Penulis: Devi Damayanti
Riwayat kerajaan-kerajaan lokal yang berkorban banyak dalam proses pembentukan negara merdeka Indonesia, namun ternyata mengalami proses perampasan tanah mereka oleh negara atas nama Land Reform hingga mereka kehilangan bukan hanya kedaulatan tetapi juga kepemilikan ini terjadi di banyak tempat seperti Cirebon, Bali, dan Bone
Para Raja dan Revolusi – Esai-Esai tentang Dewi Ibu dan Geng Motor hingga Persekutuan Orang Tionghoa dan Globalisasi, Yogyakarta: IRCiSoD, 2016
Buku ini adalah kumpulan esai Linda Christanty. Penulis Melayu dari Bangka yang karya-karyanya tentang isu politik, sejarah, sastra, budaya, dan gender telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.
Kecuali sebuah cerita rakyat yang ditulis tahun 2010 lalu, 17 esainya yang lain ditulis pada kurun waktu 2015 hingga 2016. Esai-esai ini ditulis secara terpisah, bukan bersambung dari awal hingga akhir.
Seperti yang disampaikan Linda dalam pengantar bukunya, bahwa kumpulan esai ini adalah upayanya untuk menyatukan mozaik-mozaik sejarah yang terlepas dan terkadang melalui cerita keluarga semuanya dapat dihubungkan, karena setiap kita terhubung dengan perubahan yang terjadi di mana-mana.
Esainya bercerita tentang upaya seorang penulis Belanda mencari jejak neneknya di Indonesia, seorang Nyai di jaman kolonial. Kenyataan yang selama ini ditutup-tutupi oleh pihak keluarganya sendiri. Kesimpulannya, bahwa sejarah keluarga ternyata adalah puing-puing sejarah politik.
Diceritakannya pada essai ke-2 tentang riwayat kerajaan-kerajaan lokal yang berkorban banyak dalam proses pembentukan negara merdeka Indonesia, namun ternyata mengalami proses perampasan tanah oleh negara atas nama Land Reform. Hingga mereka kehilangan bukan hanya kedaulatan tetapi juga kepemilikan. Ini terjadi di banyak tempat seperti Cirebon, Bali, dan Bone.
Menurut Linda sebaiknya negara memberi peran yang pantas pada para pemimpin bekas kerajaan ini untuk berperan serta menjaga negara dan bukannya membiarkan benih-benh ketidakpuasan ini meledak.
Esai yang berjudul Ironi dalam Perjuangan, mengungkapkan sejarah keluarga Kertalegawa, Wiranatakusumah, dan Sultan Nurus dalam proses integrasi Jawa Barat ke dalam Republik Indonesia. Sempat diwarnai dengan pendirian Negara Pasundan dan Negara Cirebon hingga Keraton Kanoman diobark-abrik pasukan RI, lalu cerita tentang pengungsian Divisi Siliawangi ke Yogyakarta.
Bagaimana kini sesungguhnya Sunda adalah suku bangsa yang mengalami banyak diskriminasi dan peminggiran dalam sejarah Indonesia hingga nama harimau Sunda dan badak Sunda dalam bahasa Latin pun berganti terjemahnnya menjadi harimau Jawa dan Badak Jawa.
Kolonel FFJ. Manusama adalah nama yang terlupakan dalam sejarah, padahal beliau yang berjasa mempertahankan karesidenan Bangka-Belitung agar tidak jatuh ke musuh-musuh RI. Tanpa Kolonel Manusama, bisa jadi saat ini Bangka-Belitung adalah sebuah negara sendiri semacam Singapura yang berada di tengah Selat Malaka karena orang-orang Cina di sana ingin merdeka dan membuat negara sendiri.
Keluarga Linda yang mengingat peran beliau, sebab kakek mereka adalah pejuang perintis kemerdekaan RI di Bangka. Kakek bertempur bersama Opa Manusama. Demikian mereka menyebut Sang Kolonel.
Dalam esai berjudul Hantu dan Revolusi, Linda mengungkapkan kekecewaannya. Bahwa Husnial Abdullah, anak buah Opa yang sangat rendah pangkat keprajuritannya malah menulis bahwa Kolonel Manusama mengumpulkan dukun, hingga akhirnya tidak ada satupun penghargaan baginya di seluruh Bangka Belitung.
Menurut Linda, Opa Manusama sebagai tentara professional dengan banyak pengalaman pertempuran, memiliki keccerdasan sosial dan intelektual. Ia dapat memanfaatkan potensi kekuatan rakyat Bangka yang (saat itu) familiar dengan hal-hal supranatural, dengan TKR sebagai inti. Inilah yang disalahmengerti oleh orang-orang yang berpikiran picik (hlm. 107).
Pada Desember 1949 Bangka Belitung diserahkan oleh Kerajaan Belanda pada pemerintah RI dan integrasi Melayu dengan Tionghoa juga bisa berjalan baik, sedangkan Opa Manusama sendiri gugur dalam peristiwa salah tembak sebelum penyerahan itu terjadi.
Masih ada dua esai lagi tentang kisah keluarga besarnya di Bangka di samping esai tentang kekerasan seksual, kejahatan, terorisme, imigran, dsb. Esai terakhir dalam buku ini adalah pengalaman yang langsung berelasi dengan seorang teman yang berada di wilayah konflik Timur Tengah. Untungnya teman itu selamat dari bom sehingga Linda tidak perlu melihat temannya itu meledak berkeping-keping di layar laptopnya ketika mereka sedang mengobrol via internet.
Tidak mengherankan bila tulisan-tulisan Linda dipublikasikan dan dipuji di luar negeri, karena dia menulis dengan lugas. Tulisan yang mengaduk emosi pembaca. Di beberapa peristiwa, dia menunjukkan keberpihakannya, sebab memang seorang penulis tidak harus netral. Dia tidak menghakimi, hanya mengungkapkan apa adanya tentang sesuatu yang ia tahu, yang pernah terjadi.
Profil penulis
Devi Damayanti seorang pekerja sosial dari Abhirama Semesta Consulting Group yang sedang mendampingi proses pemberdayaan masyarakat di Allung, Pulau Pantar, Kabupaten Alor, NTT.