Perempuan yang menjadi pusat pergelaran dan berperan sebagai sinden sekaligus penari itulah, yang biasa disebut lengger. Mereka menari tidak sendiri. Mereka menari bersama roh leluhur yang dipercaya “rawuh” (hadir dengan cara sangat halus) dalam tubuh para lengger. Indang, adalah istilah untuk menyebut roh leluhur tersebut.

oleh : Dyah Murwaningrum

Suara musik dari calung menggema, terpantul dari tebing batu dan pegunungan, membuat saya tidak tahu lagi sebenar-benarnya dari arah mana suara itu berasal. Memang pada waktu tertentu lengger-lengger di Banyumas, pentas di mana-mana. Namun pada bulan “Suro” atau Muharam pertunjukan lengger bisa dipastikan lumayan sepi.

Berangkat dari sebuah buku berjudul Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, saya memberanikan diri melintasi beberapa daerah dengan bus, kereta api dan colt-colt pedesaan. Mengikuti rasa penasaran saya pada ronggeng Srinthil dalam karya Tohari, akhirnya saya berkenalan dengan lengger lebih dekat.

Tepat setelah Isya, para lengger pentas hingga menjelang Subuh. Menurut beberapa penonton, pertunjukan yang sedang saya tonton ini masih termasuk yang tradisi. Tentu saja saya merasa sangat beruntung. Mengingat begitu banyak jenis pergelaran lengger, dari tradisi sampai hiburan singkat yang sudah dikemas praktis.

Malam itu musik pengiringnya adalah seperangkat gamelan calung bambu khas Banyumas yang semua berasal dari bambu. Gambang barung dan gambang penerus saling sahut menyahut, menimpali satu sama lain. Dimainkan dalam tempo sangat cepat dan berkelanjutan tanpa jeda. Keduanya serupa air yang mengalir tanpa henti.

Instrumen lain adalah dhendem yang ditabuh untuk menegaskan permainan, dengan nada-nada rendah yang harmonis. Sedangkan kenong ditabuh untuk memperjelas nada, dan penanda perubahan bait. Ada pula gong bumbung yang ditiup tiap akhir kalimat lagu, memberi kesan kemantapan dari repertoar yang sedang dimainkan.

Satu lagi yang cukup penting adalah kendang. Kendang gaya Banyumasan terdengar sangat enerjik. Ini mengingatkan saya pada kendang dalam dangdut koplo gaya Inul Daratista. Kendang adalah pemimpin semua instrumen, untuk berkomunikasi dengan penari dan seluruh gerak tarinya. Pergelaran ini menenggelamkan saya seolah malam sangat cepat berlalu.

Makin malam, pertunjukan makin ramai. Penonton saling bersahutan dengan kata-kata, agar suasana menjadi lebih meriah dan ramai. Mereka menyebutnya dengan “senggak”. Senggak yang mereka lantunkan terdengar seperti orang saling bercakap-cakap, saling menimpali antara penonton, nayaga(pemusik), dan penari. Temanya bebas, mereka bisa menyindir apa saja yang mereka ingin.

Satu per satu, penonton turut ke tengah. Menari bersama beberapa penari, beradu mata, beradu gerak. Kadang-kadang ada penonton yang sengaja menari sendiri saja tanpa interaksi penuh dengan penari, hanya sesekali.

Jangan dibayangkan hanya pria yang berjoget bersama lengger, penonton perempuan ada juga yang turut menari. Sepertinya, pergelaran Lengger ini memang milik semua orang yang hadir. Bahkan berdasarkan perbincangan saya dengan beberapa penonton, konon leluhur dan mahluk halus pun turut hadir dan menari.

Perempuan yang menjadi pusat pergelaran dan berperan sebagai sinden sekaligus penari itulah, yang biasa disebut lengger. Mereka menari tidak sendiri. Mereka menari bersama roh leluhur yang dipercaya “rawuh” (hadir dengan cara sangat halus) dalam tubuh para lengger. Indang, adalah istilah untuk menyebut roh leluhur tersebut.

Suatu kali saya juga mengikuti pergelaran lengger yang diiringi dengan gamelan besi, layaknya gamelan di keraton-keraton. Suaranya lebih keras dibanding gamelan bambu. Lengger menari dan menyanyi bersamaan dengan pertunjukan Ebeg. Semacam kuda lumping dari Banyumas.

Pemain ebeg berada sejajar dengan penonton, dan lengger di panggung yang lebih tinggi bersama nayaga. Satu persatu pemain ebeg yang beraksi mengalami kesurupan. Suasana makin terasa mencekam bagi penonton yang tidak biasa, namun justru inilah yang ditunggu-tunggu.

Para ebeg semakin kuat bergerak dan menari makin cepat, cepat dan lebih cepat lagi, lalu lemas tidak berdaya bahkan beberapa pingsan. Menari dalam keadaan trance/kesurupan ini juga dilakukan oleh beberapa penonton yang ikut bergabung. Konon roh leluhur sedang meminjam raga untuk ikut menari bersama. Sementara lengger tetap menyanyi dan menari di atas panggung yang lebih tinggi.

Kali yang lain, saya mengikuti perjalanan lengger ke desa Kali Bagor di hari yang dianggap keramat di desa itu. Memang di beberapa desa konon leluhurnya suka sekali dengan lengger, maka pada hari-hari tertentu warga berinisiatif untuk menanggapkan lengger. Menanggap lengger juga mereka percaya dapat menjauhkan desa dari wabah penyakit.

Saya sempat berbincang dengan penanggapnya. Ia adalah mantan TKW yang menceritakan betapa sulitnya birokrasi dan proses perceraiannya dengan mantan suaminya. Lalu, ia bernadzar jika ia berhasil cerai, ia akan menanggap lengger. Lengger memang sering dijadikan sebagai pemenuh nadzar saat seseorang memiliki keinginan khusus.

Pergelaran lengger siang itu, benar-benar digelar tanpa panggung. Lengger duduk di bawah beserta para nayaga dan sesajen berupa air dan bunga tujuh rupa serta makanan juga kopi dan rokok. Lengger mengawali dengan bernyanyi gending pembuka “Sekar Gadhung”, selanjutnya kemudian lengger berdiri, menyanyi sekaligus menari.

Mengingat perjalanan saya melihat pergelaran lengger ini, seakan membawa saya melintasi waktu yang berbeda. Pergelaran lengger mampu mengumpulkan massa ratusan, dari berbagai desa. Penjual-penjual menumpahkan dagangan, anak-anak, laki-laki, perempuan muda, ibu-ibu dengan bayinya.

Kini, pergelaran mulai lebih sering ditonton di Youtube yang meniadakan interaksi fisik antar penonton. Paling hanya live chat dan komen, yang seringnya tidak saling merespon satu sama lain.

Lengger yang selalu melafalkan mantra dan menjalani laku prihatin di keseharian, lumrah jika ia dipercaya dapat menjadi penghubung kepada penguasa jagat. Ia juga dipercaya sebagai penghubung dunia manusia dan roh, menjadi harapan bagi yang putus asa, menjadi penyembuh, dan pengantar doa pada ritus kesuburan.

Perempuan dalam foto: Lengger Astuti (alm)