Oleh : Rena Asyari
“Buku ini dipersembahkan untuk siapapun yang mencintai buku” kalimat di kata pengantar ini tak berlebihan. Pohon Buku di Bandung karya Deni Rahman memang berhasil mendokumentasikan jejak literasi di Bandung dalam kurun waktu 2000-2009 dengan apik.
Buku setebal 120 halaman ini, memotret dengan detail setiap peristiwa literasi yang terjadi. Tak dapat dipungkiri Bandung dan buku mempunyai sejarah yang panjang. Penulis mengawalinya dengan menggali jejak intelektual Soekarno semasa sekolah dan melakukan perjuangannya di Bandung. Menurutnya, Soekarno muda tentu dipengaruhi oleh buku-buku yang ia dapat mungkin saja di Toko Buku van Dorp, Toko Buku M. I Prawirawinata, Vorkink, dan Visse yang terletak di Bragaweg, Oud Hospitalweg (sekarang jalan Lembong), dan Grote Postweg Oost (sekarang bernama Asia-Afrika).
Penulis tak main-main mencatat perjalanan buku di Bandung, ada sekitar 63 daftar toko buku yang berdiri di Bandung tahun 1954 tetapi sayang, toko-toko yang mengalami masa kejayannya pada pertengahan abad 20 itu harus berakhir dan digantikan dengan wajah-wajah pemilik toko buku baru di awal 2000an.
Dalam masa sulit dengan krisis dan daya beli masyarakat yang menurun, buku sebagai komoditas nyatanya menjadi harapan bagi 73 toko buku yang berdiri di era 2000-2009. Cikapundung, Palasari, Dewi Sartika, Pasar Cihapit, Pasar Cicadas, Pasar Cihaurgeulis adalah daerah kantung-kantung buku yang dapat kita jumpai hingga hari ini.
Dengan konsep yang lebih modern, toko buku tidak berfungsi sebagai pertemuan penjual dan pembeli saja, lebih dari sekedar transaksi, toko buku menjadi tempat berkumpul, berkegiatan, berdiskusi dan melahirkan ide-ide yang segar.
Sebut saja Awi Apus, Bacabaca Bookmart, Cupumanik, Das Mutterland, Easy Read, Griya Seni Popo Iskandar, IFVenue, Jendela Seni, Manesee, Pustakalana, Reading Lights, Ultimus, Tobucil, Rumah Buku/Kineruku, dan Omuniuum adalah toko buku alternatif yang berbasis komunitas baca tulis dan diskusi.
Tidak hanya toko buku yang menitipkan jejak literasinya di Bandung, beberapa anak muda menghidupkan literasi di Bandung dengan mendirikan penerbitan dan menggelar pameran buku. Kecintaan mereka pada buku tua membuat buku menjadi barang yang sangat berharga, antik, mewah dan layak di cari. Hingga hari ini setiap tahun tak kurang dari dua kali pameran buku di gelar di Landmark Braga, hal ini tak lepas dari peran Dadi Pakar sebagai penggagas pameran buku IKAPI pertama di Bandung. Tak jarang pameran buku tersebut mendulang keuntungan yang lumayan berkat strategi pemasaran yang tepat.
Literasi di Bandung tak luput dari jasa orang-orang yang membesarkannya, sebut saja sosok Haryoto Kunto, Ajip Rosidi, Sudarsono Katam adalah segelintir dari banyak individu lainnya yang berjuang membangun cerita tentang Bandung.
Pohon Buku di Bandung, bagi saya bukan sekedar buku yang merangkum informasi tentang jejak literasi di Bandung tahun 2000-2009, tapi lebih dari itu, buku ini berhasil mengapresiasi setiap sosok yang berjuang membesarkan Bandung dengan literasi.