Oleh : Venny Tania
Wabah corona merayap, seluruh dunia melakukan pembatasan gerak. Kita terkejut, panik, dan beradaptasi mengubah rutinitas. Ternyata, hidup tetap berjalan meski tak harus pergi ke kantor, ke sekolah, kampus, dan bertemu dengan orang lain. Segera terasa bahwa kebutuhan makanan sehari-hari kita selama ini sangat bergantung pada sistem distribusi serta lingkaran produksi dalam skema kapitalisme.
Mengusahakan dan mengolah bahan makanan sendiri, dengan menanam sayuran sederhana seperti tomat, wortel, dan bayam, atau memelihara beberapa ekor ayam misalnya, mulai jadi pilihan. Jika hidup dalam struktur keluarga besar, kebertahanan dipengaruhi oleh bagaimana pembagian tugas dan membuat pilihan terbijak di antara sekian banyak batasan.
Demi kewarasan dan kemawasan diri, kita perlu asupan cerita yang menegaskan kenyataan bahwa saat diguncang dengan bencana atau kematian, setiap keluarga perlu berbenah dan melakukan perubahan.
Bertahan Hidup ala Survival Family
Survival Family (2016) disutradarai oleh Shinobu Yaguchi, mengisahkan dunia altenatif yang mengalami mati listrik total, termasuk untuk baterai. Bagaimana warga kelas menengah perkotaan menghadapinya? Ibu Suzuki, berasal dari desa nelayan, namun setelah menikah dan tinggal di Tokyo, ia bahkan tidak mampu memotong ikan segar. Juga panik hanya karena ulat di sayuran. Ayah dan anak-anak remaja lebih terbiasa dengan makanan olahan dan cepat saji.
Ketika litrik mati total selama berhari-hari, keluarga empat orang ini mengungsi karena apartemen mereka kehabisan air dan makanan. Sekolah dan kantor ditutup. Penjual beras menolak barter dengan barang brand terkenal seperti Rolex dan Maserati. Insting bertahan hidup mendorong orang untuk mencuri, menjarah, dan memakan hewan dari taman hiburan/wahana, maka makanan menjadi mata uang paling mahal untuk barter. Bahan bakar minyak dan energi kembali ke yang pertama, yaitu api. Tak ada lagi kebutuhan akan programmer, engineer, editor, produser televisi, atau driver ojol. Pekerjaan yang diperlukan adalah yang mengusahakan langsung kebutuhan pangan.
Keluarga Suzuki menempuh perjalanan dari Tokyo ke desa di Kagoshima (hampir 1.360 km jaraknya) menggunakan sepeda karena bandara ditutup. Gadget handphone dan laptop tak berguna lagi. Baju mahal rusak terkena hujan badai, buang air terpaksa di kali atau rerumputan, karena toilet umum tak berfungsi. Makin jauh dari Tokyo, air mineral makin langka dan mahal. Jumlah makanan makin menipis, sampai mereka harus menelan makanan kucing kalengan untuk mengisi perut dan air aki biru selama berminggu-minggu demi bertahan hidup. Akhirnya mereka menumpang hidup sambil membantu seorang peternak. Mereka mengawetkan daging dan telur dengan metode pengasapan.
Menyaksikan keluarga Suzuki terharu melahap makanan layak pertama di meja makan petani setelah berminggu-minggu, seolah mengingatkan bahwa di balik sepiring daging lezat, bukan mukjizat atau sulap yang menghadirkannya. Ada tenaga dan keterampilan yang diperlukan untuk memproses, menyembelih, dan memotong daging dengan cara yang tepat; Lengkap dengan bau yang tak main-main ketika penyembelihan. Satu per satu keluarga Suzuki dipaksa mempelajari keterampilan praktis seperti memotong dan meniup kayu bakar, menjahit, memperbaiki ban bocor, dan bercocok tanam. Ketika ada banyak suara dari alam sepanjang perjalanan keluarga Suzuki, secara estetika film ini memaksimalkannya dengan meminimalkan iringan musik soundtrack.
Captain Fantastic
Film Captain Fantastic (2016), menggambarkan sebuah keluarga progresif yang mencoba melepas jeratan kapitalisme dan kelas sosial. Keluarga Cash tinggal di tengah hutan dan gemar berburu, keenam anaknya mendapat pendidikan filsafat, sastra, ilmu pengetahuan alam, dan kesenian tingkat tinggi dari kedua orangtuanya. Mereka membaca atau mengidolakan Mao, Trostsky, Marx, Noam Chomsky, Jared Diamond, Dostoyevsky atau George Elliot; terutama Noam Chomsky. Semua terlihat berbeda dan tangguh, berkat kombinasi latihan fisik seperti panjat tebing dan bela diri dipimpin sang ayah, Sam (diperankan Viggo Mortensen).
Paruh kedua film mulai mengungkap sisi lain keluarga tersebut. Sang ibu meninggal bunuh diri setelah bertahun-tahun menderita depresi. Seorang anak perempuan jatuh dan cedera setelah kelewat percaya diri dengan kemampuan memanjat atap, yang dianjurkan oleh sang ayah untuk ‘misi menyelamatkan’ adiknya yang kabur ke rumah kakeknya.
Keenam anak keluarga Cash juga tidak bersekolah seperti anak lain, karena Sam bersikeras tanpa pendidikan formal, mereka lebih berpengetahuan dan berpaham dari yang sebaya, bahkan senior yang bersekolah.
Meski demikian, sang ayah mendidik anak-anaknya agar tak hanya berpura-pura intelektual lewat buku-buku, melainkan juga mendorong mereka benar-benar memahami dan berpikir kritis terhadap apa yang dibaca. Tak hanya sekedar mengikuti alur cerita dan menghapal, melainkan didorong untuk mengelaborasikan idenya.
Sisi pembandingnya adalah, sang ayah merupakan propagandis yang membungkus kemiskinan dengan idealisme. Sebagai contoh, ketika ia mengajak anak-anaknya mencuri di supermarket, ia menyebutnya sebagai “misi petualangan”, tanpa mengindahkan konsekuensi yang akan diterima karyawan toko, misalnya. Sosok Ben yang dominan juga menolak berkompromi dengan keinginan istrinya agar anak-anaknya mendapat pendidikan formal, dan ketika anak tertuanya diterima kuliah di berbagai universitas bergengsi.
Direkam menggunakan gaya kamera shaky, film ini juga didukung departemen design, make up, dan busana yang terbaik dan membangun suasana dengan tepat. Semangat hidup dan idealisme dikombinasikan dengan penampilan hippie menampilkan kealamian dan gairah hidup yang bersahaja namun meluap dari para karakternya. Alunan musik gubahan Alex Sommers menjadi penopang suasana film, dengan tempo yang cukup lambat dan berbobot.
Bertahan Hidup, Perlu Kompromi
Bencana energi atau wabah bisa jadi kemunduran dalam perjuangan keseimbangan peran gender. Banyak KDRT dilaporkan terjadi saat pembatasan sosial berlaku dalam masa covid-19.
Mungkin Survival Family belum menggambarkan meratanya pembagian peran pekerjaan antar gender. Ketika situasi harus kembali ke pola hidup dasar, entah kenapa perempuan selalu kebagian pekerjaan domestik seperti memasak, menjahit, dan mencuci. Padahal tak mustahil pekerjaan ini dilakukan juga oleh laki-laki. Selain itu karakter ibu digambarkan hanya sebagai pengikut dan pemanis yang kekurangan inisiatif dalam film ini. Sayangnya film ini masih menggambarkan pola keluarga yang patriarkis. Bagaimana dengan keluarga dimana ayah tak ada, atau ibu lebih piawai mengerjakan pertanian ketimbang menjahit?
Terlepas dari itu, Survival Family mengingatkan bahwa kemampuan bertahan hidup manusia modern melemah saat teknologi menjadi pegangan. Proses industri dan teknologi mematikan kreativitas alami manusia untuk mengolah bahan-bahan di sekitar tempat tinggalnya. Bahkan, industri dan teknologi membangun habitat hidup yang mengubah manusia menjadi terbiasa mengkonsumsi dan mengikuti tanpa memproduksi. Keluarga memakan makanan kucing adalah bukti banyak manusia menjadi rapuh, tumpul, tak mandiri,dan submisif terhadap kebiasaan. Absennya peperangan fisik menyebabkan manusia merasa aman, dan kalah dalam perang melawan alam, yang sebenarnya dulu dimenangkan nenek moyang homo sapiens untuk bertahan.
Sementara itu, Captain Fantastic menyampaikan bahwa membangun dinding terhadap struktur kelas sosial maupun kapitalisme yang terlanjur mengakar, tak menjadi solusi efektif untuk bertahan hidup. Pilihan cara dan pemaknaan hidup tak harus bergantung pada masyarakat, namun juga tak harus memerangi simbiosis yang sudah ada.
Pengaruh mental kedua orang tua pada anak-anaknya juga sangat besar, terutama dalam pembentukan pola pikir dan perilaku. Ketika ada banyak kekecewaan dan boikot terhadap realita, anak-anak yang menanggung konsekuensinya. Doktrin dari Ben Cash disini seolah menantang batas evolusi, hukum gravitasi, maupun norma sosial.
Menuruti atau menentang kapitalisme dan struktur sosial, keduanya memiliki jalan dan konsekuensi masing-masing. Pada akhirnya, insting bertahan hidup memerlukan keseimbangan peran dan kontribusi setiap anggota komunitas untuk meringankan beban individunya. Charles Darwin menulis dalam bukunya The Descent of Man bahwa manusia adalah makhluk sosial dan insting bertahan hidup akan mendorong manusia untuk menegakkan simpati dan moralitas, dimana kebertahanan kelompok bergantung pada minimnya kejahatan seperti perampokan atau pembunuhan.
Terkadang ketika idealisme menjadi kacamata kuda, mungkin perlu mengganti kacamata dengan lensa kontak yang lebih meluaskan jarak pandang. Meski kedua keluarga dalam dua film ini sangat berbeda, namun pada akhirnya, kolaborasilah yang menyelamatkan hidup mereka.