Oleh : Venny Tania

Tujuh ratus delapan puluh lima halaman, demikian wujud dari novel Dunia Sophie yang cukup menantang bagi seorang pembaca. Menyelesaikan membacanya ibarat menjadi wisudawan yang merasa lega telah menyelesaikan perkuliahan ratusan SKS, lulus bersama ilmu yang terbentang, sudut pandang (seolah) lebih tercerahkan, sekaligus keraguan dan pertanyaan yang lebih beragam.

Novel karya Jostein Gardner ini terasa mengajak pembaca untuk mengeksplorasi semesta berpikir dengan cara elegan, perlahan, dan mengikuti tahap demi tahap dengan sabar, sambil membangunkan kesadaran purba mengenai sejarah panjang umat manusia.

Setelah membaca buku ini, mungkin ada yang menyadari bahwa tidak semua tokoh, filsuf, ahli, atau pahlawan dunia disebutkan namanya dalam novel ini. Dunia Sophie mungkin lebih tepat disebut sebagai ringkasan dari perjalanan sejarah filsafat pemikiran di Eropa.

Tidak banyak nama dari peradaban kuno dan kaya filsafat lain seperti Mesir, Tiongkok, Mesopotamia, atau India diceritakan. Namun novel ini bukan berisi kumpulan kisah sejarah yang membosankan, sebaliknya, ia hanya meminjam sejarah filsafat dan berbagai pemikir penting di dalamnya  sebagai bagian dari perjalanan dan perkembangan para tokoh utamanya.

Tokoh utama dan pendukung dalam ceritanya adalah karakter-karakter fiktif yang melakukan breaking the fourth wall. Biasanya pembaca dapat memahami karakter yang ia baca/diceritakan dalam sebuah drama atau film; sebaliknya tokoh-tokoh dalam cerita tidak mengenali keberadaan dan situasi audiens.

Dalam dunia teater dan film metode breaking the fourth wall ini digunakan untuk menyatakan kesadaran tokoh cerita akan keberadaan dirinya, juga membangun interaksi dan unsur kejutan untuk penonton. Audiens merasa mengenal sisi pribadi dari tokoh cerita dari secuplikan dialog ala breaking the fourth wall, meskipun audiens tahu antara mereka tidak dapat berkomunikasi langsung.

Dalam novel ini, kita dibawa mengikuti dua dunia, namun diajak menebak-nebak dulu, mana kira-kira yang merupakan dunia fiksi, dan yang mana dunia (nyata) yang menciptakannya. Namun kedua tokoh utama dari dua dunia (dua gadis remaja Sophie dan Hilde) ini perlahan-lahan saling menyadari keberadaan mereka satu sama lain, diiringi kehadiran tokoh pendukung bernama Alberto.

Alberto-lah yang sepanjang novel ini mengajak Sophie belajar mengenai ilmu filsafat, dan perjalanan sejarah Eropa sejak era Yunani hingga era perkembangan ilmu-ilmu modern, kesenian, filsafat, dan kebudayaan abad dua puluh.  Alberto pula yang memungkinkan Sophie mengetahui sosok Hilde dan menceritakan berbagai teka-teki mengenai hubungan Sophie dan Hilde.

Bagaimana akhirnya Hilde dan Sophie dapat bertemu, sementara mereka berada di dunia yang berbeda? Semoga yang belum membaca novel ini, dapat menamatkannya dan memperoleh jawaban, serupa Archimedes berseru “Eureka!”, sebelum rambut mulai rontok karena kebanyakan berpikir.

Dunia Sophie, dunia Hilde, dan dunia kita pada dasarnya adalah dunia yang penuh dengan pertanyaan. Novel ini sejak awal telah mengungkapkan jati dirinya sebagai serangkaian pembahasan mengenai bertanya dan bagaimana selama peradaban manusia (Eropa) berkembang melalui pertanyaan.

Pertanyaan untuk penghuni dunia penuh pertanyaan ini adalah, apakah kita siap untuk mempertanyakan dengan rasa ingin tahu yang jujur, atau sibuk mempersiapkan pernyataan karena terlalu malu mengakui banyak dari pertanyaan tersebut tidak kita ketahui jawabannya?

Mengapa banyak orang tidak menyadari haknya untuk bertanya, dan selama hidupnya tidak paham bagaimana cara mempertanyakan? Seperti digambarkan oleh novel ini, sekawanan kutu semakin lama semakin merasa nyaman hidup menyelusup di balik bulu-bulu hangat kelinci pesulap, tanpa mau mencari tahu tentang sang kelinci, apalagi berbagai trik rahasia yang menghadirkan kelinci berbulu tebal tersebut.

Hanya para filsuf yang dianggap memiliki kepenasaran serupa anak kecil dan mau bersusah payah memanjati bulu kelinci. Tentu harga yang harus dibayar adalah kehilangan kenyamanan dan kehangatan bulu kelinci. Namun tanpa pertanyaan-pertanyaan berharga dan efektif tersebut, sangat jelas ilmu pengetahuan tidak akan berkembang hingga titik saat ini.

Mungkin tidak salah jika kita menginterpretasikan bahwa Jostein Gaarder sang penulis, di sini bermaksud mengalegorikan manusia sebagai kutu, kelinci sebagai dunia, dan pesulap yang menggunakan kelinci, sebagai pencipta dunia. Banyak orang tak suka mempertanyakan, karena seringkali pertanyaan besar akan mengusik kenyamanan dan kepercayaan yang kadung mereka anut dan andalkan.

Pada satu titik, manusia seolah tidak peduli lagi dengan siapa pencipta dan siapa yang diciptakan. Mungkin, karena manusia juga mampu menciptakan sesuatu, namun sebagian hasil ciptaan manusia tak memiliki dimensi luas dan sekedar menjadi pemenuhan kebutuhan sehari-hari manusia.

Seringkali, manusia lain memiliki pemahaman berbeda terhadap hasil ciptaan seseorang. Bahkan jika seorang manusia menciptakan sesuatu yang dapat digali lebih luas, belum tentu manusia pencipta tersebut telah mengukur dan memperkirakannya. Ilmu pengetahuan memang selalu berkembang dinamis, seiring pertanyaan manusia yang seharusnya terus diasah dengan meningkatnya peradaban. Lalu, masih menjadi misteri, mengapa manusia cukup percaya diri kalau penciptanya selalu memahaminya? Jika manusia sendiri sering tak memahami apa yang diciptakan dan dilahirkannya.

Pertanyaan terakhir, apakah kemampuan bertanya umat manusia telah mengalami evolusi ke tingkat lebih tinggi dari beberapa ratus tahun lalu, atau justru menumpul dan perlahan peradaban manusia akan kembali ke titik rendah seiring dengan meningkatnya kerusakan lingkungan dan bumi tempat tinggalnya? Secara halus kekhawatiran tersebut dihembuskan lewat novel Dunia Sophie ini. Nasib manusia dibangun dari pertanyaan di masa lalu, akankah muncul pemikir-pemikir yang melampaui jaman dari generasi saat ini, atau justru perenungan umat manusia telah mencapai titik kulminasi?

Iklan