Oleh Rena Asyari
“Maju tidaknya literasi di suatu kota dapat dilihat dari jumlah komunitas baca yang ada di kota tersebut”.
Ungkapan tersebut bukan tanpa alasan saya tuturkan ketika memoderatori sesi diskusi “Maca Bari Ngariung” dalam rangkaian Bandung Readers Festival, Sabtu 7 September lalu.
Deni Rahman, pengelola toko buku “Lawang Buku” 10 tahun lalu pernah menulis artikel tentang sunyinya peringatan hari baca tulis internasional yang jatuh pada setiap tanggal 8 september di Bandung. Menurutnya, Bandung saat itu belum menjadi kota yang warganya mempunyai misi yang maju tentang literasi. Tak dapat dipungkiri dunia baca tulis adalah dunia yang sunyi.
Beruntung, Bandung memiliki dua komunitas baca yang cukup konsisten dalam upaya mempertahankan penyebaran pengetahuan sejak berpuluh tahun lalu. Komunitas Aleut, merupakan salah satu komunitas baca tua di Bandung. Hampir tiga belas tahun, Aleut tak sekedar menjadi komunitas rujukan ketika para mahasiswa sedang menyusun tugas akhirnya mengenai kota Bandung.
Aleut menjelma menjadi wadah pertukaran informasi, gudang arsip, ruang belajar menulis dan berdebat dengan baik. Begitu juga dengan Asian African Reading Club (AARC) yang baru saja berulang tahun satu dasawarsa. AARC begitu konsisten mengadakan tadarus buku setiap minggunya. AARC dengan semangat Asia Afrika yang dibawanya, menjadi agen penjaga semangat konferensi Asia Afrika yang pernah diselenggarakan tahun 1955 di Bandung.
Lantas, apa asyiknya “Maca Bari Ngariung”?. Proses mendapatkan pengetahuan bisa beragam caranya. Ada yang mendapatkan pengetahuan dengan jalan-jalan, ada yang gemar menonton film, ada juga yang gemar mendengarkan musik. Tetapi, terlepas dari semua itu, buku hingga kini masih menjadi sumber referensi utama.
Kegiatan membaca yang tidak semua orang suka, mengakibatkan membaca adalah pekerjaan yang berat. Komunitas menjadi wadah bagi mereka yang haus akan pengetahuan. Seringnya orang-orang yang berkumpul akan memperkaya perspektif, membuat sudut pandang kita menjadi luas dan terbuka.
Menurut Irfan Teguh dari Komunitas Aleut, membaca sama dengan menyimak. Jika kita betah untuk menyimak, kita sudah melakukan proses membaca. Aleut yang kala itu gemas dengan mata pelalajaran sejarah yang dibawakan oleh guru-guru di sekolah dengan sangat membosankan, mengubah cara agar sejarah dapat dinikmati dengan asyik oleh semua kalangan.
Aleut menawarkan konsep jalan-jalan sambil beriringan menyusuri tempat-tempat bersejarah di penjuru kota Bandung. Tak hanya Bandung, Aleut pun acapkali melakukan perjalan wisata sejarah ke luar kota. Proses menambah pengetahuan dengan konsep jalan-jalan ini rupanya diminati banyak orang. Dari jalan-jalan maka timbul rasa ingin tahu, ketika sudah memiliki rasa penasaran orang akan terus mencari dan menggali.
Lain halnya dengan Asian African Reading Club yang menawarkan konsep tadarusan buku. Membaca sambil berkelompok memiliki banyak manfaat. Pengetahuan kita akan bertambah lebih cepat daripada membaca sendirian.
Membaca secara berkelompok juga mengajarkan untuk peka dan dapat mengapresiasi orang lain, karena mau tidak mau kita harus memberi kesempatan pada orang lain untuk bicara. Selain itu membaca secara berkelompok juga melatih keberanian kita untuk bicara di depan umum.
Membangun komunitas tidaklah mudah. Begitu banyak orang datang dan pergi semaunya. Kepemimpinan dan konsep komunitas sangat berpengaruh pada keberlangsungan hidup komunitas tersebut.
Baik kang Adew dan kang Irfan, mereka tak pernah merasa risau jika kegiatannya sepi. Asal dilakukan dengan konsisten, komunitas baca tak akan kehilangan penggemarnya. Aleut dan AARC hanya dua diantara banyak komunitas baca di Bandung hari ini. Aleut dan AARC perlu membiak agar wajah literasi kota Bandung semakin mewujud.
Editor: Dy Murwaningrum
Foto : Dokumen BRF