Resensi Buku

Oleh : Devi Damayanti

 

Buku Gary Ferraro, Classic Readings in Cultural Anthropology, (Belmont: Thomson Wadsworth, 2004) ini sebagaimana judulnya merupakan bunga rampai tulisan-tulisan klasik tentang karya antropologi. Tujuan Ferraro menyusun bunga rampai ini adalah memberikan contoh berbagai kategori yang biasanya disebut dalam pengantar antropologi budaya.

Dari 15 tulisan yang ada, saya tertarik dengan tulisan E.E. Evans-Pritchard yang disusun hampir seabad lalu, The Notion of Witchcraft Explains Unfortunate Events yang Ferraro ambil dari bukunya Witchcraft, Oracles and Magic among the Azandes terbit 1937 oleh Oxford University Press, berdasarkan penelitian lapangannya tahun 1920-an. Ajaibnya 100 tahun kemudian alias sekarang, tulisannya ini menolong saya untuk memahami konteks witchcraft (saya terjemahkan “perbuatan sihir”) di Indonesia.

Evans-Pritchard melakukan penelitian pada 100 tahun lalu di Azande, Afrika. Meskipun tidak ada penjelasan di Afrika sebelah mana. Orang-orang Azande menjelaskan tentang nasib malang yang menimpa mereka sebagai perbuatan sihir. Seorang remaja sudah ratusan kali bolak-balik ke hutan dengan matanya yang selalu waspada melihat segala penjuru. Namun, pada hari sialnya dia tersandung dan kakinya tertusuk kayu (bahasa Sunda untuk ini “kacugak”) hingga berdarah selama berhari-hari.

Remaja tersebut menyebut kesialan ini sebagai perbuatan sihir sebab kalau bukan bagaimana mungkin bisa terluka di rute yang sudah dikenalnya seumur hidup dan luka yang berdarah tersebut semestinya segera berhenti tetapi malah mengalir hingga begitu lama? Begitupun dengan seorang pemahat terbaik di kampung, mangkok yang sedang dikerjakannya tiba-tiba terbelah dua.

Bagaimana bisa menjelaskan ini kalau bukan perbuatan sihir dari tetangga yang sakit hati dengan mereka? Perburuan yang hampa, panen kacang yang gagal, istri yang mandul, rumah yang terbakar, semua itu bisa saja perbuatan sihir. Bagi kita, sebuah naungan di lapangan kampung yang tiba-tiba rubuh menimpa sekumpulan orang banyak yang sedang beristirahat kepanasan di bawah matahari, adalah suatu kebetulan yang terjadi di tempat dan waktu tertentu. Namun, mengapa naungan itu harus rubuh ketika sedang banyak orang di bawahnya? Kalau bukan karena sihir semestinya orang-orang saat itu tidak berteduh di sana ataupun naungan itu rubuh ketika tidak ada siapa-siapa.

Meski demikian, kata Evan-Pritchard, orang Azande akan selalu menjelaskan bahwa sesuatu terjadi dengan penjelasan yang masuk akal, sesuatu yang terlihat oleh panca indera. Remaja tertusuk oleh kayu, bukan oleh sihir. Gubuk terbakar oleh api obor yang terkena atap jerami, bukan oleh sihir, seseorang mati karena ditubruk banteng, bukan oleh sihir.

Pertanyaan lanjutan yang orang Azande ajukan adalah mengapa kayu itu tertusuk di kakiku dan bukannya orang lain, mengapa obor itu mengenai atap rumahnya dan bukannya atap orang lain yang juga sedang menyalakan obor, mengapa banteng itu menubruk orang itu dan bukan orang lain? Jadi bagi orang Azande, istilah “perbuatan sihir” menyediakan jawaban atas pertanyaan mengapa kesialan itu terjadi di saat itu dan di tempat itu.

Selain itu juga perbuatan sihir tidak bisa membuat seseorang lepas dari kriminalitas yang dibuatnya. Seorang pelaku pencurian, perzinahan, pembunuhan, penipuan tidak bisa mengatakan bahwa kejahatannya dikarenakan oleh perbuatan sihir atau di bawah pengaruh sihir. Masih ada penyebab lain juga mengapa sesuatu yang buruk terjadi, yakni karena melanggar tabu (“pamali” dalam bahasa-bahasa daerah kita) misalnya kematian bayi dari hubungan gelap orangtuanya, terkena kusta karena ada incest yang dilakukan leluhurnya, atau seorang suami terluka saat berburu karena istrinya punya kekasih lain.

Menurut Evan-Pritchard, yang sulit adalah orang Zande tidak punya kemampuan untuk menjelaskan tentang hal-hal supranatural ini. Mereka paham, mereka mengalami sendiri, mereka melihat sendiri, dan mereka jauh lebih bisa mearikan diri ketika serangan sihir muncul daripada menjelaskan pada peneliti mengapa hal demikian dapat terjadi. Kesimpulannya, orang Zande mengaktualisasikan kepercayaan mereka daripada mengintelektualisasikannya dan itu dinyatakan lewat perilaku sosial daripada lewat ajaran soal asal-muasal sebab akibat.

Tulisan Evan-Pritchard jadi relevan buat saya yang berkali-kali hidup dalam masyarakat yang seperti orang Azande itu. Biar bagaimanapun alam pikiran Nusantara sangat terbuka pada hal-hal supranatural. Bahkan hingga kini di perkotaan, orang Indonesia masih familiar dengan istilah yang merujuk pada macam-macam jenis witchcraft dalam aneka bahasa kita.

Penduduk Pulau Jawa lazim mendengar tentang ēlmu, mejik (magic), santet, teluh, sihir, pelet, baca-baca, orang pintar, dan dukun. Di luar Jawa kita temukan wujud witchcraft sebagai kuyang di Kalimantan Selatan, suanggi di Alor dan Papua, alaut di Timor, beko di Manggarai, serta mantion yang khusus ada di Maybrat-Papua Barat; termasuk istilah “pake-pake”, “tiup-tiup”, dan “fuih-fuih” untuk menggambarkan kegiatannya. Sama seperti kasus Evan-Pritchard di Azande, saya tidak berharap bisa dapat informan yang bisa menjelaskan soal konsep suanggi di Alor karena bukan ranah pelaku budaya untuk menjelaskan itu. Orang di sini menerimanya sebagai bagian dari keseharian hidup, begitu saja, apa adanya, tanpa harus dipikirkan dan dijelaskan mengapa dan bagaimana sistematikanya.

Omong-omong, buku ini bagus. Ketika saya harus datang ke lapangan dengan peralatan seminim mungkin, buku Ferraro yang tipis ini jadi hiburan. Saya tidak menyesal membelinya bekas di Kang Denny lawangbuku Rp 25000 pada Desember lalu.

 

profil penulis

Devi Damayanti seorang pekerja sosial dari Abhirama Semesta Consulting Group yang sedang mendampingi proses pemberdayaan masyarakat di Allung, Pulau Pantar, Kabupaten Alor, NTT.