Oleh : Rena Asyari

Menulis ulasan Cantik itu Luka tak mudah. Karya Eka, sudah didaulat oleh kebanyakan pembaca sebagai karya yang otentik, dan brilian. Terlebih, saat novel ini terbit Eka baru berusia 27 tahun. Testimoni para pembaca yang tersebar di banyak platform mengindikasikan Cantik itu Luka memang pantas menyabet penghargaan sebagai “World Readers” pada tahun 2016 dan berhasil diterjemahkan ke dalam 30 bahasa.

Sebagai perempuan, saya larut dalam kesedihan pada setiap tokoh perempuan yang dibangun Eka. Melalui Dewi Ayu, Alamanda, Alanda, Maya Dewi, Ma Iyang, Rengganis si Cantik dan Nurul Aini, Eka memotret perjalanan dan pengalaman perempuan. Tak hanya itu, Eka merekam banyak peristiwa, gejolak perang, perebutan kekuasaan Jepang atas Belanda, pendirian republik, dan perang saudara 1965.

Cantik itu Luka: Merentang waktu dari era Kolonial hingga 1965

Kapal dipenuhi muatan. Perebutan kekuasaan oleh Jepang mengakibatkan Dewi Ayu kian sulit. Orang tua dan neneknya harus segera pulang ke negara asalnya, Belanda, bersama ribuan orang lainnya tanpa peduli kapal tersebut akan karam. Sepeninggal nenek dan orang tuanya, serdadu Jepang tak memberikan pilihan lain baginya, kecuali hidup dalam rumah pelacuran.

Berdirinya republik tak memberi nasib Dewi Ayu bersama ketiga anak perempuannya membaik. Diwarisi kecantikan ibunya, justru membuat ketiga anaknya tidak memiliki otoritas atas tubuhnya. Tak ada beda dengan perlakuan laki-laki era kolonial, laki-laki pribumi pascakemerdekaan pun tidak pernah mempertimbangkan perempuan lebih jauh dari selangkangan belaka. Pernikahan dini, perkosaan di dalam pernikahan dan perselingkuhan menjadi hari-hari yang kelam bagi Alamanda, Alanda dan Maya Dewi.

Halimunda, sebagaimana wilayah lainnya di tanah air menjadi tempat tumbuh suburnya partai komunis. Halimunda menjadi arena “hantu-hantu komunis” gentayangan setelah pembantaian ribuan orang di tahun 1965. Tahun-tahun setelahnya menjadi gelap, hitam. Tak ada ketentraman. Penduduk, tentara, eksekutor dibayang-bayangi ketakutan dan perasaan bersalah hingga akhirnya mereka menjadi bagian dari “hantu-hantu” tersebut.

Kematian Dewi Ayu tidak mengakhiri kisah di buku ini. Ia bangkit setelah 21 tahun kematiannya untuk meneruskan kisahnya. Lantas, apa yang terjadi pada cucu-cucu Dewi Ayu yang juga mewarisi kecantikan neneknya?


Cantik itu Luka dibangun dengan alur cerita yang komplek, rumit, campur aduk. Pembaca harus fokus benar dan berusaha mengingat setiap kejadian, tempat dan tokoh yang saling terhubung satu sama lain. Novel ini tak berhenti pada kisah cinta yang ganjil dan gelap, menakutkan dan cerita-cerita tak masuk akal lainnya.

Novel ini tak cocok bagi pembaca yang suka dengan kemewahan, gelak tawa, dan candu pada diksi yang mendayu-dayu. Tak ada romantisme seperti itu di Cantik itu Luka. Pembaca akan mendapati kenyataan tentang Halimunda. Sebuah tempat yang menjadi saksi perebutan kekuasaan Jepang dan Belanda, pembantaian orang-orang komunis, kriminalitas, perkosaan, kisah dongeng putri Rengganis dan perempuan yang diadu pada nasib dan harga diri  untuk bertahan hidup dalam dunia yang patriarkal.

Cantik itu Luka telah membuat pembaca Indonesia begitu gaduh selama delapan belas tahun sejak kemunculannya pertama kali di tahun 2002, menyuguhkan realitas yang tak jarang kita memalingkan muka dan menampiknya. Realitas yang sungguh-sungguh ada.