Oleh : Rena Asyari

 

Hampir saja buku berjudul Door Duisternis Tot Licht terjatuh dari tangannya. Turbulensi pesawat membuat Sinta berkali-kali menegakkan duduknya, ia harus sabar setidaknya lima jam lagi untuk mendarat di Bandara Amsterdam.

Sinta kembali mengingat rentetan peristiwa yang menguras emosi. Ia tak pernah menduga ibunya menjadi salah satu dari sekian banyak TKW ilegal yang pulang tanpa nyawa.

Lima tahun lalu, dengan alasan ekonomi ibunya meninggalkan seluruh kehidupannya di tanah air. Pergi ke Suriah. Negeri dengan konflik agama yang tak kunjung usai.

Dua tahun berlangsung tanpa kabar, membuat Sinta tak banyak berharap, hingga ia mendapati kenyataan bahwa ibunya mengalami kekerasan dari majikannya.

Mayat ibunya datang dengan banyak luka lebam di sekujur tubuh, tepatnya 2015 lalu. Seluruh impian ibunya untuk dapat hidup lebih baik, ikut terkubur dalam tempurung kepalanya yang lembek karena berkali-kali terkena hantaman benda tumpul.

Para pejabat desa memenuhi rumahnya yang sempit di sebuah desa kecil di Jawa Barat. Kakaknya, Sumiyati datang tergopoh-gopoh. Tangisnya pecah ketika melihat mayat ibunya. Sumiyati susah payah meminta izin kepada kepala pabrik tempat ia bekerja untuk cuti satu hari, karena ingin melihat ibunya di kali terakhir.

Sumiyati menjadi bagian dari ratusan ribu perempuan yang menggantungkan harapan di pabrik. Sumiyati tak pernah tahu kapan ia harus mengakhiri seluruh ritme hidupnya yang monoton.

Kerja delapan jam dengan satu posisi, yaitu mencabuti benang dari pakaian-pakaian setengah jadi. Aktivitas yang telah dilakoninya empat tahun terakhir. Ia dan teman-temannya kadang bertekad untuk keluar dari pabrik, tetapi selalu saja niat itu urung. Entah karena kebutuhan atau karena tiadanya pilihan.

Kebebasan yang didengung-dengungkan di gedung-gedung parlemen tak pernah berlaku untuk orang-orang macam Sumiyati. 21 April yang ditandai dengan gegap gempita atas bangkitnya hak-hak perempuan tak benar-benar ia nikmati. Ia dan ribuan temannya masih saja menjadi buruh, menghamba, harus seragam dan tak pernah mendapat ruang untuk bertanya.

Sinta menghela nafas panjang. Dua orang perempuan terdekatnya hidup penuh ketidakadilan. Ia kembali membuka buku Door Duisternis Tot Licht, kumpulan surat-surat gadis Jawa di penghujung abad ke-19.

Panggil aku Kartini saja begitulah gadis Jawa itu mengenalkan namanya. Seratus sembilan tahun lalu, untuk pertama kalinya pemikiran dan kegelisahan perempuan muda asal Jepara itu terdokumentasi.

Dalam suratnya tertanggal 25 Mei 1899 yang ditujukan kepada karibnya E.H Zeehandelaar, ia menulis: Sejak saya masih kanak-kanak, kata “emansipasi” belum ada bunyinya, belum ada artinya bagi telinga saya, dan tulisan serta karangan mengenai hal itu jauh dari jangkauan saya, timbul dalam diri saya keinginan yang makin lama menjadi makin kuat, yaitu keinginan akan kebebasan, kemerdekaan, berdiri sendiri”.

Kartini berumur dua puluh tahun kala itu. Hari-harinya dipenuhi dengan membaca dan menyimpan banyak pertanyaan. Budaya dan lingkungannya masih sangat feodal. Ia heran mengapa kakaknya Raden Mas Sosrokartono boleh bersekolah, sedangkan ia dan dua adik perempuannya harus dipingit. Mengapa pula berjalan harus dengan berjinjit dan menggunakan bahasa Jawa kromo inggil kepada yang lebih tua darinya.

Suratnya kepada Stella 18 Agustus 1899 mempertanyakan tentang etiket Jawa yang menurutnya tidak masuk akal tersebut. “…. akan kami ceritakan beberapa kisah nyata. Adik saya tidak boleh mendahului saya, kecuali dengan merangkak di tanah. Kalau adik duduk di kursi dan saya lewat, maka ia harus segera turun dan duduk di bawah dengan kepala tunduk, sampai saya jauh melewatinya….. Sinta bergidik membayangkan kehidupan Kartini. Tiba-tiba ia merasa beruntung.

Selain memperjuangkan kemerdekaan dan kesetaraan, Kartini pun ingin anak-anak perempuan Bumiputera mendapatkan pengajaran. Suratnya tertanggal 19 april 1903 untuk pemerintah Hindia Belanda terdengar sangat lantang, “Perempuan sebagai pendukung peradaban, juga di tanah matahari!” Perempuan Jawa harus dididik, harus diberi pelajaran, harus turut serta dalam pekerjaan raksasa: “pendidikan bangsa yang berjuta-juta!”.

Betapa besarnya perhatian Kartini pada pendidikan perempuan. Di suratnya yang lain tak luput ia menceritakan kegembiraanya tentang berdirinya sekolah Belanda swasta di pedalaman Priangan. Sekolah bersubsidi khusus untuk anak-anak bangsawan Bumiputera dan mempunyai murid gadis berjumlah dua puluh orang.

Ada bulir bening di sudut matanya, Sinta berterima kasih pada Kartini. Ia sudah tiga tahun mendapat beasiswa sekolah di Universitas Leiden, Belanda. Sinta teringat Kartini yang mengantongi surat lulus permohonan beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda. Mengingat ayahnya Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara sudah memasuki usia senja dan sakit-sakitan, Kartini pun urung pergi.

Kartini dihantarkan pada pilihan untuk mewujudkan mimpinya bersekolah atau memenuhi baktinya pada orang tua di ujung waktunya. Kartini pun menyerahkan surat beasiswa itu kepada karibnya Agus Salim, seorang yang sangat cerdas.

Sejak surat-suratnya dikumpulkan dan diterbitkan tahun 1911 oleh Mr. J. H. Abendanon, suara-suara Kartini tak lagi membisu dalam kertas. Raganya boleh berumur pendek tetapi semangat dan pemikirannya terus hidup, menginspirasi setiap perempuan.

Kartini tak sendiri. Di lain tempat, beratus mill jarak darinya, dengan suara yang hampir tak terdengar ke pelosok negeri. Lasminingrat yang tinggal di Garut pun sudah berbicara tentang kesetaraan dan kebebasan di tahun 1875. Bukunya Hikayat Erman dan Warnasari menjadi tumpahan pemikirannya.

Langkahnya disusul Dewi Sartika tahun 1904 dengan mendirikan Sakola Istri di Bandung. Sekolah yang diperuntukkan untuk perempuan, agar perempuan mempunyai ragam keahlian, seperti menjahit, memasak, memotong rambut dan lainnya.

Di Bandung pula, Emma Poeradireja tahun 1927 mendirikan Dameskring. Organisasi yang diperuntukkan bagi perempuan muda terpelajar yang berasal dari beragam suku bangsa.

Emma juga menjadi salah satu dari tiga perempuan yang mengikuti Kongres Pemuda II tahun 1928. Nama Emma Poeradireja kini dikenal sebagai salah satu Rumah Sakit Bersalin di Bandung yang terletak di jalan Sumatera.

Melalui buku-bukunya Soewarsih Djojopuspito pun turut andil memberikan pandangan yang terbuka tentang bagaimana perempuan harus menghargai dirinya sendiri. Buku Soewarsih berjudul “Manusia Bebas” yang ditulisnya tahun 1939, berhasil memotret pergolakan batin perempuan di kala itu.

Sinta mendengar kiprah Lasminingrat, Kartini, Dewi Sartika, Emma Poeradiredja dan Soewarsih dari dosennya di Leiden. Mereka adalah sedikit dari banyak perempuan yang berjuang untuk memerdekaan dirinya. Pergerakan mereka tak main-main. Perempuan Indonesia hari ini, tinggal menikmati perjuangannya.

Mereka adalah para pelopor yang telah memberikan jalan sekaligus pilihan. Akankah kita terus bergerak menuju peradaban yang lebih baik dengan cara menghargai diri sendiri dan sesama? Memilih berdiam diri, abai dan cenderung bersembunyi dari ketidakadilan? Atau, malah beradu mulut yang tak kunjung henti dan menghakimi sesama perempuan?

Tak terasa, pesawat yang ditumpangi Sinta hampir mendarat di Bandara Amsterdam. Kenangan akan ibunya ia simpan rapat-rapat. Ia melihat layar smartphonenya, 21 April 2018. Udara sejuk mulai menyapa, bunga-bunga tulip yang bermekaran nampak dari kejauhan.*

Tulisan ini pernah di muat di http://www.ri2030.com

Iklan