Oleh Rena Asyari

Kipas angin yang menggantung di langit-langit kafe Abraham and Smith tak berhenti berputar sejak pukul 12.00 pada Jumat 6 September. Kafe tersebut sesak oleh pembaca. Denting gelas dan aroma kopi yang meruap memenuhi ruangan kafe menjadi semacam pengikat, orang-orang enggan berpindah.

Puluhan orang yang menghadiri diskusi sebelumnya masih berkerumun, beberapa ambil bagian berkumpul di pojok ruangan. Silih berganti pembaca keluar masuk kafe, ada yang meninggalkan kafe dan beberapa memilih tinggal.

Satu persatu peserta workshop berdatangan, mereka yang telah jauh-jauh hari mendaftar untuk mengikuti kelas membaca kritis bersama Zen RS nampak tertib mengantri, mengular di meja pendaftaran.

Workshop membaca kritis sengaja dihadirkan oleh panitia Bandung Readers Festival bukan sekedar untuk memberi pelatihan membaca biasa. Banyaknya hoax yang berseliweran di dunia maya belakangan ini menjadi tamparan keras khususnya bagi mereka yang memilih bicara berdasarkan data. Membaca bukan berarti sepenuhnya menerima informasi, namun mempertanyakan kembali kebenaran informasi.

Zen membuka kelas membaca kritis dengan melempar petikan kalimat “Lebih baik tidak membaca buku, daripada membaca hanya satu buku saja” beberapa peserta workshop mengernyit, menyimpan tanya. Salah seorang peserta mengungkapkan membaca satu buku bisa menjadi manusia yang sok tahu. Dan ini tentu saja sangat bahaya.

Zen menambahkan sikap sok tahu akan membuat langkah kita sempit. Tetapi, tak ada yang salah dengan sikap sok tahu. Yang akan membedakan langkah kita banyak atau tidak adalah kesediaan kita untuk diuji “kesoktahuannya”, bersedia membuka diri pada data-data lain.

Proses kesediaan ini akan menimbulkan dialektik yang berpengaruh pada bertambahnya pengetahuan. Yang lebih bahaya dari membaca satu buku adalah hanya akan melahirkan satu perspektif saja, menyebabkan pandangan tidak lebar. Karena hanya mengetahui satu hal, ibaratnya seperti gelas yang penuh, yang tidak bisa diisi lagi.

Membaca kritis adalah teknik menemukan informasi dalam sebuah teks dengan tepat. Lain halnya dengan berpikir kritis. Berpikir kritis adalah teknik menimbang informasi dan ide untuk memutuskan apa yang hendak diterima atau tidak. Untuk mampu berpikir kritis kita harus melewati tahap membaca kritis terlebih dahulu.

Zen memberikan contoh artikel untuk dibedah. Membaca baik-baik setiap kalimat dan membandingankannya dengan kalimat setelahnya atau sebelumnya. Apakah ada keterkaitan atau keterhubungan.

Zen mengungkapkan masalah terbesar praktik membaca adalah kita tidak pernah menguji pikiran kita sendiri. Kita seolah tak punya waktu, tak memberikan kesempatan pada akal kita untuk mencerna kalimat, berpikir dan mempertanyakannya. Kita cenderung ingin membaca dan menjawab dengan cepat. Inilah gerbang pertama mengapa informasi hoax mudah ditelan begitu saja. Masalah terbesar hoax bukan pada informasinya tetapi pada isi kepala kita sendiri.

Kelas yang dihadiri hampir empat puluh orang ini berjalan begitu khidmat dan serius. Para pembaca yang datang tak menyia-nyiakan kesempatannya untuk belajar. Jika setiap pembaca mampu membaca kritis, ia bukan sekedar melakukan penyaringan untuk dirinya tetapi untuk banyak orang pula. Mengapa? karena setiap pembaca tanpa disadari adalah agen perubahan. Tulisan-tulisan yang kritis dan jernih adalah hasil kerja akal yang sudah teruji dengan proses pembacaan kritis.

Setelah mengikuti workshop membaca kritis Zen RS, saya jadi cukup sungkan menulis. Sepenuhnya saya sadar tidak sering melakukan pembacaan kritis pada setiap kalimat. Begitu juga ketika menulis catatan sederhana ini, saya khawatir jika setiap kalimat yang saya gunakan salah, juga khawatir informasi yang saya sampaikan salah.

Ketika saya meminta seorang kawan yang menjadi salah seorang peserta workshop membaca kritis untuk menuliskan laporannya, ia pun menggeleng pertanda tak sanggup.

Bravo Zen RS..!! Sudah mampu membuat saya dan kawan saya, setidaknya berpikir ulang untuk menulis dengan lebih hati-hati. (gambar dari Instagram BRF)

Editor: Dy Murwaningrum

Foto: Dokumen BRF