Oleh : Devi Damayanti

 

Benedict Anderson, Hidup di Luar Tempurung, Tangerang: Marjin Kiri, 2016, penerjemah Ronny Agustinus (Benedict Anderson, Life Beyond Boundaries, London: Verso Books, 2016)

Ariel Heryanto, dosen di Monash Australia, beberapa kali mencuit di akun Twitter-nya @ariel_heryanto tentang Ben Anderson dan menampilkan foto surat-surat pribadi mereka. Tanggal 24 Desember 2019 misalnya, dia menampilkan surat ketikan Ben padanya bertanggal 14 Mei 1989. Bertuliskan “Mang Ariel nyang baek, sorry yah, suratmu lama sekali nongkrongnya di atas meja. Sampainya pas pada waktu gue siap2mau berangkat ke Bangkok dan Manila. …… “Anyway, sekian dulu yah, gue masih jetlag bener. Tolong sampaikan salam pada si Herb, si Farncis, dan bandit2 lain di Monash. wassalam, Ben.”

Ben Anderson pernah menuliskan pengantar untuk buku Memoar Kwee Thian Tjing – Menjadi Tjamboek Berdoeri (terbitan Komunitas Bambu 2011) yang disuntingnya bersama Arief W. Djati. Dia menulis dalam Bahasa Indonesia djadoel yang dikenalnya, bukan Bahasa Indonesia sesuai EYD. Ciri khas Ben adalah tidak mau menggunakan tanda hubung untuk kata-kata yang diulang melainkan selalu menggunakan angka 2, sebagai tanda bahwa itu adalah kata ulang.

Dalam bukunya sendiri, Hidup di Luar Tempurung, penerjemah bukunya, Ronny A, menampilkan catatan tentang proses penulisan otobiografi ini yang diawali dengan surat dari Ben sendiri padanya di tahun 2008, “Achir2 ini, Omben sudah rampungkan naskah ttg Pengalaman Sebagai Sardjana Ngawur — ttg ortu, ttg SD SMP-A, Unisex Cambridge, Cornell, fieldwork di Indonesia, Muang Thai, Filipina, dllnja plus beberapa ‘renungan’ konjol tentang Perbandingan2 dan Karya Interdisiplin, ditambah tjerita ttg hobi2 semasa pensiun. Diarahkan kepada pemuda Djepang, dan sedang diterdjemahkan ke dlm bhs Djepang oleh kawan lama. Belum tentu nanti ada versi Inggrisnja.”

Ben Anderson adalah seorang Indonesianis yang terkenal. Namanya seringkali disebut dalam pembahasan tentang Indonesia, sebagaimana nama Clifford Geertz biasanya disebut dalam pembahasan soal Jawa. Ben berada di Indonesia hanya tahun 1962-1964 untuk praktek lapangan, dalam  pencekalannya untuk masuk Indonesia oleh Orde Baru pada 1972 hingga 1998 membuat Ben mengamati Indonesia dari jauh namun dia tetap mengasuh jurnal Indonesia di Universitas Cornell tempat dia mengajar hingga pensiun.

Dalam bukunya ini Ben menceritakan asal-usulnya sebagai keturunan Irlandia-Inggris yang ayahnya maupun dirinya lahir di Asia karena penugasan kakek dan ayahnya. Kemudian dia bersekolah di Amerika dan Irlandia lalu ke Inggris untuk SMA di Eton dan kuliah di Cambridge, keduanya dengan beasiswa. Ben menceritakan bahwa angkatannya adalah yang terakhir mendapatkan pendidikan klasik dengan begitu banyak sastra Latin dan bahasa Perancis serta Jerman tapi dia amat mensyukurinya karena sangat memudahkan untuk pelajarannya di kemudian hari. Dia lanjut ke Cornell di Amerika Serikat yang saat itu mulai mengembangkan pusat studi Asia Tenggara di bawah bimbingan Professor George Cahin dan belajar bahasa Indonesia dari Claire Holt dan John Echols, nama terakhir ini terkenal sebagai penyusun kamus Inggris-Indonesia.

Karena tidak bisa ke Indonesia di masa Orba, Ben melakukan penelitian di Muang Thai dan Filipina. Ben juga menulis Imagined Communities, sebuah buku teks yang disusunnya untuk menyasar pembaca Inggris tentang pembentukan kapitalisme abad 15 hingga gerakan anti kolonial pertengahan abad 20 dan The Idea of Power in Javanese Culture yang merangkum tiga abad sejarah Jawa. Diakui Ben, bahwa setelah masa pensiunnya dia menulis Under Three Flags: Anarchism and the Anti-colonial Imagination dengan cara yang berbeda sebab hanya membahas peristiwa dalam empat dasawarsa sehingga membutuhkan struktur narasi jenis baru.

Dalam bab Interdisipliner Ben bercerita tentang model pendidikan Amerika yang menurutnya sangat disipliner pada satu bidang tertentu dan menyiapkan mahasiswa menjadi professional di bidangnya tanpa tahu yang lain. Setelah mengajar di Cornell sejak 1967, pada 1996 Ben mulai memasuki persiapan pensiun yang dia nikmati di Asia Tenggara sehingga bisa menemukan kesukaannya akan film. Selain mengulas perfilman Thai dan mencari buku tua, Ben juga melacak naskah yang kemudian dieditnya dengan judul Menjadi Tjamboek Berdoeri. Buku tersebut dianggapnya sebagai mahakarya dari sebuah naskah polyglot yang ditulis seorang jurnalis Cina Peranakan, tak hanya itu Ben pun menerjemahkan naskah novel Eka Kurniawan yang disukainya. Bagaimanapun, sebagai seorang yang telah tua, bisa dipahami bila Ben mengkritik budaya Google yang telah menghilangkan kecintaan orang muda pada buku dan perpustakaan.

Membaca otobiografi Ben Anderson, kita diajak untuk mengikuti petualangannya, menyelami pemikirannya, dan merasakan cintanya yang tidak pupus pada Indonesia.

 

Profil penulis

Devi Damayanti seorang pekerja sosial dari Abhirama Semesta Consulting Group yang sedang mendampingi proses pemberdayaan masyarakat di Allung, Pulau Pantar, Kabupaten Alor, NTT.