Indonesia
Serupa bidang-bidang ilmu lain, Etnomusikologi lahir dari perkawinan beberapa bidang ilmu yaitu antara Antropologi dan Musikologi. Dari kata yang menyusunnya, Etnomusikologi memiliki tiga kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu ethnos yang berarti hidup bersama dan selanjutnya lebih dikenal dengan istilah bangsa. Mousike ˆyang berarti musik dan logos yang berarti bahasa atau ilmu. Maka secara sederhana Etnomusikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari musik sebuah bangsa/suku atau masyarakat tertentu.
Kajian Etnomusikologi saat ini bisa dipelajari di beberapa kampus di Indonesia, diantaranya Universitas Sumatra Utara, Institut Seni Indonesia Surakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Institut Kesenian Jakarta, Institut Seni Indonesia Padang Panjang dan lain-lain.
Etnomusikologi selain hadir sebagai sebuah jurusan atau program studi tersendiri, juga sebagai salah satu mata kuliah di beberapa jurusan musik, baik musik yang bersumber dari tradisi barat maupun timur.
Dari Barat
Tidak salah jika kita menyebut kajian ini berasal dari barat. Meskipun begitu, pada praktiknya Etnomusikologi menemukan metodenya dan dasar pengetahuannya sendiri yang cocok sesuai dengan wilayahnya masing-masing.
Di Jerman pada akhir abad 19, Etnomusikologi mulai memisahkan diri dengan Musikologi dengan istilah “Musik Perbandingan” (vergleichende musikwissenscahft) dengan tokohnya yaitu Erich Von Hornbostel. Dan setelahnya baru disebut dengan musiketnologie.
Sudut pandang metode barat tak terelakkan masuk dalam analisis bidang Etnomusikologi saat itu (abad 19). Kebiasaan mendengar nada barat menjadikan etnomusikolog saat itu menganggap ‘salah’, nada-nada yang berasal dari luar barat. Saat itu kebudayaan sebuah musik, masih dilepaskan dari musiknya. Seperti Alexander John Ellis yang meneliti akustika sebuah musik tanpa menghiraukan budaya asal musik tersebut.
Pada abad 20, lepas perang dunia ke II, Etnomuskologi di Amerika Serikat mulai berkembang dengan sebutan “Ethnomusicology” yang merupakan bagian dari Antropologi. Yaitu gabungan dari Antropologi dan Musikologi. Maka, saat itu musik sudah tidak lagi diteliti secara terpisah dari budayanya. Sebutan Etnomusicology ini mengacu pada istilah yang dicetuskan oleh Jaap Kunst seorang etnomusikolog berkebangsaan Belanda.
Lebih dari Sebuah Dokumentasi
Etnomusikologi mencoba menelaah, memahami, sebuah budaya masyarakat melalui musiknya, tentu lebih dari sekedar mendokumentasikan. Adapun pendokumentasian dalam ranah Etnomusikologi adalah awal dari telaah dan pemahaman kita pada musik dan budayanya di suatu masyarakat.
Masyarakat yang dimaksudkan dalam sebuah kajian Etnomusikologi, bukan selalu bermakna masyarakat dari suatu bangsa, namun bisa juga masyarakat pada suatu daerah, atau sebuah komunitas. Misalnya pada masyarakat pecinta Jazz.
Istilah Etnomusikologi urban akhirnya menjadi istilah popular yang sering diucapkan untuk menyebut kajian Etnomusikologi yang membahas tentang masyarakat perkotaan.
Sebagai sebuah keilmuan, layak jika Etnomusikologi bergulir searah dengan peradaban dan kebudayaan yang tengah berlangsung. Termasuk keterbukaannya menerima teknologi.
Perkembangan Etnomusikologi nampak jelas beriringan dengan teknologi, sehingga dalam proses penelitiannya dan saat mengkomunikasikan hasil penelitian pada masyarakat, Etnomusikologi tak segan untuk menggunakan teknologi dan berbagai media.
(foto: dari sini)