Dyah Murwaningrum

Digul. Tanah orang-orang terbuang yang tidak akan pernah selesai dibicarakan. Ada yang tumbang saat perjalanan menuju Digul Atas, ada juga yang mati kesepian karena merindu tanah yang ditinggalkan. Namun ada yang tumbuh dan menumbuhkan kebudayaan baru di sana, karena akar budaya dan pemikiran tidak akan begitu saja mati.

Sebuah riset yang dilakukan Margareth Kartomi, seorang etnomusikolog di Universitas Monash – Australia yang banyak mengkaji persoalan organologi ini terasa begitu menyeluruh. Melalui pintu masuk kajian organologi Gamelan Digul, membongkar biografi seorang tahanan politik yang tak banyak dikenal orang, bahkan sampai pembicaraan hubungan Australia – Indonesia sejak pra kemerdekaan.

Slamet Soekari. Seorang pengrawit dari Surakarta yang selalu menyepi hampir-hampir seumur hidupnya. Terlibat persoalan politik sejak usia muda dan menjadi bagian dari 2000an orang yang dibuang ke Digul Atas angkatan pertama, yaitu pada tahun 1926. Slamet Soekari yang kemudian dikenal dengan nama barunya, pemberian dari Keraton Surakarta, yaitu Pontjopangrawit.

Pangrawit” adalah nama yang menjadi identitas setiap warga yang beraktivitas sebagai niyaga (baca: niyogo/pemain gamelan) dan dinilai ahli dalam bidang karawitan. Nama tersebut disematkan oleh pihak keraton dengan prosesi khusus layaknya sebuah upacara lainnya yang mentradisi. Pontjopangrawit adalah salah satunya. Hingga kini di lingkungan masyarakat Surakarta pun masih mengenal beberapa nama empu karawitan yang menyandang nama khusus dari keraton.

Digul

Perjalanan menuju Digul dan kehidupan lanjutannya dapat membunuh siapa saja. Medan yang berat dan rasa rindu yang kuat pada keluarga bisa saja menjauhkan nyawa dari raga. Namun, pemikiran tidak dapat begitu saja dibendung. Budaya dan pola pikirlah yang selalu mengikuti dan mendasari sebentuk temuan, karya, dan berbagai ekspresi para tahanan politik di sana.

Tak terkecuali Pontjopangrawit, dengan kemampuan memainkan gamelan Jawa gaya Surakarta, keahlian memahami timbre (warna suara) dan mencampur logam bahan instrumen (organologi), pada akhirnya Pontjopangrawit mampu menghadirkan bunyi sekaligus ‘ruh’ bunyi gamelan Jawa tersebut di Kamp Boven Digul.

Dengan peralatan bekas kaleng sarden, peralatan dapur, sendok, garpu dan bekas-bekas pintu, Pontjopangrwit mampu menjangkau timbre gamelan Jawa gaya Surakarta. Bukan hanya bentuk dan timbre yang ia hadirkan di Digul, namun juga ruh nya. Meski sudah menjadi rahasia umum, bahwa tak ada gamelan yang memiliki kesamaan frekuensi bunyi yang persis antara satu dan lainnya dalam persoalan pelarasan (tuning).

Pontjopangrawit dikenal sebagai seorang penyepi sejak dipulangkannya dari Digul tahun 1935. Kini, ia bukan hanya sebatas ahli karawitan namun juga menyandang sebutan tapol. Gamelan Digul tetap berada di Digul, menjadi pelepas lelah dan rindu para tapol dari Jawa lainnya, yang rindu kampung halamannya. Entah seperti apa rasa bunyi gamelan Jawa yang dibawakan oleh pribadi-pribadi yang sedih, dan sepi di Digul saat itu.

Beberapa murid Pontjopangrawit menyampaikan pada Margareth Kartomi, bahwa Pontjopangrawit mungkin hanya satu-satunya orang hebat yang memiliki pemahaman tinggi tentang karawitan diantara ahli-ahli karawitan yang ada saat itu. Ia memahami estetika gamelan Jawa dengan begitu dalam. Pontjopangrawit juga memiliki ketertarikan pada pemikiran-pemikiran Marxism saat itu. Hal inilah yang membawanya pada kesan bahwa ia condong pada pemikiran komunis. Ia sama sekali tak takut dengan Belanda, Jepang dan Ia adalah seorang Muslim juga Nasionalis.

Kematiannya masih menjadi tanda tanya hingga kini. Lepas tahun 1965 Pontjopangrawit hilang begitu saja, tak berjejak. Hanya ada makam yang diragukan kebenaran tanggal dan tahun kematiannya. Banyak dugaan Ia telah meninggal di tahun 1965, bukan 1971 sebagaimana yang tertera pada batu nisan.

Pembahasan gamelan Digul secara organologi membawa pengetahuan kita pada relasi antara Australia-Indonesia. Dukungan negeri Australia dan komponennya terhadap kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1943 dapat terbaca jelas pada bab 4 buku ini. Bahkan kepedulian Australia pada persoalan budaya dan artefak seni dari Indonesia pun tidak diragukan. Australia berupaya membawa gamelan Digul ke Australia untuk dimainkan dan dipelihara dengan baik, sekaligus niyaganya. Namun tak ada seorangpun yang mencoba melaras kemudian. Australia dengan begitu apik telah merawat dan melestarikan artefak seni, bukan hanya untuk dimainkan secara berkala namun juga dalam pengembangan keilmuannya.

Organologi

pengkajian organologi sendiri, seperti yang aktif dilakukan oleh Margareth Kartomi tidak banyak dilakukan di Indonesia, negeri asal instrumen Nusantara yang selama ini menjadi kekaguman dunia. Organologi adalah sebuah kajian mengenai instrumen musik, baik fisiknya, pembuatannya, penggunaannya yang terkait dengan budaya, sejarahnya dan keterhubungan instrument musik dengan berbagai bidang. Margareth Kartomi secara berkelanjutan telah menelaah mengenai gamelan Digul jauh sebelum buku ini diterbitkan, baik melalui jurnal, proceeding dan berbagai luaran akademis lainnya.

Tidak banyak buku berbahasa Indonesia yang membuka pintu bidang-bidang politik dan kesejarahan melalui kajian organologi atau kajian musik, apalagi yag selanjutnya dapat menyeluruh menjangkau berbagai bidang lain. Sebuah bacaan dan pengetahuan yang lengkap mengenai sejarah dan keberadaan artefak seni milik leluhur kita.

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, saat membaca buku karya Margareth Kartomi ini saya secara pribadi merasa mendengarkan dongeng tentang masa lalu yang tidak pernah saya dengar sebelumnya, dan klimaks dalam rasa bangga. Masih bisa saya syukuri pula, karena artefak tersebut masih terjaga dan dikembangkan keilmuannya meski bukan di negeri sendiri.

(Gamelan Digul Dibalik Sosok Seorang Pejuang: Hubungan Antara Australia dan Revolusi Indonesia”. Karya Margareth Kartomi, dengan kata pengantar dari Judith Becker. Tebal 221 halaman, dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 2005. Dilengkapi dengan CD yang menjelaskan tentang bunyi gamelan Digul sebanyak 21 track.)

 

 

Iklan