Oleh : Venny Tania
Laki-laki yang tersudut itu tiba-tiba menyentakkan tangan dan melepaskan borgol berlapis bulu merah muda yang membelenggu pergelangan kirinya setelah dua menit berusaha melepaskannya. Tenaga laki-laki itu lebih besar dari dirinya. Cassie terdorong dari posisi duduknya, terjerembab ke atas kasur, jarum suntik masih terjepit di jemarinya.
Kini, posisi berbalik, Cassie di bawah tubuh laki-laki itu, tertindih, padahal ia belum menyelesaikan cerita yang sudah dipersiapkannya sejak lama. “Lepaskan! Lepaskan jarumnya!” teriak laki-laki itu.
Dua buah bantal bergelung di antara mereka. Ketika bergulat, Cassie tahu ia kalah. Kemudian, laki-laki itu melakukan aksi yang sudah bisa diramalkan. Bantal menutupi wajah Cassie, dan tubuh laki-laki itu menindihnya di bagian perut. Tangannya melepas jarum dan mulai menggapai-gapai.
Lutut laki-laki itu berpindah menahan bantal di wajah Cassie. Tangan bebas laki-laki berkaus biru itu kini menahan tangan Cassie. Dalam lima-sepuluh detik kritis hidupnya, Cassie, dalam kostum perawat dengan rambut palsu warna pelangi, tertawa histeris namun puas di balik bantal yang mendekap wajahnya . Tubuh yang tertindih berusaha melawan dan sesak mengambil alih otaknya. Apa mungkin ia sempat berpura-pura mati, misalnya?
Demikianlah salah satu cuplikan adegan dari film Promising Young Woman. Film berdurasi 114 menit ini adalah karya perdana dari penulis dan sutradara Emerald Fennell. Orang mengenalnya sebagai aktris di serial Netflix, The Crown, dan salah satu penulis serial Killing Eve. Fennell menjadi sutradara perempuan Inggris pertama yang dinominasikan Oscar untuk film Promising Young Woman.
Ada banyak alasan yang membuat film ini banyak dibicarakan selama beberapa bulan belakangan. Promising Young Woman memiliki karakter dan cerita yang kuat, serta pesan yang terlalu penting untuk dilewatkan. Jangan tertipu dengan label ”komedi” yang disematkan pada film ini. Promising Young Woman bukan mengajakmu mempertanyakan dengan halus dan ringan tentang mengapa dan bagaimana perempuan mengalami kekerasan seksual, diskriminasi, dan gaslighting kondisi sosial yang misoginis, melainkan menunjukkan langsung seperti apa skenario yang bisa terjadi, dan apa dampaknya.
Kekerasan seksual dan pembalasan dendam kerap dikerdilkan kisahnya dalam banyak film, khususnya film yang berjenis eksploitasi. Biasanya unsur ‘rape’ menjadi peristiwa pembuka, selanjutnya film berfokus pada sensasi dari rangkaian pembalasan dendam. Film seperti Irreversible (2002) dan I Spit on Your Grave (1978, 2020, 2015) menyajikan adegan-adegan yang menguarkan teror, serta memanfaatkan perempuan sebagai objek seksual, kekerasan, dan pembunuhan dalam durasi maupun kadar berlebihan. Selain aroma eksploitasinya yang tajam, film-film ini seolah menyalahkan perempuan karena lemah dan tak berdaya, dengan merancang situasi yang terpencil, menyendiri, atau malam hari di kawasan gelap saat kekerasan terjadi. Seringkali tidak ada keadilan secara hukum, atau hanya ada pilihan cara main hakim sendiri untuk membalas dendam.
Mungkin, perempuan sudah lelah dengan sudut pandang cerita maupun kamera yang terlalu male centris dan male gaze dalam film. Maka, sejak kesadaran untuk menghentikan diskriminasi gender dan melawan kekerasan seksual (terutama dalam industri perfilman) mengglobal melalui #MeToo, ada semakin banyak pernyataan dari para perempuan lewat karya, yang diasah dengan tangan, pandangan, gaya, dan pikiran perempuan. Mereka berusaha mengangkat kisah dan hal-hal yang selama ini dipandang sebelah mata, atau menjustifikasi ketidakadilan pada perempuan. Para perempuan di dunia film terlihat lebih peka terhadap bagian yang perlu digali atau diganti dalam setiap aspek film, agar mewakili selera maupun suara perempuan sesungguhnya.
Sinopsis, Karakter, dan Atmosfer
Sebagai salah satu karya filmmaker perempuan era #MeToo, Promising Young Woman memiliki judul yang bermakna ironi. Karakter utamanya Cassandra alias Cassie, seorang perempuan berusia 30 tahun yang bekerja di sebuah kedai kopi kekinian. Cassie (diperankan Carey Mulligan) tidak memenuhi standar sosial masyarakat: ia tidak memiliki pasangan, pekerjaan yang mapan, dan masih tinggal bersama orang tuanya. Dengan kata lain, Cassie tidak mewakili ”Promising Young Woman” alias perempuan muda yang dianggap menjanjikan. Ia melakukan banyak hal yang cukup mengejutkan dan mendobrak kebiasaan.
Cassandra adalah cewek pirang yang berpura-pura mabuk di kelab malam demi menghukum laki-laki yang suka memanfaatkan perempuan yang sedang tidak sadarkan diri untuk berhubungan intim. Selain itu ia juga tak segan mengonfrontasi laki-laki yang melakukan catcalling atau melontarkan kata-kata shaming di jalanan.
Sejak sekuens-sekuens awal, film ini berisi serangkaian situasi yang menyiratkan bahwa tidak ada tempat yang aman bagi perempuan di dunia. Namun, petualangan Cassie menjebak laki-laki hidung belang dan memberi mereka pelajaran terus berlanjut dan terdokumentasi penuh misteri di buku agendanya.
Cassie tak sengaja bertemu dengan Ryan (Bo Burnham), seorang temannya saat kuliah kedokteran. Lewat Ryan, Cassie mendapatkan kabar mengenai beberapa teman semasa kuliahnya. Ia kemudian melacak dan merancang reuni dengan kawan perempuan yang satu kelas dengannya saat kuliah kedokteran, serta seorang dosen perempuan. Dua pertemuan ini mengungkap rahasia hidupnya.
Di balik make up tebal yang ia kenakan saat menyasar kelab-kelab malam, ada alasan yang mendorongnya. Sahabatnya sejak kecil yang bernama Nina, mengalami pemerkosaan saat tak sadarkan diri (karena mabuk) oleh seorang mahasiswa seangkatannya yang bernama Al Monroe. Namun, karena Nina dikenal sering berpesta hingga mabuk, banyak orang tidak mempercayai cerita tersebut. Meskipun menjadi mahasiswa terpandai di kelasnya, saat Nina mengadukan pemerkosaan itu ke pihak kampus, dekan fakultasnya menolak menindaklanjuti klaimnya. Nina membunuh dirinya tak lama setelah ia mengundurkan diri dari kampus. Cassie mengikuti Nina dropout dari kampusnya.
Cassie mendapatkan konfirmasi bahwa pelaku pemerkosaan sahabatnya tidak pernah ditindak, malahan menjadi salah satu alumni favorit dan pembicara dalam sidang tahun ajaran kampusnya. Al Monroe juga akan menikah dalam waktu dekat.
Unsur ketegangan dalam film in sebenarnya agak tercerahkan oleh sedikit harapan lewat sosok Ryan, dokter anak yang perlahan semakin dekat dengan Cassie yang tadinya tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan laki-laki manapun. Namun, kenyataan di masa lalu mencegah hubungan manis mereka berlanjut. Di akhir film, terbongkar bahwa melalui sebuah rekaman bahwa Ryan ternyata sempat menyaksikan Al Monroe memerkosa Nina, tetapi tak menghentikannya. Bak malaikat maut yang menagih utang, Cassie berencana mengunjungi pesta lajang Al Monroe berdasaran informasi yang ia gali dari Ryan.
Suara Perempuan, Pertanyaan untuk Bystander
Ada sebuah kesadaran yang dibangun kokoh oleh film ini, yaitu betapa banyak orang terbiasa merendahkan perempuan sejak dalam pikiran. Kesadaran yang belum tentu nyaman dirasakan semua orang, tetapi tak menghentikan Promising Young Woman untuk berbicara lantang dengan agenda yang cukup transparan. Seluruh pengadeganan dan dialognya sangat ekspresif dalam usaha mengungkapkan akibat dari kekerasan seksual dalam masyarakat patriarkis.
Sangat terasa film ini menyoroti budaya bystander dengan kebungkamannya. Mereka yang menjadi bystander (saksi dan orang sekitar korban, yang memilih untuk diam atau tidak membantu korban) bisa beragam, dari teman dekat hingga orang tua, dosen, dan staf kampus.
Ada kebiasaan untuk diam dan abai, yang berdampak melanggengkan kekerasan seksual menjadi rape culture. Dalam film ini cukup kentara bahwa korban yang berani bersuara justru akan disalahkan dan disingkirkan karena dianggap mengganggu kenyamanan dan merusak reputasi ‘laki-laki baik-baik’. Budaya ini juga tidak mengenal dan menghargai ‘consent’ alias persetujuan perempuan dalam setiap tindakan terhadap mereka. Jika terbiasa mabuk, maka perempuan dianggap tidak berhak menolak, karena mengundang laki-laki untuk mengambil kesempatan.
Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus juga pernah dibahas dalam film dokumenter seperti The Hunting Ground (2015). Bedanya, Promising Young Woman berangkat dari motif solidaritas perempuan. Karakter utamanya tidak mengalami kekerasan seksual, namun ikut terpengaruh oleh peristiwa tersebut. Ketiadaan empati dan solidaritas dari para bystander, menyebabkan Cassie juga mengalami trauma, sakit hati, kecewa, kehilangan motivasi hidup, dan merasa terkucilkan. Penyebabnya tak lain selain pelaku, adalah para bystander. Pelaku kekerasan dan para bystander ini juga aktif melakukan gashlighting alias manipulasi pikiran, seperti yang dilakukan karakter dosen, teman kampus, dan Ryan pada Cassie di akhir film. Mereka bersikap seolah yang dialami Nina adalah sebuah drama rekaan, menyebarkan rumor serta rekaman pemerkosaan untuk menertawakannya. Karena ingin menyelamatkan muka dan citra di mata masyarakat, seorang bystander tidak siap untuk mempertanggungjawabkan keabsenan perannya membela kebenaran. Mereka mempertahankan pilihannya dengan mendesak korban maupun pendukung korban untuk menganggap tindak kekerasan seksual sebagai hal biasa yang mudah dilupakan dan dimaafkan.
Meski suasana keseluruhan film ini cukup kelam, penampilan Carrey Mulligan sebagai Cassandra di film ini terlihat segar dan penuh determinasi. Tidak heran, peran Cassandra dianggap mengangkat level Mulligan sendiri sebagai aktris. Mungkin tidak seekstrim Charlize Theron di film Monster (2003) yang benar-benar merombak penampilan. Cassandra tetap tampil membumi. Ia menggunakan make up sebagai ekspresi dan senjata untuk melawan penindasan dan kemapanan para pelaku kejahatan dan bystander yang dibangun di atas ketidakadilan.
Cassie sebenarnya beberapa kali menyerempet batas benar dan salah atas nama pembalasan dendam. Ia memeras, membohongi, memanipulasi, mengancam, dan menyadap orang-orang. Namun, aksi keanti-heroinannya ini, tetap tak melunturkan simpati yang memang seharusnya mengalir untuk dirinya, yang merupakan korban. Pembalasan dendamnya adalah akhir manis untuk melunasi tragedi pahit yang terjadi di masa lalunya. Dapat disimpulkan, film ini merupakan generasi baru noir dengan keberpihakan yang kuat pada perempuan.
Dengan film yang diwarnai berbagai soundtrack bernuansa feminis dan pop-rock modern ini, Emerald Fennel berhasil menggebrak dalam langkah perdananya sebagai sutradara perempuan dengan karya yang efektif dan menjanjikan. Semoga suara dan ide para perempuan dapat lebih berani dan jernih lagi memancar dari karya-karya film tanpa terdistorsi oleh pengaruh-pengaruh patriarki yang telah telanjur mengakar.