Oleh : Venny Tania
Perempuan cantik dan lelaki ganteng bermesraan di layar kaca terasa lebih menghibur dan memuaskan mata. Jujur deh, siapa yang mau menonton film yang pemerannya tak menarik, ceritanya bikin pusing (hidupmu kurang pusing?), dan alih-alih khayalan melayang tinggi, malah tertular kesedihan atau penyesalan?
Film sebagai media kebudayaan dan peradaban hasil perkawinan seni dan teknologi, dengan cerdas merasuki dan mempengaruhi pikiran manusia melalui runtutan montase dan suara. Jika film romantis bisa melambungkan khayalan, film eksploitasi memabukkan mata atau membuai pikiran, dan film komedi memancing Anda menertawakan kekurangan orang lain, itu karena ada tujuan besar di baliknya.
Respons bisa berbeda, namun selera massal cukup mudah dikendalikan oleh kepentingan. “Tidak ada seni yang bisa melintasi kesadaran kita seperti sebuah film, yang langsung merasuk ke perasaan manusia, menuju ruang gelap terdalam jiwa-jiwa kita,” kata sutradara legendaris Ingmar Bergman.
Sensor adalah wujud cengkeraman kekuasaan melalui film. Kekuatan sensor bisa membuat banyak orang melupakan sejarah, menyangkal kenyataan, bertindak di luar kebiasaan, dan menunduk serendahnya. Tanya saja pada Hitler, Stalin, Mussolini, Mao, Park Chung-hee, Kim Il Sung, Idi Amin, Pol Pot, hingga presiden ke-2 kita, Soeharto.
Nah, Indonesia memang ikut menyumbang nama diktator dunia versi beberapa media. Dan untuk generasi baby boomers, X, hingga Y Indonesia yang mengalami era pemerintahan Orde Baru dengan senjata sensor di berbagai produk audio visual, selamat. Selera dan pola pikir Anda kebanyakan adalah hasil bentukan dan rancangan politis besar pemerintahan saat itu.
Sejarawan Prancis, Pierre Bourdieu, berpendapat bahwa selera individu ditempa oleh aspek-aspek tertentu dari praktek-praktek sosial dan posisi (atau kelas) seseorang dalam masyarakat. Tak ada selera yang terbentuk alami tanpa campur tangan kondisi sosial, politik, geografis, dan jaman. Film membentuk selera sekaligus pola pikir masyarakat kebanyakan. Jika pemegang kekuasaan ingin masyarakat terninabobokan dan melupakan kemiskinan, penindasan, kegagalan, dan kejatuhan, maka jadilah demikian.
Kungkungan sensor dan berbagai keterbatasan membuat kritik untuk pemerintah atau menggugat ketidakadilan harus sesubtil mungkin sejak era 1970-an. Trio Warkop atau Benyamin S, juga sutradara Arifin C. Noer, Nya Abbas Akup, Sjumandjaja, menyisipkan pesan maupun membuat satir soal korupsi, kesetaraan gender, ketimpangan sosial, dan lain-lain.
Semuanya berhadapan dengan gunting sensor dari Departemen Penerangan sebelum 1998. Adegan dipangkas, skrip diubah, kru diganti, dan pengalihan isu dengan adegan panas kerap terjadi dalam era represi. Tidak heran awal 90-an nyaris terjadi kekosongan daya kreasi maupun perlawanan melalui film di Indonesia.
Menyuarakan realitas, menuangkan protes, dan menyajikan cermin sosial untuk membangunkan kesadaran kolektif melalui film bisa disebut sebagai bagian dari gerakan neorealisme. Neorealisme lahir di Italia pasca fasisme. Sineas Roberto Rosselini, Luscino Visconti, dan Vittorio De Sica meski tak resmi mendeklarasikan, namun sejiwa membawa kenyataan dan kejujuran ke atas pita seluloid. Karya mereka sejatinya mirip dengan dokumenter.
Ciri-cirinya: jarang memakai aktor/aktris bintang (lebih memilih orang awam atau pemain tak populer namun mewakili karakter yang diinginkan sutradara). Lalu pengambilan gambar di lokasi alami dan memakai kamera sederhana berkesan serealistis mungkin. Ada sudut-sudut kota dengan kekumuhan, rumah sempit, becek, kaum pekerja dan terpinggirkan. Bergulat dengan sewa rumah, pekerjaan, ketidakadilan, kelesuan, kebingungan di tengah kota-kota Italia yang hancur setelah perang.
Roh auter neorealis menyusup pada Ken Loach (sutradara Inggris) yang gemar mengangkat kisah kaum marjinal dengan kemiskinan, kekalahan, dan keterbatasan ruang gerak. Narkotika dan kriminalitas langganan mengisi film-film Loach. Lepas dari revolusi kebudayaan penuh propaganda, generasi ke-6 pembuat film Tiongkok juga mengangkat suara generasinya berhadapan dengan modernisasi, keterpinggiran, dan kemarahan.
Begitulah, neorealisme adalah kemasan untuk membungkus kenyataan yang berat dan tak elok agar jika dinikmati terasa getir, pahit, dan asamnya. Wajar, tidak banyak penggemar film-film demikian. Tapi berterimakasihlah pada mereka yang keluar zona nyaman dan berkontribusi memotret kebenaran, mencoba menahan arus pembodohan. Mereka menopang puing-puing peradaban agar bergerak maju, dimulai dari pemikiran individunya.
Ketika era 90-an mayoritas bioskop diisi film-film berisi ‘gairah’, ‘ranjang’, dan ‘panas’, masih ada suara berbeda. Krisis ekonomi Asia, perubahan dunia setelah perang dingin mempengaruhi Indonesia. Garin Nugroho merasakan kegelisahan di atas ilusi keberhasilan pembangunan.
Saat milenials baru mulai merangkak di kasur, Garin lulus dari IKJ dan membidani film Cinta Dalam Sepotong Roti (1991). Kritikus Seno Gumira Ajidarma menyebut ini sebagai tonggak langkah Generasi Sekolah Film [1]. Garin dan generasinya seperti Riri Riza memahami aspek teknis sinematik lebih serius dan memberi pengaruh berbeda.
Garin membuat film dokumenter Air dan Romi (1993) dan Surat Untuk Bidadari (1993). Lalu menggarap Daun Di Atas Bantal (1997) berdasarkan dokumenter Dongeng Kancil Untuk Kemerdekaan miliknya. Daun di Atas Bantal membawa anak-anak jalanan Yogyakarta betulan berakting. Tragis dan kerasnya jalanan tampil minim polesan dengan narasi besar mengenai kemiskinan, lindasan aparat, kesenjangan sosial, dan buruknya perlindungan anak di kota besar.
Sutradara kelahiran Yogyakarta ini akrab dengan tekanan. Tidak mendapat ijin hingga sembunyi-sembunyi mengirimkan film ke festival di luar sudah dilakoninya. Garin mengestafetkan tongkat realisme dengan menginisiasi ruang berkarya sineas muda dalam negeri seperti Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) hingga LA Indie Film. Dari lingkaran keluarganya juga lahir bibit generasi baru neorealisme Indonesia.
Film seperti Siti (karya Eddie Cahyono, 2016) hadir di bioskop setelah mendapat apresiasi di festival dunia. Siti mengisahkan perempuan pemandu karaoke dan penjual makanan di Parangtritis di tengah kemiskinan, jeratan hutang, disabilitas keluarga, dan represi aparat. Eddie Cahyono bersama rekan-rekan seperti Ifa Isfansyah (filmaker Sang Penari dan produser Siti), Kamila Andini (putri Garin dan istri Ifa) membentuk komunitas Fourcolors Film.
Beberapa kota di Indonesia beruntung menyaksikan film Turah (2016), dari Wicaksono Wisnu yang juga tergabung dalam Fourcolors. Film penerima berbagai penghargaan internasional ini bercerita tentang kehidupan di Tegal yaitu Kampung Tirang (betul-betul ada). Wisnu memperlihatkan kehidupan sederhana tanpa listrik dan dimonopoli pengusaha serakah dengan bawahan penjilat, namun terindikasi masyarakatnya mengalami Stockholm Syndrome, dimana mereka tidak merasa ingin mengubah situasi.
Penggabungan tradisi lokal dengan sejarah dilakukan oleh BW Purwanegara melalui Ziarah (2016), dengan karakter utama seorang nenek yang mencari makam suaminya di era perang kemerdekaan. Kamila Andini mengolah tema kesetaraan gender dan poligami melalui film pendek Sendiri Diana Sendiri (2015), juga dokumenter Memoria (2015) tentang korban perang sipil Timor Leste.
Setelah reformasi pertarungan terutama soal jatah ruang pemutaran film. Beruntung banyak komunitas bergerak di akar rumput, didukung keterbukaan investasi maupun eksibisi dari lembaga kebudayaan asing. Ada harapan bagi oase realisme melawan gosip, berita palsu, hingga delusi kemewahan semu.
Indonesia punya banyak catatan dan kebutuhan rekonsiliasi sejak kemerdekaan. Idealisme dan perjuangan melawan penindasan belum dapat meraih perhatian penonton awam (yang jumlahnya jutaan namun hanya nonton film-film beranimo besar).
Namun berangkat 12 tahun ke depan sejak 2018, kelihatannya perfilman Indonesia sudah meninggalkan jejak lebih panjang dan berani menjadi autokritik, revolusi cara berpikir, membangun tradisi berekspresi (dengan tidak hanya berorientasi pada jumlah penonton), juga lebih banyak variasi kreatif yang mampu mengajak masyarakat merangkul keragaman pemikiran. Anda pilih bangun dan mulai melawan, atau pasrah mengikuti selera pasar saja?*
[1] Krisis dan Paradoks Film Indonesia, Garin Nugroho dan Dyna Herlina, Penerbit Kompas, 2015.
tulisan ini pernah dimuat di ri2030.com
terima kasih atas artikel anda, ini menydarkan saya tentang hal yang lumrah tapi terlalu sulit untuk menghadapinya. semoga seratpena semakin maju lagi kedepannya.
SukaSuka