oleh : Dyah Murwaningrum

Rasanya hampir tak ada negara di dunia ini yang memayungi satu budaya saja. Bahkan dalam satu ras yang sama, sekelompok manusia memiliki agama dan kebiasaan yang berbeda. Dunia memang dipenuhi kotak, namun tak ada kotak yang tak bercelah. Berbeda adalah sifat khas manusia yang terus akan melahirkan kemungkinan bahwa seseorang tak selalu identik dengan kotaknya. Sehingga naluri untuk berteriak dan mebebaskan diri akan muncul pada jiwa yang peka.

Tak ada hak seorang bayi untuk memilih tempat kelahirannya. Seperti Indonesia, di India pun bernaung manusia dengan ras, agama, adat yang beragam. Manusia dalam keberagamannya, paham benar bahwa mereka semua setara. Namun, di pikiran manusia telah diukirkan sejarah dari dongeng masa lampau yang menjadikan kita ragu untuk bersikap yang semestinya. Keragaman ras manusia, upaya membebaskan diri, rasa terdiskriminasi di sebuah kota besar New Delhi pun turut terpapar dalam film Axone.

Tak ubahnya seperti Jakarta, Bandung atau kota urban lain di Indonesia, begitulah yang tampak secara fisik tentang New Delhi di India. Kabel yang semrawut saling tumpang tindih, gang-gang sempit dan remang-remang, lalat yang berkerumun di atas selokan berwarna gelap dan segala aktivitas manusia di sudut jalan adalah rekaman gambar yang sesekali membuat kita terkikik. Seolah menenangkan, bahwa kita tidak sendiri. Begitulah potongan-potongan pendek dari film yang mulai tayang 12 Juni 2020 di Netflix.

Axone atau Akhuni, masakan tradisional khas India Timur laut (Northeast India) berupa bahan makanan fermentasi dengan bau sangat menyengat. Menonton film ini mengingatkan pada berbagai makanan yang membawa saya menyusuri perjalanan rindu. Tempe mendoan di Banyumas, Wingko Babat yang selalu mengingatkan pada perjalanan kereta ekonomi penuh sesak, pecel combrang di stasiun Kroya, dan terlebih sate buntel di Solo.

Mereka sepertinya sudah ditakdirkan menagih janji kita untuk pulang. Pengalaman makan yang terkenang di lidah seorang bocah seolah menjadi candu “rasa” hingga dewasa. Begitu juga yang dirasakan oleh Minam, calon pengantin yang hendak menikah virtual secara adat. Mirip di Jawa yang menikahkan seorang gadis dengan keris, Minam menikah diwakili oleh saudaranya di desa. Axone bagi Minam adalah pengobat rindu pada kampung halamannya.

Satu hari yang merepresentasikan tahunan waktu, sekelompok perempuan yang berasal dari India Timur Laut sangat kesulitan untuk memasak Axone yang berbau menyengat. Demi kejutan terbaik untuk mempelai wanita, sekelompok sahabat ini melakukan berbagai cara agar masakan itu terhidang pada pesta pernikahan. Namun, kampung padat penduduk, kos-kosan yang tak berjarak antar tetangga, tak akan mentolerir proses memasak yang aromanya menyerupai septik tank itu.

Screen Shot 2020-06-14 at 11.33.30 PM

Film dan upaya mengungkap realitas

Terlepas dari masakan tradisional Northeast India, sutradara film ini, Nicholas Kharkongor nampaknya ingin menyuguhkan realitas yang dialami komunitas pendatang di sebuah kota. Sesekali muncul kebencian pada kota perantauan, namun komunitaslah yang menenangkannya.

Pengalaman bahwa diskriminasi dan toleransi bergantian hadir dalam hidup kita memang wajar, namun pada sebagian orang seolah telah dilekati citra tertentu sehingga mengundang rasa curiga bagi yang lain. Diskriminasi sikap ataupun prasangka saja seringkali tertangkap dari sorotan mata atau ekspresi bentuk bibir yang aneh.

Peta India Timur Laut

Jika kita melacak ke belakang, beberapa wilayah di Northeast India atau biasa disebut dengan North Eastern Region (NER) adalah yang paling akhir bergabung dengan India. Perawakan mereka yang lebih mirip dengan orang Tibet, Mongol, China atau Myanmar, serta bahasa yang mereka gunakan (Bahasa Myanmar ataupun Tibet), menjadikan mereka seringkali tak dikenali sebagai bagian dari India. Assam, Nagaland, Meghalaya, Manipur, Tripura, Sikkim, Arunachal Pradesh, dan Mizoram adalah delapan wilayah yang ada di NER. Shillong, salah satu kota yang berada di Meghalaya, adalah kota kelahiran sang sutradara.

Jika kita menelusur pemberitaan mengenai India Timur Laut, maka kita akan menemukan banyak sekali pemberitaan tentang diskriminasi, selain tentang alamnya yang luar biasa indah. Sang sutradara nampak sekali ingin menghimpun pengalaman dari para Northeastern yang bermukim di berbagai bagian India dan mengunggah realitas pada filmnya.

Diskriminasi jamak terjadi di seluruh negeri di bawah langit. Manusia bisa saja merasa tidak setara, merasa lebih tinggi, hanya karena citra yang diwariskan leluhur. Kita seringkali hanya mengikuti tanpa merasa perlu membuktikan citra-citra itu. Dan film, seringkali mampu membangun kesadaran baru atas realitas yang sebenarnya sering terlihat namun samar-samar. Penekanan-penekanan pada film, seperti memberi kita kaca pembesar untuk lebih mudah menelaah lingkungan sekitar kita melalui kumpulan realitas yang sudah terbungkus menjadi cerita baru. Cerita yang segar sekaligus kontemplatif.

Sumber:

  1. Nausheen Chhipa. Culture&Architecture of North East India-A Study of Arunachal Pradesh.2017
  2. Reena Ngurang. The Unspoken Reality of Racism in India. TEDxXie
  3. Nicholas Kharkongor, Axone 2019
Iklan