Oleh Rena Asyari
….. Jacky”, Martilah njusup kana harigu Jack. “Jacky… […] ulah sieun njeseup kembang nu ragrag kana lahunan! […] Lungas-lengis Martilah njarita teh, panon hurung ku birahi nu teu kalaksanakeun kahajang..[…] “Jacky, kasukaan nu kudu diwudjudken ku urang teh! Keun kuring anu siga seuneu ngentab2 ngarerab djasmani andjeun! Urang suka! Urang Bungah! Hirup mah ngan sakali!” (Marjanah, 101-103)[1].
Teks yang dibuat oleh Suwarsih Djoyopuspito dalam bukunya “Marjanah”, mengisahkan tentang Marjanah yang ingin bercumbu dengan pacarnya Jacky. Marjanah tak malu untuk meminta, ia merasa berhak mendapatkan apa yang diinginkannya. Teks tersebut dibacakan oleh Aquarini Priyatna pada rangkaian acara Bandung Readers Festival. Kamis 5 september lalu. Aquarini membuat suara Suwarsih nyaring kembali.
Dapat kita baca dalam teksnya Marjanah yang dibuat tahun 1959 dengan latar cerita sekitar tahun 1920-1935an, betapa berani dan bebasnya seorang perempuan mengungkapkan isi hati dan keinginannya. Tak ada paksaan, tak ada penghakiman. Perempuan dapat menjadi dirinya sendiri.
Suwarsih, Saadah Alim, S. Rukiah, Sugiarti Siswadi, Ratna Indaswari, Omi Intan Naomi, Maria Ulfah adalah nama-nama yang tenggelam berpuluh-puluh tahun. Karya mereka tak pernah dijadikan perbincangan, tak juga dipublikasikan ulang. Mereka, para perempuan yang menulis kehidupannya, harus rela ketika karya-karya mereka tak pernah diperdengarkan lagi.
Apa yang menarik memperbincangkan karya perempuan masa lampau? Dewi Noviami insiator “Ruang Perempuan dan Tulisan” menganggap penting melibatkan dan memetakan suara perempuan dalam sastra. Tulisan-tulisan perempuan tak sekedar curahan hati tetapi merepresentasikan posisi dan kondisi pada masa tersebut. Ekonomi, politik, agama, adat saat itu, dapat kita baca dari tulisan mereka.
Secara kualitas, tulisan-tulisan perempuan sama bagusnya dengan yang dibuat oleh penulis laki-laki. Perbedaan kesempatanlah yang menjadi penyebab suara-suara perempuan tak berjejak.
Sudah bukan rahasia lagi, keberpihakan pemerintah dan media kolonial, serta pada iklim orde baru membuat suara-suara perempuan seolah tak layak didengar. Pemberangusan besar-besaran gerakan perempuan pada 1965, menjadi salah satu titik dimana suara perempuan dibungkam.
Sebelum kemerdekaan, sikap penerbit mainstream seperti Balai Pustaka yang enggan menerbitkan tulisan-tulisan yang ditulis oleh perempuan menjadi cikal bakal, mengapa para penulis perempuan seolah-olah lumpuh.
Hal ini senada dengan Raden Ayu Lasminingrat, penulis asal Garut yang telah menerbitkan karyanya sejak 1875. Berdasarkan riset yang telah terhimpun, tulisan-tulisan Lasminingrat sukar dicari. Jikalau ada, itu karena berita tentang ayahnya Raden Moehammad Moesa ataupun kakaknya Raden Kartawinata.
Berita tentang Lasmi menyempil hadir diantara keduanya. Tidak pernah berdiri sendiri. Kiprah Lasmi, menjadi tak segemilang kakaknya Raden Kartawinata yang banyak diliput oleh media Hindia Belanda. Padahal, kedua kakak adik tersebut menulis dan berkarya di tempat dan waktu yang sama.
Selain politik dan media, peran agama juga adat cukup berpengaruh pada sunyinya suara perempuan. Aura Asmaradani mengisahkan pencariannya terhadap karya-karya Saadah Alim. Saadah yang lahir di Padang tidak begitu leluasa untuk bersuara. Karya-karyanya sangat banyak, bahkan beberapa kali menulis drama. Tulisan naskah drama saat itu sudah dianggap sebuah lompatan yang besar dalam dunia sastra. Tetapi, sayang sekali naskahnya tidak diapresiasi. Ketidakpercayaan masyarakat pada naskah yang ditulis oleh perempuan membuat naskah-naskah itu mati.
Perlu upaya yang sangat besar untuk menggaungkan kembali suara-suara perempuan di masa lalu. Peran penerbit dianggap berpengaruh dalam mempublikasikan karya-karya perempuan, tanpa harus peduli angka-angka penjualan.
Penulis-penulis perempuan muda populer juga semua perempuan yang menganggap pentingnya teks-teks yang ditulis oleh perempuan, harus mulai turun gunung untuk mau mengisahkan karya-karya pendahulunya. Mengisahkan teks-teks karya perempuan pendahulunya, tanpa perlu mempedulikan dari daerah mana teks-teks itu berasal.
Peran Pemerintah, penerbit dan penulis atau orang-orang yang peduli pada suara perempuan tentu sangat penting. Tanpa mereka, perempuan-perempuan yang pernah berkarya akan mati dibungkam penerusnya sendiri.
Editor: Dy Murwaningrum
Foto: Dokumen BRF
[1] Makalah yang ditulis oleh Aquarini Priyatna untuk diskusi Perempuan Pencipta Narasi, Serambi Salihara, Selasa, 09 April 2013, 19:00 WIB.