Oleh : Devi Damayanti
Beberapa waktu lalu Jeihan meninggal dunia namun karyanya tetap diingat orang. Sebagai seorang anak kelas 2 SMP di akhir dasawarsa 1990-an, saya membaca sajak Sutardji Calzoum Bachri yang ada dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia. Sajak Sutardji itu saya tidak ingat sama sekali.
Di saat yang sama guru seni rupa bercerita tentang pelukis Jeihan yang katanya terkenal karena melukis sosok perempuan dengan mata berwarna hitam. Tak lama, saya menemukan sajak Jeihan dalam koran dan saya membacanya dengan penuh minat lalu saya ingat. Sajak itu tercantum dalam lampiran buku Jakob Sumardjo, Jeihan: Bukuku Kubuku – Sajak Filsafat terbitan Jeihan Institute, berjudul Sutardji yang ternyata ditulis 1974.
Jakob menelaah puisi-puisi Jeihan, memberinya komentar dari refleksinya sendiri agar kita dapat memahami bahwa puisi Jeihan sesungguhnya filosofis dan esensil. Dalam esai nomor satunya di buku ini Jakob Sumardjo menjelaskan tentang empat periode sastra Indonesia dan bahwa Jeihan ada dalam periode keempat ini setelah periode Charil Anwar dan Sutardji yang disebut fase Mbeling pada tahun 1970-an. “Puisi Mbelingnya adalah puisi maido (tak percaya). Sangat individualis, sangat subatomik, sehingga menukik sampai sumber kata bahkan abjad pembentuk kata. Akibatnya sangat abstrak alias kosong. Namun dalam ungkapan Jawa dan Sunda, justru Kosong itulah sumber segala Isi.”(hlm.4)
Berulang-ulang Jakob menjelaskan bahwa kepercayaan Baduy pada mulanya hanya ada awang-awang uwung-uwung alias kekosongan mutlak lalu dari Kosong itu muncul tiga dewa yang mewakili Kehendak, Pikiran, dan Kekuatan atau Will, Mind, Power alias Tekad, Ucap, Lampah. “Suatu benda ciptaan yang muncul dari kehendak dan pemikiran bisa bermakna tertentu menurut penciptanya, tetapi kadang makna itu juga tidak disadari oleh penciptanya.
Ia hanya tergerak untuk membuat sesuatu yang sesuai dengan nuraninya, kata hatinya, intuisinya. Dan perbuatan demikian inilah yang sering menghasilkan karya yang maknanya di luar dugaan penciptanya sendiri. (hlm.9). Jeihan sendiri mengatakan “Nilai seseorang ditentukan oleh cara berpikir dan hasil kerjanya.”
18 puisi Jeihan dibahas Jakob dalam buku yang terdiri dari 12 esai pendek ini. Dalam esai nomor 10, Jakob membahas perbedaan Jeihan muda yang menulis puisinya Nasihat tahun 1970-an dengan Jeihan tua yang menulis puisinya Kita Kita pada 1997. “Pada masa mudanya masih tersirat kesombongan dalam meledek orang.
Dia bisa memberi nasihat demkian karena dirinya berani menentang matahari dengan mata telanjang dan menendang batu besar. Untung dia menjadi pelukis, bukan penulis. Dalam percakapan saja sering mendebat, apalagi kalau dia tuliskan dalam penjelasan panjang. Nasakit! Itulah kata akhir dia. Tahun 1974 lewat puisnya Kembali, Jeihan seolah bertanya hidup ini isinya penderitaan dan kesengsaraan melulu, masalah melulu.
Hidup untuk apa? Untuk siapa? Setelah sukses sebagi pelukis, Jeihan mencapai tahap keseimbangannya. Ia sudah sampai di pelabuhan hidupnya yang tenang. Ia merenungi eksistensi manusia. Siapa dan dari mana asal kita? Jawaban Jeihan juga: jagalah keseimbangan.
Dalam esai nomor 11 Jakob membahas soal kebenaran tiga dimensi dan empat dimensi, mengambil contoh lewat dialektika Einstein dan Bohr. Alam empat dimensi adalah “kita kita” (sesuai judul puisi Jeihan yang dibahas di esai sebelumnya). Manusia tidak dengan sendirinya sampai pada alam itu. Di Indonesia alam empat dimensi dicapai dengan laku rohani. (hlm 75).
Dalam esai terakhir Jakob mengulas puisi Jeihan tahun 1974 Mata. “Kelihatannya seperti puisi main-main belaka. Sangat sederhana dan tidak bermakna. Memang itulah maksudnya bahwa ZAMAN KITA adalah ZAMAN GILA. Memandang hidup di alam kita yang tiga dimensi ini sering salah pandang dan kacau. Sesuat yang berada di luar diri kita tidak kita lihat seperti adanya sesuatu itu, tetapi seperti yang kita lihat, kia imajinasikan, kita pikirkan. Mata kita melihat segala sesuatu berdasarkan pemikiran kita. Mata setiap orang berbeda dalam memandang sesuatu.” (hlm 78)
Jeihan dari esai-esai Jakob ini dapat digambarkan sebagai seorang yang lebih suka merenung sendiri daripada membaca lalu mengeluarkan ide-idenya yang dia yakini dan menantang orang lain membuktikan benar salah pendapatnya tapi dia senang berdebat untuk bersikeras dengan pendapatnya.
Diperlukan seorang guru besar untuk menginterpretasi puisi-puisi Jeihan dan profesor itu memang seserang yang mengenal Jeihan dengan baik hingga bisa menjabarkan maksud filsafatnya lewat pemahaman mendalam dari segala sisi matematika, fisika, seni, dan budaya. Prof. Jakob Sumardjo memang yang paling tepat untuk mengulas sajak Jeihan.
Profil penulis
Devi Damayanti seorang pekerja sosial dari Abhirama Semesta Consulting Group yang sedang mendampingi proses pemberdayaan masyarakat di Allung, Pulau Pantar, Kabupaten Alor, NTT.