Oleh : Venny Tania

Berbagai sindiran sosial, sekaligus perwakilan suara setiap generasi

Sejujurnya tidak banyak film komedi Korea yang bisa efektif sekaligus senatural Miss Granny  dalam menyajikan humor yang pas sekaligus kritik sosial. Ide mengenai perubahan ajaib menjadi lebih muda saja diberangkatkan secara ironis, dari niat si karakter utama untuk mengambil foto altar.

Pandangan patriarkis yang tertanam dalam diri para lansia mengenai bagaimana seharusnya mertua perempuan yang baik, bagaimana seharusnya mendidik anak, atau selalu menekankan mertua selalu lebih tahu dan lebih benar, tergambar lewat berbagai dialog Mal Soon. Lalu ada pandangan senioritas akut bahwa anak yang baik adalah anak yang rela merawat orang tua (tidak peduli keluarga si anak mampu atau tidak secara ekonomi maupun mental). Perlakuan Mal Soon sebenarnya sudah dapat dikategorikan sebagai kekerasan verbal terhadap menantunya, sehingga Nyonya Ban mencoba bunuh diri.

Setajam apapun lidahnya, Mal Soon alias Doo Ri tetap memiliki sisi yang simpatik. Sebagai manusia, Mal Soon memiliki bakat menyanyi yang mumpuni. Dalam beberapa kesempatan, Doo Ri menyanyikan lagu lawas yang didaur ulang, misalnya saja When You Go to Nasul/Los Angeles (aslinya dinyanyikan oleh trio Sae Saem tahun 1978), lagu balad White Butterfly (aslinya dibawakan Kim Jungho tahun 1975), dan Rainwater (dinyanyikan Chae Eun Ok tahun 1976).

Aransemen dan gaya baru diberikan untuk lagu-lagu yang aslinya bernuansa balad ataupun dansa oldies tersebut, menjadi lagu pop modern yang akrab di telinga milenial. Baik suara dan akting dari aktris Shim Eun Kyung dalam memerankan Doo Ri patut mendapat acungan jempol, karena mampu menampikan jiwa tua yang masih lincah dalam tubuh muda, dengan ekspresi yang komikal atau melankolis sesuai kebutuhan adegan.

Meskipun sang sutradara, Hwang Dong-Hyuk, pernah menyatakan tidak bertujuan menyuarakan protes, namun secara halus, film ini efektif menyindir banyak fenomena dan pandangan masyarakat, seperti diskriminasi usia dan gender untuk perempuan yang dianggap lumrah (narasi awal film mengibaratkan perempuan seperti bola basket, bola pingpong, dan bola golf untuk usia berbeda-beda).

Ada sedikit satir terhadap industri musik populer Korea yang ditampilkan sebagai ‘jenuh’ oleh girlband dan boyband sejenis. Kebutuhan mencari penyanyi yang dapat menjiwai dan menggetarkan jiwa pendengar (bukan menggetarkan gendang telinga, seperti kata Doo Ri) membuat sosok Doo Ri menjadi mahkluk langka, bagaikan oasis yang lama ditunggu.

Ada nilai-nilai kebudayaan yang tenggelam dan terlupakan ikut diangkat untuk menunjukkan kelebihan generasi tua, misalnya bagaimana Doo Ri paham tips memasak sup makanan laut, atau bagian tubuh hewan yang lebih empuk dan wangi ketimbang kaki untuk dimasak. Selain itu, terkait pilihan hidupnya, Mal Soon mewakili generasinya memilih hal yang mungkin akan disebut ‘bodoh’ atau ‘mengherankan’ oleh generasi muda yang belum mengenal arti kata ‘pengorbanan’.

Tanpa bermaksud menganalisis terlalu berlebihan, saya rasa film ini juga menampilkan pertentangan pandangan antara generasi milenial dan gen X, yang mungkin telah belajar bahwa menikah berarti sama dengan membeli paket non-refundable dengan berbagai konsekuensi dan resiko seperti memiliki mertua yang menjajah, atau terpaksa hidup miskin jauh dari kenyamanan jikalau nasib menentukan lain dari rencana awal.

Namun, kesadaran ini terbentur dengan minimnya pilihan yang lebih baik, selain membangun keluarga sebagai tempat bernaung seumur hidup. Bahkan celetukan Mr Park “Segera bergegas (kawin) jika kamu tidak mau menjadi ibu tiri orang,” kepada putrinya juga menegaskan sebuah pemikiran konservatif yang menstigma perempuan jika menikah dengan pria duda.

Di usia ketika sesama lansia pun terang-terangan meledek bau badannya seperti tulang keropos, Mal Soon mampu bertahan karena merasa dirinya tahu cara bertahan hidup, setelah mengalami banyak hal.

Mungkin ia ingin menunjukkan kepedulian terhadap keluarga maupun generasi mudah, atau berharap mereka bisa sekuat dirinya. Namun caranya menghakimi orang lain, memberi perintah tanpa kepekaan, dan menyanjung diri sendiri mungkin tak sesuai dengan generasi modern yang lebih individualistis, dimanjakan teknologi, dan melek hak-hak pribadi.

Usia tua juga menjadi beban karena sejak muda, manusia selalu dibebani dengan kalimat tanya yang sama “mau jadi apa?” dalam setiap pilihan dan tindakan, seolah apa yang terjadi saat tua adalah murni pilihan pribadi setiap orang, tanpa campur tangan keberuntungan, nasib, struktur sosial, dan konstelasi politik.

Padahal, kualitas hidup para warga lansia di suatu negara akan sangat dipengaruhi oleh perhatian pemerintah untuk membangun fasilitas hidup yang layak dan ramah lansia, maupun pilihan menyiapkan masa tua tanpa harus bergantung dan membebani keluarga. Para warga senior sudah terbiasa berpikir jika tinggal di panti wreda adalah aib dan tanda kegagalan mengasuh anak yang tidak berbakti. Di usia senja mereka, hampir tidak ada ruang bagi lansia untuk berkarya, bermimpi, dan bercinta tanpa diiringi stigma.

Terlepas dari kenyataan berat yang disinggung lewat komedinya, apresiasi juga layak disematkan untuk usaha menyajikan tampilan visual yang realistis, sejak sinematografi hingga color grading mampu menangkap emosi dan ekspresi dalam berbagai jenis latar.

Lagu-lagu oldies Korea yang dibawakan dipilih dari era 1970-an, era dimana musik balada mendominasi Korea yang berada di bawah kepemimpinan diktator saat itu. Sepertinya pemilihan ini kurang sinkron dengan era dimana Audrey Hepburn (idola Mal Soon) dikenal melalui invasi musik dan film dari Amerika Serikat tahun 1950 dan 1960-an. Namun konsistensi waktu bukan fokus utama yang mengganggu. Secara keseluruhan, banyak sekali yang bisa dinikmati mulai dari busana, musik, humor, dan nuansa realistis dari masyarakat Korea saat ini. Film ini sudah berusia sekitar 6 tahun, namun masih segar dan mengejutkan ditonton kapanpun.

Baca bagian 1