Oleh : Rena Asyari

Tahun 1975, Soewarsih mendapat kabar Buiten het Gareel akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tak terkira bahagianya ia. Bagaimana tidak? Karya yang 40 tahun lalu ditulisnya dalam bahasa Belanda kini akan dapat dibaca oleh anak-anak muda Indonesia.

Soewarsih yang kala itu berusia 63 tahun mengingat dengan baik buah pikirnya yang bermaksud mengajak pemuda seumurannya agar tabah hati dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bukan tanpa alasan mengapa ‘Buiten het Gareel’ ditulis dalam bahasa Belanda. Buntut dari penolakan penerbit Balai Pustaka pada karyanya, memaksa ia mencari alternatif bahasa lain yang ia pahami.

Dengan menyasar kaum terpelajar sebagai pembacanya, Soewarsih pun ‘leluasa’ menulisnya dalam bahasa Belanda. Soewarsih kemudian diuntungkan dengan pilihannya ini, kaum terpelajar di Indonesia dapat membacanya dan orang-orang Barat juga dengan mudah memahaminya. Karya sastra ini pun terdokumentasi dengan baik karena menyita perhatian orang-orang Barat.  

Menurut Eduard Du Perron, sastrawan yang membantu Soewarsih menerbitkan Buiten het Gareel, roman yang berkisah tentang sepasang suami istri Sulastri dan Sudarmo ini dapat menjadi etalase peristiwa yang menunjukkan hari-hari penuh penolakan, sikap kritis yang dibungkam, arus politik, dan hal-hal ‘remeh’ dalam kehidupan berumah tangga di zaman pergerakan.

Buiten het Gareel yang dalam edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Manusia Bebas, mulai diterbitkan tahun 1975 atas kerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda. Soewarsih mengakui meskipun keadaan sudah tidak sama lagi dengan apa yang ditulisnya, tetapi ia berharap karyanya dibaca oleh generasi zaman kini sebagai karya sastra.

Soewarsih pun tidak banyak melakukan revisi pada karyanya yang ia tulis ketika berusia 25 tahun itu. Sebuah karya yang emosional, berisi kemarahan pada pemerintah, kegetiran masyarakat di tengah hidup yang sulit, ditambah lagi ‘bumbu’ dalam rumah tangga. Menurutnya, ia merasa lebih bahagia membaca kembali karyanya sambil tersenyum, mengingat kebenciannya, amarahnya, pemujaannya, dan kerinduannya pada masa muda.

Soewarsih adalah penulis tiga bahasa. Bahasa Sunda, bahasa Indonesia, dan bahasa Belanda. Kepiawaiannya berbahasa membuat ia mudah menulis banyak artikel dan novel. Tudjuh tjerita pendek (1951), Empat serangkai (1954), Riwayat hidup Nabi Muhammad Saw (1959), Marjanah (1959), Siluman Karangkobar (1963), Hati wanita (1964), Manusia bebas (1975), Maryati (1982) merupakan judul-judul novelnya.

Soewarsih, selain berhasil memberikan warisan karya sastra bagi Indonesia, juga telah membuktikan keberhasilannya menjadi perempuan nasionalis yang berdaya. Ia dapat menjadi teladan bagaimana perempuan mampu berkarya, bahkan di masa sulit sekalipun. Tak patah arang dengan rintangan, tak hilang akal dengan penolakan.

Meskipun karya-karyanya sulit dijumpai karena belum ada penerbit ‘masa kini’ yang tertarik menerbitkan ulang, tetapi itu bukan alasan untuk membuatnya menghilang atau bahkan sengaja dilupakan. Kebebasan Soewarsih dalam berpikir patut dirayakan dalam segala ruang, karyanya layak untuk terus diperdengarkan dan diperbincangkan agar senantiasa hidup, selalu hidup. Soewarsih melalui Buiten het Gareel berhasil mengajak kita semua untuk menjadi Manusia Bebas.